Kitab Kuning 'Masuk Kampus'

Oleh Teuku Zulkhairi Dunia kampus sejatinya terbuka dengan berbagai wacana dan referensi pengetahuan. Maka ketika beberapa waktu lal...


Oleh Teuku Zulkhairi
Dunia kampus sejatinya terbuka dengan berbagai wacana dan referensi pengetahuan. Maka ketika beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. Warul Walidin melaunching kegiatan “Seumeubeut  ulama kharismatik Aceh” di Pascasarajana, penulis menangkap ini sebagai bagian dari upaya UIN untuk mengemban tanggung jawab sejarah. Tgk. H. Nuruzzahri (Waled Nu) yang bertindak sebagai narasumber dan membaca kitab Al-Maalli  saat itu menjelaskan banyak hal bagaimana kitab kuning selama ini dipelajari dan diajarkan di institusi pendidikan dayah. Waled Nu menjelaskan bagaimana sebuah kalimat “Bismillah” dapat dipelajari berhari-hari dan berbulan-bulan oleh para santri.

<script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<script>
     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({
          google_ad_client: "ca-pub-9698669690252837",
          enable_page_level_ads: true
     });

</script>

Setiap baris dari isi kitab-kitab yang menjadi referensi pembelajaran di institusi pendidikan dayah akan dipelajari sampai tuntas. Sesungguhnya, model pembelajaran semacam ini memiliki keungggulan karena pendalaman yang menyeluruh atas setiap baris-baris kitab kuning klasik (turast). Misalnya ketika membaca sebuah kalimat dalam kitab kuning, pemahaman yang komprehensif pun akan didapat oleh pelajarnya mulai dari uslub sebuah kalimat yang digunakan pengarang, pemahaman atas baris-baris isi kitab, kenapa baris atas (fatah), baris bawah (kasrah) dan baris depan (dhammah) yang berimplikasi pada tujuan memperoleh pemahaman yang utuh sebagaimana dimaksudkan oleh sang pengarang kitab.
Maka untuk dapat mempelajari dan menguasai kitab kuning secara mendalam, dibutuhkan penguasaan yang cukup atas ilmu alat lainnya seperti pemahaman atas kosakata (mufradat) bahasa Arab, penguasaan atas gramatikal bahasa Arab (ilmu nahwu, sharaf) dan ilmu-ilmu yang lain yang juga dipelajari secara khusus. Intinya, mengkaji kitab kuning secara mendalam niscaya membutuhkan ragam keilmuan pendukung. Ini menandaskan bahwa kajian kitab memang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan, serta waktu yang lama.
          Pembelajaran dengan model seperti ini memang tidak mungkin seluruhnya dapat dibawa secara menyeluruh ke model pendidikan kampus. Hal ini dengan alasan keterbatasan waktu dan sebab-sebab yang lain. Sistem pembelajaran yang sudah berlaku secara baku di kampus dewasa ini misalnya di mana mahasiswa diberikan tugas untuk membuat makalah terkait tema-tema yang sudah ditetapkan dalam silabus. Para pengajar akan mengarahkan mahasiswanya untuk merujuk ke sejumlah referensi untuk dikaji oleh mahasiswa untuk kemudian dipresentasikan. Keunggulan pembelajaran dengan model seperti ini, mahasiswa akan membaca banyak referensi untuk dapat mengupas sebuah permasalahan atau materi-materi yang telah ditetapkan. Kekurangannya, tidak ada kajian yang mendalam terhadap isi kitab atau materi-materi. Dunia perguruan tinggi Islam di Indonesia umumnya memang tidak mengkaji kitab-kitab tertentu secara khusus. Kajian kitab umumnya bersifat parsial. Yang dikaji hanya masalah tertentu yang terkait dengan tema yang dibahas. Ini berbeda dengan sistem pendidikan di dayah dimana semua persoalan (isi kitab kuning) dibedah dari hulu ke hilir. Dari A sampai Z. Tapi kekurangannya, ini membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga pelajar yang tidak belajar dalam waktu yang lama maka tidak akan dapat memahami banyak persoalan yang seharusnya dia pahami sebagai muslim.
          Intinya, model pembelajaran yang diterapkan institusi dayah dan kampus memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Maka oleh sebab itu, munculnya gagasan-gagasan untuk mengintegrasikan keunggulan model-model pembelajaran ini adalah hal yang patut diapresiasi. Dunia pendidikan dayah sendiri dewasa ini kian terbuka mengadopsi model pembelajaran yang menjaditrademarknya dunia kampus. Misalnya dengan hadirnya Sejumlah Sekolah tinggi dan Ma’had ‘Aly di lingkungan dayah yang tentu saja dibarengi dengan asimilasi model pembelajaran kampus ke dayah. Selian itu, sejak dua dekade terakhir, semakin banyak santri dayah yang menempuh pendidikan lanjutan ke perguruan tinggi Islam.
