Tawasuth, Jalan Sunyi di Akhir Zaman [Bagian 1]
Tawasuth , Jalan Sunyi di Akhir Zaman [Bagian 1] Oleh Teuku Zulkhairi Akhir-akhir ini, saya sedikit mendapatkan pencerahan baru s...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/12/tawasuth-jalan-sunyi-di-akhir-zaman.html
Tawasuth, Jalan Sunyi
di Akhir Zaman [Bagian 1]
Oleh Teuku
Zulkhairi
Akhir-akhir
ini, saya sedikit mendapatkan pencerahan baru seputar apa yang disebut
Rasulullah Saw sebagai jalan sunyi nan asing di akhir zaman. Dan tulisan ini,
semata-mata untuk berbagi pemikiran dan kesabaran. Ketika dulu sering berdialog
seputar Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Sekulerisme, saya berjuang keras
menemukan posisi nalar yang memiliki referensi sejarah Islam yang kuat untuk
merespon berbagai serangan pemikiran tersebut, hingga kemudian saya menemukan
jawabannya.
Bahwa sejarah
Islam dipenuhi oleh berbagai metode berfikir masing-masing umat yang hidup di
zaman tersebut, dan bahwa dalam sejarah kejayaan Islam kita akan menemukan
posisi dan sikap tawasuth para ulama dan kaum intelektualnya karena mampu
menjalankan fungsi moderasi di hadapan berbagai metode pemikiran yang
berkembang tersebut. Andalusia adalah contoh yang nyata. Dan Turki Usmani
adalah contoh berikutnya.
Di hadapan
berbagai tantangan metode berfikir tersebut, kita akan membaca metode yang
cemerlang di balik kejayaan Andalusia dan Turki Usmani. Di era kejayaan Islam
di Andalusia saat dimana Barat hidup dalam abad kegelapan, para ulama kita yan
terbimbing oleh ayat-ayat Ilahiyah mampu memadukan setiap metode berfikir yang
kalaboratif dan integratif, antara keharusan untuk tetap merujuk pada teks-teks
suci hingga tidak lepas kendali, kewajiban untuk memfungsikan nalar secara
maksimal karena Alquran telah memberi tekanan besar untuk ini, hingga
keniscayaan untuk tetap menempuh jalan tazkiyatun nafs (jalannya para sufi)
hingga mereka jauh dari kesombongan dan keangkuhan.
Intinya, mereka
mampu memadukan kewajiban untuk merujuk pada teks-teks suci, keharusan memfungsikan
nalar dan kewajiban untuk bertasawuf. Dan hasilnya?, Islam menjadi mercusuar
dalam lapangan ilmu dan peradaban.
Roger Bacon dan
Francis Bacon yang dikenal di Eropa pun pada dasarnya tidak lebih dari seorang
pembawa ilmu dan metode keIslaman ke dunia Masehi-Eropa (Muhammad Syadid: tt).
Ia tidak jemu-jemu untuk mengatakan dengan terus terang bahwa mempelajari
bahasa Arab dan ilmu-ilmunya merupakan satu-satunya jalan untuk menuju ilmu
pengetahuan yang sebenarnya, polemik dan perdebatan tentang siapakah peletak
dasar metode empirisme itu merupakan bagian dari upaya untuk melakukan
perubahan besar bagi dasar perdaban Eropa.
Dan metode
empiris milik orang-orang Arab pada masa Bacon itu telah tersebar secara luas
dan banyak orang di penjuru Eropa dengan tekun. Darimana Roger Bacon mengambil
ilmu-ilmu itu? Tidak lain adalah dari Universitas-Universitas Islam di
Andalusia. Pasal ke lima dari bukunya Cepus Majus yang ditulisnya khusus untuk
membahas tentang optical sebenarnya merupakan salinan dari buku Manazhir karya
Ibnu al-Haisami (Privolt sebagaimana dikutip Muhammad Iqbal).
Dan, ini
membuktikan bahwa di era kejayaan Islam di Andalusia, selain metode penalaran
(burhani) yang berkembang pesat, juga mereka tetap istiqamah merujuk pada teks
sehingga mereka senantiasa terbimbing, tidak dilanda kebingungan sebagaimana
masyarakat di era Yunani Kuno. Dan sekali lagi, para ilmuan Islam di era
Andalusia ini juga adalah para sufi yang yang zuhud, tawadhu', rendah diri dan
jauh dari cinta duniawi.
Dan ternyata, sejak
era umat Islam tercabik-cabik, sejak pasca negeri-negeri Islam dimasuki para
kolonialis yang menanamkan ideologi imperialsme mereka di tengah-tengah umat
Islam, hingga kemudian umat Islam terus berada di bawah bayang-bayang
kedigdayaan peradaban Barat, metode berfikir umat Islam di era ini ditandai
dengan ter-disintegrasi atau tercerai berainya berbagai metode berfikir yang
diperkenalkan Islam dan telah dibuktikan keampuhannya di era kejayaan Islam di
Andalusia dan Turki Usmani selama beberapa abad.
Pasca
negara-negara kolonialis keluar dari tanah air Muslim, efek besar dan dan
goncangan berat yang dihadapi umat Islam hingga masa berikutnya, bahkan hingga
saat ini, adalah munculnya mental inferior, merasa rendah diri, sembari
melupakan konsepsi kejayaan masa lalu yang pernah di raih secara gemilang.
Akibatnya,
sikap tawasuth dalam berfikir kemudian di anggap asing dan aneh. Tasamuh
dalam hal furu’iyah dianggap aneh dan menakutkan. Jadilah umat bergerak
dengan metodenya masing-masing. Dan celakanya, di antara sesame umat Islam saling
tidak bisa akur.
