Islam Mengakui Keberadaan ‘Masyarakat Awam’ [Tanggapan untuk Saudara Adnan]
Oleh Teuku Zulkhairi Secara tersurat, tulisan tanggapan saudara Adnan (SA) dengan judul “ Mengawamkan Ummat ” di Har...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2018/06/islam-mengakui-keberadaan-masyarakat.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Secara tersurat,
tulisan tanggapan saudara Adnan (SA) dengan judul “Mengawamkan Ummat” di Harian Serambi Indonesia, Jum’at 12 Januari
lalu mengesankan bahwa fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tentang diharamkannya
mengajar kitab Ghairu Mu’tabar kepada
masyarakat awam merupakan proses “mengawamkan
ummat”. Pandangan SA berpijak dari tafsiran atas penjelasan saya pada
tulisan sebelumnya tentang tujuan atau objek fatwa tersebut dikeluarkan, yaitu
bahwa yang diharamkan oleh MPU adalah jika diajarkan kepada masyarakat awam. Dimana
penjelasan ini sebelumnya penulis peroleh dari salah satu wakil ketua MPU.
Bisa dibaca di link: http://aceh.tribunnews.com/2018/01/12/mengawamkan-umat
Atas penjelasan
ini, SA mempertanyakan: “Sampai kapan kita mau
mengawamkan masyarakat Aceh? Sebab klaim awam dapat “menendangbola ke gawang
sendiri”. Artinya, kita selalu mengawam-awamkan masyarakat”. Di satu sisi saya
sepakat bahwa kita jangan mengawam-awamkan masyarakat seperti halnya harapan
SA. Dapat kita katakan, itu adalah cita-cita semua pihak. Kendati pun demikian,
kita juga perlu melihat realitas karena tidak mungkin lari dari padanya.
Diskursus tentang masyarakat awam bukanlah sebuah justifikasi buruk kepada
segolongan masyarakat, melainkan pemahaman dan pengakuan atas realitas. Bahwa
tidak mungkin semua orang memiliki waktu untuk memperdalam agama. Dan oleh
sebab itu Islam memberikan solusi atas realitas ini.
Maka dalam
literatur keilmuan Islam, kita akan dapatkan penjelasan yang memuaskan atas perkara
ini serta alternatif solusi bagi penyelesaiannya. Maka misalnya dalam khazanah
keilmuan Islam, memahami adanya masyarakat awam, dijelaskanlah bahasan hukum seputar
“taklid”(meniru/mengikuti), dimana
mayoritas ulama mewajibkan awam untuk taklid, baik taklid dalam soal akidah (ushul) atau fiqih (furu'iyah).
Pembahasan tentang
Ini bukan soal kita menganjurkan ummat untuk taklid, tapi ini bahasan tentang
keluasan Islam untuk memahami realitas keberadaan masyarakat awam. Para ulama
sebenarnya justru mengarahkan ummat untuk tidak bangga menjadi awam. Maka
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirkan oleh para ulama Aceh baik
kalangan dayah maupun Perguruan Tinggi Islam, serta majelis-majlis ta’lim yang mereka bina, sesungguhnya
justru bertujuan untuk melahirkan kader-kader ummat yang bisa ittiba’ dalam
berislam, bukan taklid. Namun sekali lagi, Islam mengakui keberadaan masyarakat
awam sehingga lahirlah bahasan tentang status mereka.
Tentang taklid,
hal ini misalnya disampaikan Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami
meskipun juga beliau jabarkan syarat-syaratnya, “Pendapat
yang mu’tamad dalam soal ini adalah boleh taqlid dari tiap Imam Madzhab yang
empat. Begitu juga boleh taqlid pada ulama selain mereka yang memelihara
madzhabnya dalam soal tersebut sehingga diketahui syarat-syarat dan seluruh
masalah yang dianggap (muktabar), (Tuhfatul
Muhtaj fi Syarhil Minhaj: 110-111).
Bahkan para ulama lainnya juga memberikan
pernyataan serupa. Misalnya seperti Ibnul Jauzi (Talbis Iblis: 79) dimana beliau mengatakan, “Hal yang paling
mendatangkan maslahat bagi orang awam adalah taklid kepada ulama yang
telah menelaah dan meneliti”. Bahkan pendapat serupa juga disampaikan para ulama
lainnya.
Jadi, apakah saat para ulama memberikan
pilihan untuk taklid kepada masyarakat awam dalam memahami agama, lalu kita
akan sebut mereka telah mengawamkan ummat? Tentu bukan. Sekali lagi, perihal
masyarakat awam ini hanyalah pengakuan atas realitas. Maka dalam Alquran Allah
Swt berfirman: “... maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”. (QS An-Nahl: 43).
