Esensi ‘Rahmatan Lil‘alamīn’

Oleh Teuku Zulkhairi           Tujuan esensial diutusnya Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul adalah menjadi ‘rahmatan lil ‘alamīn’ (...

Oleh Teuku Zulkhairi

          Tujuan esensial diutusnya Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul adalah menjadi ‘rahmatan lil ‘alamīn’ (rahmat bagi semesta alam). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam Alquran, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya: 107).

Namun dewasa ini, berkembang sebuah cara pandang bahwa atas nama Islam sebagai agama ‘rahmatan lil ‘alamīn’, lalu pengingkaran-pengingkaran terhadap aqidah Islam dianggap sebagai sesuatu yang sah. Aliran-aliran sesat dan berbagai pengingkaran terhadap esensi ajaran Islam dibenarkan atas nama Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamīn’.

          Bahkan, tidak jarang Syari’at Islam dilawan dengan dalih bahwa Islam adalah agama yang ‘rahmatan lil ‘alamīn’. Di Jakarta, sekelompok orang menggunakan slogan rahmatan lil ‘alamīn’ sebagai justifikasi dan alasan untuk mendukung Ahok, padahal telah sangat jelas bagaimana Islam melarang kepemimpinan kafir bagi umat Islam.

Pada intinya, konsep rahmatan lil ‘alamīn’ dewasa ini telah dimaknai sebagai justifikasi untuk menghilangkan Islam dari pemeluknya. Hal ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari “perang” pemikiran yang dilancarkan pengusung ideologi sekulerisme yang mencoba menjauhkan Islam dari kaum muslimin. Padahal, kalau sejenak kita membuka kitab-kitab tafsir para ulama, maka akan kita temukan bahwa ‘rahmatan lil ‘alamīn’ akan terwujud ketika ajaran Islam termanifestasikan dalam semua dimensi kehidupan, yang berarti bahwa ‘rahmatan lil ‘alamīn’ adalah versus sekulerisme.
          Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, pengertian ayat ‘Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi semesta alam, yaitu barangsiapa yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan siapa saja yang menolak dan menentangnya, niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat. (Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, 2012: 154).

          Sementara dalam Tafsir at-Tabari ” ( Muhammad bin Jarir at-Tabari, 1999 : 100-101) dijelaskan bahwa bahwa siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka akan ditetapkan baginya ‘rahmat’ di dunia dan di akhirat. Rahmat diberikan bagi seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir.

Namun, rahmat bagi orang mumin yaitu dengan cara Allah memberikannya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, yaitu dengan cara tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah.
          Hal ini didasari dari Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra ketika menafsirkan ayat ini:Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”. (at-Tabari, hal: 100)
          Disebutkan juga Hadis dalam riwayat yang lain:Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu
          Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya (at-Tabari: 101).

          Jadi, rahmat yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, meskipun ditulis bagi sekalian alam, namun yang dipahami disitu adalah bagi siapa saja orang-orang mukmin yang taat kepada Allah dan RasulNya. Rahmat bagi orang-orang mukmin meliputi dua alam sekaligus, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sementara orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya maka mereka akan ditimpakan kerugian di akhirat, sementara musibah di dunia bagi mereka yang tidak beriman ditangguhkan oleh Allah Swt.

          Bagi kita sebagai Muslim, Islam akan menjadi rahmat bagi sekalian alam apabila sistem dan konsep Islam diimplementasikan secara menyeluruh berdasarkan contoh-contoh dari Rasulullah Saw, para sahabat dan Salafussalih. Islam tidak akan menjadi rahmatan lil ‘alamīn’ apabila Syari`at Islam ditinggalkan, apabila aturan-aturan dilanggar. Jadi pemahaman Islam rahmat bagi sekalian alam bukan seperti pemahaman kalangan liberal dan sekuler yang menghendaki agar Syari`at Islam dicampakkan. Islam menjadi rahmat ketika Syari`at Islam ditegakkan, bukan dihalang-halangi, apalagi ditutup-tutupi.

