RUU Pesantren untuk Siapa?
Harian Serambi Indonesia, Jum'at 30 November 2018 Oleh Teuku Zulkhairi Pesantren di nusantara saat ini sedang menanti arah baru. A...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2018/11/ruu-pesantren-untuk-siapa.html
Harian Serambi Indonesia, Jum'at 30 November 2018
Oleh Teuku Zulkhairi
Pesantren di nusantara saat ini sedang menanti arah baru. Akan ada sejumlah perubahan apabila Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) disahkan oleh parlemen. Untuk level Aceh, selain RUU PPK ini, kita juga sedang menanti hasil penggodokan Rancangan Qanun (Raqan) Pendidikan Dayah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Jadi, Aceh akan memiliki dua aturan yang menaungi dunia pesantren atau dayah. Saya mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Raqan pendidikan dayah yang diselenggarakan DPRA beberapa waktu lalu. Dan menyimak bahwa Raqan ini sudah cukup ideal. Para ulama yang hadir dalam RDPU tidak terlalu banyak mengoreksi sehingga nampaknya tidak terlalu banyak hal yang perlu diperbaiki setelah RDPU digelar.
Mungkin karena memang sejak awal sejumlah ulama telah dilibatkan secara penuh dalam penyusunan Raqan Pendidikan Dayah, bahkan hingga proses konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) para ulama juga dilibatkan. Maka untuk Raqan Pendidikan Dayah, kita hanya menanti keseriusan para pengambil kebijakan untuk mengeksekusi sekiranya nanti Raqan ini sudah disahkan.
Plus satu lagi, agar dayah tidak lagi “dibuang” di komisi yang menangani urusan agama di DPRA, melainkan di komisi yang menangani urusan pendidikan. Sebab, meskipun dayah adalah institusi tempat dimana ilmu agama diajarkan, namun jelas ia adalah institusi pendidikan.
Sementara itu, untuk RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (PPK), para ulama dayah di Aceh beberapa waktu lalu, disamping memberi dukungan dan gagasan-gagasan penyempurnaan RUU ini, juga memberikan masukan-masukan yang sangat kritis. Masukan-masukan ini disampaikan saat digelar silaturrahmi ulama dan umara oleh Dinas Pendidikan Dayah Aceh untuk membahas RUU tersebut.
Selama dua hari pembahasan yang diikuti oleh 100 ulama dan perwakilan dayah di Aceh, serta perwakilan dari Direktorat Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia, saya yang juga mendapat undangan mengikuti pembahasan ini menyaksikan kegiatan pembahasan berlangsung dengan sangat alot.
Respons ulama dayah di Aceh terhadap RUU PPK menjadi sangat alot karena RUU ini memasukkan institusi pendidikan agama lain di dalamnya. Tentu agak membingungkan bahwa dalam RUU Pesantren namun ada institusi agama selain Islam juga. Jadi pertanyaan yang agaknya penting diajukan adalah, sebenarnya RUU Pesantren ini untuk siapa?
Memang namanya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, artinya dari segi nama saja RUU ini tidak dikhususkan untuk pesantren saja, namun juga untuk agama lain. Tapi tetap saja, substansial RUU ini identik dengan pesantren. Kelak RUU ini akan identik dengan pesantren dan bahwa siapapun pasti akan menilai bahwa ini adalah RUU Pesantren.
Beda jika di nama RUU nya tidak ada kata-kata “Pesantren”. Misal jika namanya adalah “RUU Pendidikan Kegamaan”. Maka pasti keberadaan institusi agama lain di dalamnya sama sekali tidak akan mengejutkan. Tapi ini namanya RUU Pesantren, meskipun ada sambungan “Pendidikan Keagamaan” setelahnya.
Keterkejutan para ulama dayah di Aceh terhadap RUU PPK ini tentu cukup berasalan mengingat pesantren adalah identik dengan institusi pendidikan Islam.
Maka seusai pembahasan RUU ini yang berlangsung alot, para ulama menyusun sembilan rekomendasi dimana Tim Perumusnya diketuai oleh Tgk. H. Anwar Usman, pimpinan Ma’had Aly Al Munawwarah Pidie Jaya, dan juga putra dari Abu Kuta Krueng. Sementara sekretaris tim perumus yaitu menantu Waled Nu, Tgk. H. Muhammad Hatta, pimpinan Dayah Madani Banda Aceh.
Poin pertama rekomendasi ini menyatakan bahwa Ulama Aceh sangat mendukung RUU Pesantren dengan ketentuan hanya dikhususkan untuk pesantren dan tidak digabungkan dengan pendidikan keagamaan lainnya. selain itu, diharapkan memiliki tenggang waktu yang memadai untuk pembahasan dan pengesahannya.