Tentu saja, ayat seperti
ini adalah pengakuan Alquran bahwa orang yang tidak mengetahui itu pasti ada
sehingga diminta untuk bertanya kepada yang mengetahui (para ulama). Atau
dengan kata lain, bagi awam diminta untuk mengikuti para ulama yang mengetahui
perkara-perkara yang tidak mereka ketahui dan pahami.
Maka demikian pula halnya
dengan fatwa MPU Aceh. Baik fatwa tentang kitab ghairu mu’tabar maupun
fatwa-fatwa lain sebelum itu sesungguhnya bertujuan untuk menjaga masyarakat
awam dari penyimpangan-penyimpangan dalam beragama, khususnya saat kita
menyaksikan segudang persoalan-persoalan krusial yang selalu menerjang aqidah masyarakat
dan persoalan-persoalan fundamental lainnya.
Begitu banyak persoalan
krusial yang berkembang di masyarakat kita dewasa ini yang “memaksa” para ulama
untuk menjaga ummat dari tergelincir. Maka ulama dengan fatwa-fatwanya
bertujuan untuk memberikan pencerahan bagi ummat agar senantiasa berjalan di
atas jalan yang lurus dan tidak berbelok darinya.
Barangkali sebagian orang
akan bertanya, apakah ulama-ulama Aceh di MPU layak diikuti? Termasuk fatwa MPU
tentang kitab ghairu mu’atabar apakah
bisa diikuti? Makanya jawabannya adalah, seluruh ulama wajib diikuti selama
berpedoman kepada Alquran dan Hadis. Apalagi, jika fatwa yang dikeluarkan telah
melewati serangkaian penelahaan dan penelitian.
Bahkan sejauh ini, para
ulama-ulama kita di Aceh, termasuk di MPU Aceh tidak ada yang seperti
“ulama-ulama” di luar sana yang misalnya mendukung kafir jadi pemimpin umat
Islam. Ulama-ulama kita di Aceh yang kita saksikan selama ini justru konsisten
atas garis Islam. Yang kita saksikan dewasa ini, ulama-ulama kita konsisten
memperjuangkan Syar’at Islam dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara (pemerintahan). Maka sepertinya sudah cukup menjadi alasan kita untuk
mendengar mereka.
Kadangkala kita akan
menganggap berat sebuah fatwa ulama jika tidak sesuai dengan pikiran kita, tapi
sesungguhnya disitulah barangkali Allah Swt sedang menguji kita. Masih kah kita
tetap mengikuti para ulama? Sebuah fatwa ulama memiliki orientasi
menjaga masyarakat awam dari apapun potensi penyimpangan dalam beragama. Meski
terkadang menuai pro kontra, akan tetapi fatwa yang dikeluarkan secara
berjam’ah oleh para ulama dianggap lebih kuat dari pendapat individu-individu.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka
ikutilah as-sawad al a’zham (jama’ah
muslimin atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini bisa
setidaknya dapat sedikit menjelaskan bahwa jama’ah (kumpulan) ulama Aceh di MPU
tidak mungkin mengeluarkan fatwa yang sesat. Hadis ini juga diperkuat oleh
hadis lainnya, misalnya hadis riwayat Tirmidzi yang berbunyi: “Siapa
yang menginginkan tempat yang mulia di surga, maka ikutilah al-jama’ah”.
Meskipun dewasa ini seringkali kita
mendengar cibiran kepada para ulama, saya pribadi tidak pernah ragu bahwa ulama
adalah pelita kehidupan, dan fatwa-fatwanya sangat layak untuk diikuti. Siapa
lagi yang bisa kita ikuti kalau bukan ulama-ulama yang lurus? Bahkan, perihal
pentingnya kita mengkuti para ulama ini dijelaskan sebuah hadis dalam Kitab Nashaihul
‘ibad
dimana Rasulullah Saw bersabda: “Akan datang suatu masa kepada ummatku dimana mereka lari dari para
ulama dan fuqaha, maka Allah akan menurunkan tiga macam musibah kepada mereka,
yaitu, pertama, Allah menghilangkan berkah dari rizki mereka. Kedua, Allah
menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka. Ketiga, Allah mengeluarkan mereka
dari dunia ini tanpa membawa iman”.
Oleh sebab itu, marilah
kita terus berjuang agar zaman ini tidak datang di masa kita. Atau jikapun
datang, semoga kita semua tetap termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak
lari dari ulama. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Alumnus
Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Email:
abu.erbakan@gmail.com.