Oleh sebab itu, sekali lagi, gagasan seumeubeut kitab kuning oleh ulama kharismatik di UIN Ar-Raniry adalah hal yang patut diapresiasi. Setidaknya, dengan ini dapat menjadi wahana pendekatan model pembelajaran khas dayah ke dunia kampus. Sejatinya, perguruan tinggi Islam semacam UIN Ar-Raniry memang tidak dapat dilepaskan dari khazanah keilmuan klasik (turast) yang ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitabnya yang masyhur dengan sebutan “kitab kuning”. Apalagi, dalam rangka pengembangan kelimuan Islam dan karakter pelajarnya, kebutuhan terhadap referensi-referensi dari kitab kuning sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan.
Setidaknya terdapat dua alasan utama untuk memahami hal ini. Pertama, sebagai perguruan tinggi Islam, studi Islam di berbagai jurusan di Ar-Raniry sangat membutuhkan referensi-referensi dari kitab kuning sebagai warisan intelektual Islam di masa silam. Jikapun argumen ini henak ditepis dengan pernyataan “kitab kuning ketinggalan zaman”, maka pada kenyataannya kitab kuning tidak pernah ketinggalan zaman. Siapapun yang dengan tulis mengkaji kitab kuning tentu tidak akan sampai pada kesimpulan itu, kecuali jika hanya berkomentar dari luar saja. Mereka yang telah sampai pada tataran ilmu yang tinggi pasti akan terus merendah diri di hadapan kekayaan warisan perbendaharaan ilmu dari kitab-kitab turast peninggalan ulama-ulama terdahulu.
Berbagai problem yang muncul di dunia kontemporer yang menimpa umat Islam memang tidak seluruhnya tertera secara spesifik dalam kitab kuning sebagaimana yang sering disinggung beberapa kalangan. Tapi perlu dicatat, kitab kuning sendiri bukanlah sesuatu yang anti terhadap perkembangan zaman. Kaidah-kaidah Ushuluiyah yang diletakkan Imam Syafi’i misalnya, membuka peluang melahirkan “ijtihad” baru untuk merespons problem-problem fiqh kontemporer yang dahulu tidak dibahas dalam kitab kuning. Tapi sesungguhnya apa yang tidak dibahas tersebut hanyalah sebagian kecil.
Pada faktanya, hampir sebagian besar problem kontemporer dunia lainnya telah dibahas tuntas dalam kitab kuning. Mulai dari persoalan akhlak, pendidikan, ekonomi, politik, aqidah dan berbagai persoalan lainnya. Maka di sini kita mengenal kitab-kitab kuning semacam Ta’lim Muta’lim yang masyhur. Sebuah kitab yang membahas adab-adab seorang pelajar yang hingga kini menjadi objek kajian di dunia pendidikan Islam. Ketika hari ini kita mendapati problem-problem akut yang mendera bangsa Indonesia, semisal persoalan korupsi, badai hoaxs dan fitnah, hilangnya budaya santun dan sebagainya, maka kitab kuning semisal Kitab Nashaihul ‘ibad,Ihya ‘UlumuddinMuraqil ‘Ubudiyah dan lain-lain telah memberikan solusi fundamental dalam menghadapinya. Ketika praktek politik kita gagal melahirkan kesejahteraan, sebenarnya politik yang ideal untuk mencapai tujuan ini telah dibahas dalam kitab kuning, seperti dalam Al Ahkam Sultaniyah.
Dan ketika hari ini kita menyaksikan gonjang-ganjing kehidupan bermasyarakat karena masukanya aqidah-aqidah yang asing di telinga masyarakat Aceh, maka sebenarnya jauh-jauh hari kitab kuning telah memberi penjelasan yang cukup memadai tentang aqidah yang dengan itu kita akan terhindar dari kebingungan dan keraguan dalam beragama. Bahkan agar isi kitab kuning bertuliskan Arab ini dapat dipahami masyarakat luas, para ulama Aceh dan dunia Melayu dahulu juga telah menerjemahkan atau menulis ulang dalam bahasa Jawi (Arab-Melayu) sehingga dapat dengan mudah dipelajari dan dipahami oleh masyarakat dalam level awam sekalipun. Maka kita mendapati referensi yang melimpah kitab-kitab Jawi yang dikarang oleh Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Syaikh Abdussamad Al-Falimbani, Daud Fathani, Nuruddin Ar-Raniry dan seterusnya.
          Kedua, nama Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang ditasbihkan menjadi nama kampus UIN Ar-Raniry, beliau adalah ulama masyhur di masa kerajaan Aceh Darussalam yang banyak sekali menulis kitab-kitab dalam berbagai berbagai kategori keilmuan. Maka tentu saja para pelajar UIN Ar-Raniry sudah seidealnya mengikuti jejak Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang akrab dengan kitab-kitab kuning. Saya meyakini, di balik alasan para pendahulu kita memberi nama kampus Ar-Raniry terbesit harapan agar para pelajar di Ar-Raniry kelak akan akrab dengan karya-karya beliau khususnya, dan karya-karya para ulama lainnya yang termaktub dalam kitab-kitab kuning. Begitu juga, saya meyakini dibalik alasan para pendahulu kita memberi nama kampus Universitas Syiah Kuala yang merujuk pada Syaikh Abdurrauf As-Singkili. Tentu terdapat harapan mereka agar para pelajar Unsyiah dapat akrab dengan kitab-kitab Syiah Kuala dan kitab kuning lainnya yang menjadi bahan kajian beliau di masa hidupnya. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara.

Link: http://aceh.tribunnews.com/2019/02/07/kitab-kuning-masuk-kampus

Related

Pendidikan 6050247851038900149

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item