Pada poin rekomendasi selanjutnya disebutkan, RUU ini masih diperlukan banyak perbaikan untuk penyempurnaan agar memliki landasan filosofis dan historis yang kuat. Poin ini menandakan adanya kekhawatiran para ulama dayah di Aceh jika RUU Pesantren digabungkan dengan institusi pendidikan agama lain.
Apakah kekhawatiran para ulama dayah di Aceh sesuatu yang berlebihan? Tentu saja tidak. Ini suatu kewajaran mengingat dalam sejarahnya “pesantren” sudah lumrah diketahui menjadi trademarkpendidikan Islam tradisional, tempat dimana khazanah keilmuan Islam berbasis kitab kuning dipelajari dan diajarkan kepada para santri. Dimana kekhususan pesantren jika RUU ini bercampur baur dengan institusi pendidikan di luar Islam?
Maka seorang pimpinan dayah di sebuah group Whatsapp menulis, “Jika RUU Pesantren digabungkan dengan institusi agama lain, maka ubah namanya, jangan RUU Pesantren”. Tentu masukan ini sangat logis dan sangat mungkin diterima. Intinya, untuk apa ada RUU Pesantren (dan Pendidikan Kegamaan) jika kekhususan pesantren sebagai institusi pendidikan tradisional Islam menjadi hilang?
Poin rekomendasi lain dari para ulama dan pimpinan dayah di Aceh yaitu agar ditambahkannya definisi Islam dengan aqidah Ahlusunnah wal jama’ah dalam ketentuan umum yaitu pemahaman Aqidah berdasarkan kepada manhaj Asya’irah (Abu Hasan Al-Asy’ari) dan Maturidiyah (Abu Mansur Al Maturidy), Mazhab Fiqh yang empat dalam bidang Fiqh, dan manhaj Imam Junaid al-Bagdady dan Imam Ghazali dalam bidang Tasawuf. Poin ini juga sangat beralasan karena memang ini merupakan salah satu ciri khas pesantren di Indonesia. Kitab-kitab kuning yang dipelajari dan diajarkan di dunia pesantren di Indonesia lumrah diketahui merujuk ke dasar ini.
Rekomendasi selanjutnya yaitu “Pendidikan Ula/Dasar, Wustha/Menengah, Ulya/Atas, dan Ma’had Aly adalah merupakan bahagian dari level atau jenjang pendidikan pesantren, maka segala kebijakan dalam operasional dan teknis pelaksanaan serta kurikulum mesti disesuaikan dengan pesantren, bukan dengan pendidikan lainnya”. Ini menandakan bahwa para ulama dayah di Aceh mengharapkan agar pesantren atau dayah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan institusi pendidikan lainnya.
Maka dari sejumlah poin rekomendasi ini, nampak bahwa ulama-ulama dayah di Aceh sedang ingin mengawal RUU Pesantren agar tidak “menyimpang” dari jalan yang semestinya.
Tentu, ini sebuah tindakan yang cukup penting mengingat krusialnya posisi RUU ini dalam pembangunan pesantren jika sudah disahkan nanti. Selain itu, para ulama dayah di Aceh juga mendukung alokasi anggaran tetap untuk pesantren sebanyak 30 persen dari total 20 persen anggaran pendidikan Nasional dan 30 persen dari total 20 persen alokasi anggaran untuk pendidikan di daerah.
Kalau misalnya RUU Pesantren telah disahkan, sementara dukungan secara finansial tidak jelas maka sama saja, amanat Undang-Undang Pesantren ini tidak akan bisa dieksekusi. Sama halnya dengan Raqan Pendidikan Dayah di Aceh. Jika Raqan ini sudah disahkan dan 30 persen anggaran untuk dayah dari total 20 persen anggaran pendidikan tidak disanggupi, maka sama saja segala amanat undang-undang tidak akan maksimal untuk dieksekusi.
Terhadap sejumlah masukan ini, hal paling penting adalah bagaimana agar aspirasi ulama dayah di Aceh ini dapat terdengar hingga ke pusat. Saya mendengar hal yang menarik dari pengakuan orang Kemenag Pusat, bahwa Aceh menjadi pilot projectpembangunan pesantren di Indonesia.
Hal ini karena memang Aceh lebih terdepan dalam pembangunan dayah. Misalnya dengan adanya Dinas Pendidikan Dayah Aceh, dan kini juga sedang digodok Raqan Pendidikan Dayah. Namun demikian, kita tentu tidak boleh berbangga hati sekedar mendapat apresiasi sebagai daerah pelopor pembangunan pesantren. Kita berharap bagaimana agar rekomendasi para ulama dayah di Aceh bisa diterima sepenuhnya.
Penulis adalah Dosen FTK UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekretaris Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Email abu.erbakan@gmail.com.