Menjaga Keberkahan Dayah
Menjaga Keberkahan Dayah
Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA
Dimuat di Harian Serambi Indonesia, 23 Januari 2021
Dayah dalam sejarahnya tidak hanya dipahami sebagai institusi pendidikan Islam oleh masyarakat Aceh, namun juga sebagai sub sistem dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kita bisa melihat misalnya bagaimana masyarakat Aceh begitu memposisikan dayah pada posisi yang spesial. Seorang pimpinan dayah di suatu daerah misalnya, dipersepsikan oleh masyarakat bukan sekedar pimpinan sebuah lembaga pendidikan, tapi lebih dari itu, ketika memimpin dayah maka seorang pimpinan dayah akan dipersepsikan sebagai seoang ulama yang dihormati. Masyarakat merujuk kepada mereka atas persoalan-persoalan yang menderanya.
Ya meskipun terlepas bahwa mungkin ada juga yang tidak memposisikan dayah pada posisi tersebut. Itu hal yang lumrah. Tapi yang jelas siapapun tidak bisa membantah fakta peran vital para ulama di tengah-tengah masyarakat Aceh. Siapapun dapat menyaksikan bagaimana dekatnya para ulama dengan masyarakat di sekitarnya. Ada aura ketenangan ketika masyarakat mendekati para ulama, baik ketika pengajian atau dalam even-even lainnya. Sebab, ulama dayah mendidik masyarakat untuk mengenal Tuhannya dan dirinya.
Bahkan, para ulama dayah di Aceh juga ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di tengah-tengah masyarakat Aceh sesuai dengan harapan Islam. Ini adalah peran sakral yang diperankan oleh para ulama dayah yang dengan peran ini membuat masyarakat kita dapat menjaga identitas keislamannya berabad-abad lamanya. Dan terbukti bahwa hingga hari ini Aceh identik dengan Islam. Ini Ada nilai-nilai keberkahan yang terus dilestarikan di dayah. Itu sebab sehingga pendidikan dayah terus menerus dipercayakan oleh masyarakat Aceh untuk mendidik anak-anak mereka.
Bahkan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap dayah terus meningkat setiap tahun. Lihat saja bagaimana membludaknya para calon santri yang ingin masuk ke dayah setiap tahunnya. Baik dayah tradisional maupun dayah modern. Termasuk juga dayah tahfizh. Banyak dayah-dayah di Aceh yang setiap tahun terus mengalami kekurangan kamar tidur (bilik) santri oleh karena semakin antusiasnya para orang tua mengantarkan anak-anaknya ke dayah. Dari fakta ini, harus kita akui bahwa dayah di Aceh bukan hanya lembaga pendidikan warisan masa lalu, tetapi juga lembaga pendidikan untuk masa depan.
Jika demikian, maka sudah semestinya kita berupaya aktif menjaga identitas pendidikan dayah sebagai lembaga pendidikan warisan peradaban Aceh ini. Karena seperti yang saya katakan di atas, dayah bukan sekedar lembaga pendidikan warisan masa lalu, namun juga hadir untuk masa depan. Ketika hiruk piku duniawi yang semakin kuat menyeret generasi muda kita dalam arus globalisasi yang materislitis dan hedonistis dan bahkan semakin sulit dibendung, dayah tetap menjaga perannya sebagai benteng pertahanan yang kokoh.
Dayah juga tampil menjadi pengawal atas tradisi-tradisi keislaman yang menyejarah dalam kehidupan masyarakat Aceh di tengah ancaman kepunahannya oleh berbagai serangan dari berbagai sisi. Itu maknanya bahwa dayah adalah institusi pendidikan Islam yang semakin mampu menunjukkan keberkahannya. Dan kita semua harus terus merawat keberkahan ini. Bukan saja demi eksistensi dayah, namun juga demi Aceh sebagai entitas peradaban serta bagi Islam secara lebih luasnya. Sekarang kita berbicara ke inti masalah. Bahwa saat ini dayah menghadapi persoalan yang tidak bisa dipandang kecil. Hal ini karena tata kelola pemeritahan terhadap pembangunan dayah yang bermasalah besar. Saya katakan sekali bahwa ini adalah masalah besar. Dan masalah ini tidak datang dari dayah. Melainkan dari sistem kelola pemerintahan. Kita sebenarnya memiliki Dinas Dayah yang seharusnya memahami permasalahan ini secara lebih mendalam dan kemudian dapat menjaga keberkahan dayah dan nilai sakralnya di mata masyarakat.