Ketika jalan
Tawasuth sebagai cara pandang dan falsafah hidup umat Islam kembali dikaji dan
didialogkkan sebagai ikhtiar menuju “wihdatul harakah” dan jalan kebangkitan,
jalan ini kembali dianggap aneh dan sunyi. Sebagian kaum Sufi (dengan metode
Irfani-nya) sulit terkoneksi dengan “firkah bayani” (mereka yang konsisten
berpaku pada teks suci). Sementara mereka yang terjebak pada metode Burhani
(rasionalisme) semata cenderung larut dalam kegalauan, kebimbangan dan keraguan
tak berujung, bahkan tidak seidkit yang kemudian larut dalam kesombongan,
sesuatu yang barangkali menjadi sebab hingga kemudian Ibnu Shalah dan Imam
Nawawi mengharamkan ilmu logika (lihat: kitab Matan Sulam Al-Munawraq).
Begitulah, hingga tidak heran jika Allah Swt meminta kita sebagai makhluknya
untuk masuk Islam secara kaffah, totalitas dan menyeluruh, termasuk hingga ke
metode berfikir, falsafah hidup dan cara pandang sebagai Muslim.
Para penyokong
Islam Liberal dan pluralisme agama menganggap aneh ajakan untuk tetap berpijak
pada teks-teks suci. Suatu anggapan yang sepenuhnya terpengaruh dengan doktrin
Barat yang dianggap bisa digdaya karena meninggalkan agama mereka. Benar bahwa
Barat maju setelah meninggalkan agama mereka yang telah mengekang kebebasan
berfikir oleh sebab proses distorsi dan manipulasi teks-teks suci yang
dilakukan kalangan gerejawan, bahkan hingga kita mengenal tragedi inkuisisi di
Eropa yang mengorbankan banyak pemikir mereka oleh sebab arogansi kalangan
gerejawan yang telah memanipulasi teks-teks suci tersebut.
Para pemikir
Barat kemudian melawan dominasi gereja dan pengekangan kebebasan berfikir ini
oleh pihak gerejawan. Mereka menempuh jalan sekulerisme untuk mencapai masa
Renersaince (era pencerahan). Sebagian intelektual Barat, seperti Roger dan
Francis Bacon bersaudara, seperti dijelaskan di atas, mendapatkan pencerahan
dari para ulama Islam di Andalusia.
Jadi, sejarah
bagaimana Barat mencapai abad pencerahan sesungguhnya berbeda dengan sejarah
Islam. Pertama karena teks suci Alquran telah dijaga kemurniannya semenjak
diurunkan sehingga proses dan upaya manipulasi ayat-ayat Alquran senantiasa
terdeteksi sehingga kitab suci umat Islam tetap terjaga sebagai dalam wujudnya
awalnya hingga kini. Dalam sejarah kejayaan Islam juga tidak dikenal istilah
liberalisme dan sekulerisme.
Hujjatul Islam, Imam
Al-Ghazali sendiri, adalah ulama yang terkenal memiliki konsepsi mederasi dan
al-Wasthatiyah dalam upaya menuju kebangkitan Islam. Dengan metode integratif
dan Washatiyahnya, Imam Al-Ghazali bahkan telah mampu menempus jauh melewati
pola pikir yang baru ditemukan Barat di era Post Modernisme. Ya, saat Barat
telah dihadapkan pada kebingungan baru setelah era modernisme yang ditandai
dengan perkembangan pesat sains dan teknologi.
Kendati
demikian, konsep moderasi dan metode Washatiyah ini tidak jarang
masih tetap dianggap asing dan dimusuhi, meskipun pada faktanya memiliki
landasan yang jelas dan kuat dari berbagai referensi Islam.
Pada tataran
peradaban dunia, Islam menjadi agama yang Tawasuth (pertengahan) karena
konsepsinya yang mampu memoderasi setiap ideologi lain di dunia ini. Disebut
mampu memoderasi, karena Islam menjadi agama yang misalnya berposisi di tengah
di hadapan ideologi Komunisme dan Kapitalisme yang hari ini merajai dunia. Pada
ideologi komunisme misalnya yang mengekang kebebasan pribadi, Islam memberikan
jawabannya bahwa kebebasan pribadi tidak terlarang selama kebebasan tersebut
tidak terbentur dengan kebebasan orang lain. Islam mengecam pengekangan
kebebasan pribadi karena Islam menghormati tabiat manusia sebagai penduduk
bumi.
Lalu, di
hadapan ideologi kapitalisme yang memberi kebebasan pribadi seluas-luasnya dan
tak terbatas hingga kemudian tidak sedikit manusia yang terzalimi oleh
korporasi global yang merupakan tangan-tangan ideologi kapitalisme ini, Islam
menjelaskan bahwa hak azasi manusia harus dihormati. Misalnya, Islam
menjelaskan, silahkan cari harta sebanyak-banyaknya, namun Islam meminta kita
secara tegas untuk memastikan kehalalannya, dan juga diperkenalkan bahwa dalam
harta kita ada hak orang lain yang mesti ditunaikan.
Demikianlah,
sebagai penutup risalah para Anbiya, Islam merupakan agama yang sangat
Tawasuth, meski di akhir zaman seperti saat ini - sikap tawasuth ini - kembali dianggap sebagai jalan asing dan
sunyi, persis seperti saat awal kemunculan Islam dahulu. Kesunyian yang harus berlanjut demi masa depan peradaban dan keberlanjutan jalan kebangkitan. [ [bersambung]