Pendidikan Islami Hanya Khayalan?
Harian Serambi Indonesia, Jum'at 29 November 2019 Oleh Teuku Zulkhairi Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Band...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2019/11/pendidikan-islami-hanya-khayalan.html
Harian Serambi Indonesia, Jum'at 29 November 2019
Oleh Teuku Zulkhairi
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Email abu.erbakan@gmail.com.
Bayangkan saja, sudah hampir 20 tahun Syari’at Islam berlaku secara legal formal di Aceh. Dan sudah tak terhitung dana Otonomi Khusus (Otsus) dikucurkan ke Aceh oleh Pemerintah Pusat. Tapi pendidikan Islami masih sebatas khayalan meski terus digaungkan. Saat yang bersamaan, generasi demi generasi lulus dari institusi pendidikan yang “tidak Islami”. Jadi ini betul-betul aneh sehingga kita semua patut heran. Padahal apa yang kurang, kita punya banyak pakar dan juga Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang seharusnya bekerja keras dan serius.
Kita juga memiliki Qanun Pendidikan Aceh Nomor 9 Tahun 2015 sebagai landasan hukum yang menghendaki agar pendidikan di Aceh dilaksanakan secara Islami. Tapi nampaknya qanun tinggallah qanun. Maka dengan implementasi pendidikan Islami yang masih sebatas khayalan, akibatnya, penyelenggaraan pendidikan di Aceh tidak sepenuhnya menyatu dengan nafas Syari’at Islam. Generasi muda kita akan lahir dengan pemahaman yang nihil tentang integrasi ilmu, tentang Islam yang mengatur semua persoalan dan seluruh sendi kehidupan manusia.
Padahal dukungan terhadap Syari’at Islam dari ranah pendidikan adalah sesuatu yang prinsipil dan fundamental. Sebab, manusia unggul dan paripurna yang dikehendaki oleh Syari’at Islam hanya dan hanya bisa “dicetak” oleh pendidikan, bukan oleh hukuman meskipun hukuman juga dibutuhkan. Maka dalam Islam menuntut ilmu adalah sesuatu yang wajib. Dan Islam juga menegaskan bagaimana Allah Swt memuliakan para ahlul ‘ilmi, yaitu dengan diangkatnya derajat mereka di sisi Allah Swt bersama orang-orang beriman. Dan pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang dapat mengantarkan para thalibul ‘ilmi (baca: penuntut ilmu) ke dalam suatu derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. Artinya, ilmu apapun yang dipelajari para pelajar kita seharusnya mendekatkan mereka kepada Allah Swt Sang Pencipta Alam Semesta.
Tapi dengan pendidikan yang dikotomis seperti yang selama ini berjalan, kurikulum pelajaran agama di satu sisi dan kurikulum umum di sisi lainnya, maka cita-cita untuk menempatkan institusi pendidikan sebagai sarana untuk mencetak generasi muda - yang mengenal Allah Swt dalam setiap detak nafasnya dan kemudian tunduk dan patuh atas segala aturan-Nya - niscaya hanya akan menjadi suatu yang utopia, khayalan belaka.
Padahal, penyelenggaraan pendidikan Islami di Aceh juga telah secara jelas diamanatkan oleh Qanun. Dalam Qanun Pendidikan Aceh sebagaimana disebutkan di awal, pada Bab XI tentang “Kurikulum” Pasal 44 ayat satu disebutkan: “Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dan muatan lokal yang “dilaksanakan secara Islami”. Dan penjelasan tentang ini dijelaskan pada ayat dua bahwa “Kurikulum yang dilaksanakan secara Islami sebagaimana dimaksud pada ayat satu wajib memuat semua mata pelajaran inti dan muatan lokal.
Mata pelajaran inti terdiri dari Pendidikan Agama Islam dan prakteknya, meliputi Aqidah akhlak dan budi pekerti; Fiqh; dan Al-Quran dan Hadist. Selanjutnya yaitu Pendidikan Kewarganegaraan; Matematika/berhitung; Ilmu Pengetahuan Alam; Ilmu Pengetahuan Sosial; Bahasa dan Sastra Indonesia; Bahasa Inggris; Bahasa Arab; Pendidikan Jasmani dan Olahraga; dan Sejarah Kebudayaan Islam. sementara mata pelajaran muatan lokal meliputi: Bahasa Daerah; Sejarah Aceh; Adat, Budaya, dan kearifan lokal; dan Pendidikan Keterampilan.
Isi qanun tersebut pada dasarnya sudah sangat-sangat sesuai dengan harapan Islam yang menghendaki agar nilai-nilai Islam terintegrasi dalam semua ilmu. Bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu sebagaimana yang dipahami dalam pendidikan yang sekuler warisan penjajah. Dikotomi ilmu tidak lain hanya akan melahirkan produk pendidikan yang gagal melihat kebesaran Allah Swt dalam alam semesta.
