Kebutuhan Kita Terhadap Upaya Islamisasi Pendidikan
Oleh Teuku Zulkhairi Ditengah dahsyatnya ‘serbuan’ paham-paham yang merusak akidah masyarakat Aceh, dibenak kita muncul satu pertany...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/05/kebutuhan-kita-terhadap-upaya.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Ditengah dahsyatnya ‘serbuan’
paham-paham yang merusak akidah masyarakat Aceh, dibenak kita muncul satu
pertanyaan. Selama ini, sebenarnya sejauh mana peran lembaga pendidikan formal
di Aceh dalam membentengi akidah umat?. Jika kita telaah lebih lanjut, ternyata
disinilah masalah kita hari ini. Pendidikan agama khususnya pelajaran akidah
dan pelajaran-pelajaran dasar keislaman lainnya masih dianggap tabu untuk
diajarkan di sekolah-sekolah umum dan bahkan sekolah agama sekalipun. Kita bisa
melihat, hingga hari ini, berapa lama jam pengajaran pendidikan Islam diajarkan
di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum? Misalnya mata pelajaran pokok
Islam seperti Sirah Nabawiyah, Tauhid/Akidah, Alquran/Ulumul Quran, Tafsir,
Hadist/Ulumul Hadist, Ushul Fikh/Fikih dan sebagainya. Buktinya, riset
kecil-kecilan kami, ada sekolah dan kampus yang bahkan hanya memberikan waktu
sebanyak dua jam untuk kuota pengajaran agama Islam per-pekannya.
Beberapa mata pelajaran pokok Islam
ini cenderung menjadi mata pelajaran kelas dua pada sekolah-sekolah umum, dan
bahkan di madrasah agama sekalipun. Maka kemudian munculnya komunitas
masyarakat atau mahasiswa yang mengartikan Islam secara serampangan yang
berakhir dengan goyahnya akidah mereka adalah sebueh konsekuensi yang sangat
logis. Kasus-kasus seperti ini misalnya terlihat dari pemaknaan konsep Ad-Din
yang tidak dimaknai sebagai Agama oleh komunitas Millata Abraham yang kemudian
berganti nama menjadi Gafatar. Begitu juga dengan tekad komunitas tersebut
untuk menggabungkan ajaran agama-agama samawi seperti Kristen dan Yahudi di
dunia ke dalam agama tersebut. Kasus lainnya misalnya terlihat dari pola pikir
komunitas Islam liberal yang menganggap kebenaran itu relatif. Dan semua agama
mengajarkan kebenaran. Inilah efek ketika pelajaran pendidikan Islam tidak lagi
menjadi perhatian lembaga pendidikan formal. Ataupun diperhatikan, namun masih
begitu minim.
Disisi lain, selama ini mata
pelajaran umum juga belum disajikan secara Islami. Misalnya mata pelajaran IPA,
IPS, belum ada petunjuk yang konkrit untuk para guru bagaimana
menyajikan pendidikan umum yang selalu relevan dengan nilai-nilai Islam,
sehingga para peserta didik memahami betul bahwa pelajaran yang diajari juga
memiliki kaitan dengan pendidikan Islam. Dengan realita seperti ini, alhasil,
sekali lagi, lahirnya produk-produk pendidikan yang buta dengan agamanya, atau
hanya beragama dengan pikirannya menjadi konsekuensi yang sangat logis. Selain
itu, berbagai ketimpangan yang terjadi selama ini, baik pada ranah individual,
masyarakat maupun tatanan negara yang merongrong mimpi kita melihat Islam jaya
di Aceh terjadi justru karena nilai-nilai pendidikan Islam belum diterapkan
secara sempurna di lembaga pendidikan formal, atau bahkan tidak diterapkan sama
sekali.
Di perguruang tinggi bahkan lebih
ironis lagi, dengan alasan belajar di jurusan umum tertentu, pelajaran agama
Islam hanya diajari saat semester pertama atau bahkan tidak pernah disentuh
sama sekali. Para mahasiswa hanya mendapatkan
ilmu-ilmu keislaman dari halaqah-halaqah, kajian-kajian keislaman dan
sebagainya. Itupuan terbatas hanya bagi mahasiswa yang seriua menuntut ilmu.
Cukupkah? Tentu tidak. Lembaga pendidikan seharusnya menyediakan ruang
bagi mahasiswanya untuk mempelajari Islam hingga selesai perkuliahan. Karena
Aceh membutuhkan produk-produk pendidikan yang tidak hanya menguasai bidang
keilmuan umum saja. Tetapi juga memiliki wawasan keIslaman(tsaqafah
Islamiyah) dan komitmen keIslaman(wala’ dan bara’) yang memadai.
Dan kondisi ini dengan segala carut
marutnya ternyata merupakan buah dan produk dari sistem pendidikan sekuler Indonesia
tersebut yang diwarisi dari semangat kolonialisasi era penjajahan oleh para
tokoh titipan kaum kolonialis. Fakta ini semakin mempertegas urgensitas
Islamisasi pendidikan di Aceh. Sistem pendidikan Indonesia yang
sekuler-materialistik ini sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari
sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem
sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah
secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya
ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah
sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari
nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik
yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan
individualistik, serta diperparah oleh paradigma pendidikan yang materialistik.