Versus Sekulerisme
          Kesimpulannya, ayat ‘rahmatan lil ‘alamīn’ bertolak belakang secara total dengan nilai-nilai yang diajarkan paham sekulerisme dimana Islam ingin dijauhkan dari kaum muslimin. Maka pengunaan istilah ‘rahmatan lil ‘alamīn’ untuk sesuatu yang menjauh dari ajaran Islam adalah sebuah “pelacuran intelektual”. Sebab, jika interpretasi dari ‘rahmatan lil ‘alamīn’ menghendaki ajaran Islam termanifestasikan dalam setiap dimensi kehidupan, sebagai dijabarkan di atas, maka para pengusung sekulerisme, lucunya atasnama ‘rahmatan lil ‘alamīn’ justru memisahkan Islam dari kehidupan, yang menyebabkan terjadinya berbagai ketimpangan dan kehancuran dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

          Padahal, Islam justru memandang sebaliknya dimana prinsip-prinsip Islam sepenuhnya menentang sekulerisme. Islam berada di puncak kejayaannya tatkala Islam menjadi ruh dan ideologi umat Islam saat itu, yaitu tatkala Syari`at Islam  menjadi way of life (gaya hidup) umat Islam di masa itu.

          Seorang pemikir Islam terkenal  asal Mesir, Muhammad Imarah (1998: 47) mengatakan, di semua negeri-negeri Muslim yang dijajah Barat, kebijakan pemerintahannya – sedikit demi sedikit – menempatkan sekulerisme dalam urusan negara, sosial dan kebudayaan untuk menggeser identitas Islam. Di Tunisia, penjajah Prancis menerapkan undang-undang sekuler untuk menyingkirkan Syari`at Islam. Begitu pula yang terjadi di Mesir pasca pendudukan Inggris.

          Dengan Undang-undang sekuler tersebut, menurut Muhammad Imarah (hal: 48), agama dapat disingkirkan dan Syari`at Islam dijauhkan dari kehidupan ini. Dengan undang-undang sekuler, yang asas pragmatisme dan utilitarianismenya tidak dikendalikan dengan Syari’ah serta hak-hak manusia tidak dikendalikan dengan hak-hak Tuhan serta ketentuan-ketentuanNya, serbuan penjajah Barat datang ke negeri-negeri Islam dengan konsep kebebasan manusia yang bebas dari ikatan Syari’ah.

          Syed Naquib Al-Attas (Islam dan Sekulerisme, 1981: 17-18) setelah menjelaskan kerusakan ideologi sekulerisme yang telah menimbulkan banyak kebingungan di tengah-tengah masyarakat, yaitu disebabkan karena pengenalan cara-cara Barat dalam dalam berfikir, menimbang dan meyakini sesuatu yang ditiru oleh beberapa sarjana dan cendekiawan Muslim yang terpengaruh oleh Barat karena terpukau oleh kemajuan ilmu dan teknologi Barat, Al-Attas mengatakan, “mereka ini karena kedudukannya yang berpengaruh dalam masyarakat Islam, telah menjadi penabur kebingungan-kebingungan dan kebodohan-kebodohan yang tidak perlu…”.

          Di hadapan fenomena ini, ketika esensi ajaran Islam, khususnya makna dari   ‘rahmatan lil ‘alamīn’ telah diplintir sekelompok ‘intelektual islam’ yang terpengaruh dengan kemajuan teknologi Barat, nampkanya sudah saatnya kita memperkuat kembali seruan kepada ummat untuk kembali berpedoman pada landasan Islam melalui kitab-kitab para ulama sehingga ummat tidak dilanda kebingungan. Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Pascasarajana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Sekjend PW Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (Bakomubin) Prov. Aceh. Email abu.erbakan@gmail.com.

http://aceh.tribunnews.com/2017/04/19/esensi-rahmatan-lilalamin

Related

Paradigma Islam 5247793165129869287

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item