Di sisi yang lain, pendidikan sekuler warisan penjajah Belanda ini pada dasarnya hanya dapat melahirkan produk pendidikan yang materialistik. Sebagai contoh, dalam pendidikan yang sekuler, ketika para pelajar mempelajari ilmu tentang ekonomi, secara sistematis mereka akan diarahkan untuk menerima sistem kapitalistik yang memenjarakan. Mereka belajar ilmu pengetahuan alam, tapi kemudian mereka ragu tentang Tuhan yang telah menciptakan mereka. Ketika mereka belajar seni dan budaya, mereka gagal memahami bahwa Islam juga mengatur seni dan budaya sehingga semuanya akan bernilai ibadah di sisi-nya.
Ketika mereka belajar politik, niscaya mereka akan menjadi politisi yang gagal menjadikan kekuasaan sebagai sarana yang dapat mengantarkan mereka dan rakyatnya kepada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Itulah di antara resiko buruk pendidikan sekuleristik yang dapat dengan mudah kita saksikan di negara kita dewasa ini. Berlakunya Syari’at Islam di Aceh sebenarnya kita harapkan dapat menghilangkan praktek pendidikan sekuler ini, sebagaimana dalam hukum pidana kita telah berjuang meninggalkan hukum pidana yang sekuler warisan Belanda dan beralih ke Qanun Jinayat sebagai kehendak dari Sang Pencipta Alam Semeta.
Tapi kenapa kita terlalu sulit beralih dari sistem pendidikan sekuler menuju pendidikan yang Islami meskipun kita memiliki segala macam modal yang dibutuhkan, baik Sumber Daya Manusia, dana hingga besarnya dukungan publik? Saya membaca hasil penelitian thesis yang dilakukan Moharriadi (tahun 2016). Hasil penelitian ini menemukan sejumlah kendala utama dalam proses menuju pendidikan Islami di Aceh. Kendala-kendala yang menurut saya cukup mengherankan mengingat semua pemegang otoritas mengatur urusan pendidikan di Aceh ini adalah muslim. Kendala pertama pendidikan Islami adalah belum adanya pedoman kurikulum pendidikan yang Islami. Ini betul-betul aneh. Hampir 20 tahun Syari’at Islam berlaku, bagaimana mungkin para pemegang otoritas pendidikan gagal melahirkan pedoman kurikulum Islami?
Jadi mari kita ingatkan para pemegang otoritas ini. jangan sia-siakan kesempatan yang dimiliki untuk meraih ridha Allah Swt. kendala berikutnya adalah pembatasan anggaran. Jadi para pengambil kebijakan tentang anggaran masih belum mampu menangkap pentingnya keseriusan menuju pendidikan Islami di Aceh. kebutuhan dana mungkin besar, tapi kadangkala para pengambil kebijakan menganggap besar kalau untuk kepentingan agama. Dan tidak besar kalau untuk keperluan yang bukan kepentingan agama. Kita berharap para pengambil kebijakan mengubah minsead ini. Jangan sia-siakan kesempatan untuk membangun Aceh.
Kendala berikutnya ada pada Top Leader, yaitu para elit. Artinya untuk mewujudkan pendidikan yang Islami, tantangan kita ada para pemimpin yang belum memahami sepenuhnya arti pentingnya berjuang dengan serius mewujudkan pendidikan Islami di Aceh. Maka kita berharap siapapun yang memiliki akses dengan para elit hendaknya mengingatkan akan pentingnya pendidikan Islami di Aceh yang diawali dengan rancangan kurikulum yang Islami (serta juga penyediaan guru yang mampu memahami tujuan ini). Yang menarik adalah bahwa legislatif Aceh, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sudah menunjukkan keseriusan. Tapi kendalanya memang ada di eksekutif sebagai eksekutor pendidikan.
Oleh sebab itu, siapapun yang memiliki akses dengan para pengambil kebijakan pendidikan hendaknya dapat menyampaikan perihal pentingnya pendidikan yang Islami di Aceh. Sudah saatnya dikotomi pendidikan di Aceh berakhir. Sudah puluhan tahun Indonesia merdeka, dan sudah belasan tahun Syari’at Islam diterapkan, akan tetapi pendidikan kita masih sekuler. Buku-buku pelajaran agama pun masih kita impor dari luar Aceh yang jangankan memuat bahasan tentang Syari’at Islam dan sisi lokal Aceh, pemahaman Islam tidak secara kaffah diajarkan. Semoga tulisan ini dapat menjadi pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak bahwa kita sudah saling mengingatkan.