Maka, sampai disini islamisasi ilmu
pengetahuan (Islamization of Knowledge) sudah seharusnya menjadi
perhatian utama para ulama dan umara di Aceh ke depan untuk kemudian
dijadikan sebagai agenda utama dalam proses penerapan syariat Islam di Aceh. Sebab,
tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan pendidikan Islam yang komperhensif
pintu gerbang kebangkitan Islam dan umatnya bisa dibuka. Hanya dengan islamisasi
pendidikan cita-cita syariat Islam yang kaffah di Aceh menjadi mungkin untuk
diimpikan. Hanya dengan masuknya nilai-nilai Islam di semua level lembaga
pendidikan akidah umat bisa terus dikawal.
Secara normatif, Islamisasi
pendidikan di Aceh seperti ini sesuai dengan kultur masyarakat Aceh yang kental
dengan nilai-nilai keislaman. Secara yuridis, Islamisasi pendidikan ini di Aceh
bisa dimulai dari kurikulum pembelajaran karena didukung oleh Qanun Pendidikan
yang merupakan turunan dari UUPA (Undang-undang pemerintahan Aceh). Dalam Qanun
Aceh tentang Penyelnggaraan Pendidikan nomor 5 tahun 2008 yang kemudian
direvisi menjadi Qanun Aceh tentang Penyelengaraan Pendidikan Nomor 9 tahun
2015, pada Bab III tentang “Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan”, Pasal 5 ayat (1) disebutkan, Sistem
Pendidikan Nasional di Aceh diselenggarakan secara islami dan terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan. Berikutnya, pada Bab
XI tentang “Kurikulum”, pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan, Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis
dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dan muatan
lokal yang dilaksanakan secara Islami. Sementara pada ayat (2), disebut bahwa
Kurikulum yang dilaksanakan secara islami sebagaimana dimaksud pada ayat 1
adalah seluruh proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah.
Itu
artinya, pelajaran umum sekalipun diharapkan agar bisa diajarkan secara Islami.
Dengan kata lain, ada misi integrasi Islam dalam ilmu pengetahuan. “Hal ini
karena sistem pendidikan itu sendiri merupakan syariat atau suatu jalan dalam
mewujudkan cita-cita kependidikan sebagai pewarisan tanggung jawab dan nilai.
Kalau sistem itu mempunyai asal usul dari syariat Islam maka sistem pendidikan
yang dikembangkan merupakan bagian dari syariat Islam” (Mujiburrahman dkk: 2011).
Maka kita berharap agar para stakeholder
pendidikan di Aceh serius mewujudkan semua usaha islamisasi pendidikan pada
semua lembaga pendidikan di Aceh dan di semua levelnya yang dimulai dengan
menata kembali kurikulum pendidikan Islam. Khususnya di lembaga pendidikan atau
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum. Disini, peran eksekutif dan
legislatif juga sangat dituntut untuk benar-benar menaruh perhatian yang ekstra
terhadap perjalanan pendidikan Islam di Aceh. Baik dari sektor finansial maupun
sektor lainnya. Sebab, tujuan mereka diangkat sebagai legislatif dan eksekutif
sendiri adalah untuk mewujudkan semua harapan rakyat yang dalam hal ini
diterjemahkan ke dalam qanun-qanun dan aturan lainnya yang telah disepakati
oleh rakyat.
Dalam urusan pendidikan ini, dengan
keistimewaan yang kita miliki, Aceh mestinya sudah meninggalkan total semua
model pendidikan sekuleristik-materialistik. Secara
paradigmatik, konsep pendidikan di Aceh harus dikembalikan pada asas aqidah
Islam yang seharusnya menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan,
penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar
mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus
yang akan dikembangkan, sesuai dengan amanah qanun diatas sehingtga langkah
yang penting yang bisa dirumuskan adalah optimalisasi pada proses-proses
pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqafah/wawasan
Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana
yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan
yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Dengan
Islamisasi kurikulum di lembaga pendidikan ini, ke depan kita berharap agar
paham-paham dan agama imporan yang merusak akidah umat bisa diantisipasi.
Selain itu, Islamisasi kurikulum lembaga pendidikan ini nampaknya juga akan
merubah paradigma kita bahwa syariat Islam di Aceh bukan hanya berbicara
tentang pidana (jinayah) saja, tapi juga syariat Islam yang bisa
membentuk manusia yang siap menjalani hukuman, syariat Islam yang bisa membawa
umat ini menuju kemajuan dan kejayaan, kekokohan akidah, mental yang kuat,
mandiri dan sejahtera secara ekonomi dan sebagainya. Tentunya, semua ini hanya bisa
diwujudkan jika eksekutif dan legislatif kita menaruh perhatian yang ekstra,
bukan hanya retorika menjelang pilkada. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Mahasiswa Program
Doktoral Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda
Aceh.