Kita patut tersentak ketika membaca penjelasan hukum Islam dari Ayah Cot Trung (Ketua Tastafi Aceh dan juga pimpinan Dayah Raudhatul Ma’arif Aceh Utara), bahwa fee dana pokir statusnya adalah haram. “Jika pihak dayah atau masjid harus mengambil jatah dana dayah atau masjid untuk fee anggota dewan, maka yang memberi dan menerima uang tersebut dua-duanya pencuri," kata Ayah Cot Trueng pada acara Muzakarah MPU Pidie dan telah disepakati oleh anggota MPU Pidie yang mengikuti muzakarah tersebut sebagaimana dilansir Harian Serambi Indonesia, Kamis 26 November 2020. Dan semakin heran ketika melihat bahwa isu ini berjalan tanpa penyelesaian. Kegundahan atas keadaan ini juga saya simak dari sejumlah ulama dayah di Aceh.
Kita tidak akan menyalahkan siapapun atas kondisi ini, baik institusi dayah maupun pemerintah. Hanya ingin mendorong agar kita bisa keluar dari problmetika ini. Juga tentu saja tidak akan menyalahkan para anggota dewan yang telah bersedia membantu dayah-dayah dengan dana Pokirnya. Malah kita patut berterimakasih karena mereka peduli kepada dayah. Tapi pertanyaan yang patut menjadi renungan kita bersama adalah, bagaimana memahami fee dana pokir yang statusnya haram dalam pandangan Islam sebagaimana penjelasan Ayah Cot Trueng yang dibahas dalam muzakarah MPU Pidie sebagaimana disebut di atas?
Barangkali, alasan mengapa dayah menerima dana Pokir adalah karena tidak ada kejelasan bantuan reguler dari pemerintah Aceh, dalam hal ini yaitu Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Memang dayah-dayah di Aceh telah diklasifikasi dalam tipe-tipe, tipe A, B dan seterusnya. Tapi pada kenyataannya tipe-tipe ini tidak berpengaruh terhadap anggaran yang diberikan. Atau bahkan tidak akan ada bantuan jika tidak memiliki kedekatan khusus dengan unsur-unsur kekuasaan. Mungkin ini salah satu sebab pihak dayah harus berjibaku sendiri mencari sumber anggaran hibah untuk pembangunan dayah sehingga pokir dewan menjadi salah satu solusi. Padahal seharusnya, dengan klasifikasi dayah ke dalam tipe-tipe maka sudah jelas pula bantuan reguler yang diterima. Sekiranya bantuan reguler sudah jelas dan memang dianggarkan ke semua dayah, dan bahwa jumlah bantuan diberikan sesuai dengan tipe, mungkin pihak dayah di Aceh tidak akan mencari alternatif ke pokir dewan.
Perlu dipahami bahwa bagi para pengelola dayah, mereka dibebani dengan tuntutan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang semakin hari semakin besar karena semakin meningkatnya antusiasme orang tua untuk mengantarkan anaknya belajar ke dayah. Tapi di sisi lain, bantuan reguler dari pemerintah juga tidak jelas sistem yang diatur sehingga mendorong dayah untuk bergumul dengan bantuan Pokir. Sangat berbeda dengan sistem yang berlaku pada lembaga pendidikan umum seperti sekolah-sekolah dan madrasah.
Saya pernah mendengar pandangan-pandangan orang yang berfikir bahwa semestinya dayah kembali menjadi institusi pendidikan yang berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat. tujuannya yaitu agar terjaga keberkahannnya. Ya itu betul. Dayah mungkin tetap akan eksis dengan atau tanpa kepedulian pemerintah. Tapi di era otonomi khusus, kita tidak perlu berbicara dayah tidak seharusnnya menerima bantuan pemerintah, namun yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah bagaimana agar pemerintah tetap dapat menjaga keberkahan dayah setelah membantunya. Jangan membantu di satu sisi tapi membuka pintu kerusakan di sisi lainnya.
Jika status fee dana Pokir telah diputuskan haram oleh ulama, semestinya menjadi perhatian bersama agar kita berjuang menjauhinya. Pastikan bahwa pembangunan dayah berasal dari bantuan reguler yang “hana fee”. Atau, jikapun dayah menerima dana pokir dewan untuk pembangunan namun pastikan tidak ada fee oleh sebab statusnya telah dijelaskan haram oleh ulama. Dayah adalah benteng Islam di Aceh sehingga kita memiliki tanggungjawab moral menjaga keberkahannya. Dan terakhir, kita mendorong MPU Aceh untuk mengeluarkan fatwa terhadap perkara ini sehingga sesuatu yang memang haram tidak kemudian dianggap halal. Wallahu a’lam bishshawab. [email :teuku.zulkhairi@ar-raniry.ac.
https://aceh.tribunnews.com/2021/01/23/menjaga-keberkahan-dayah