Tawasuth, Jalan Asing Di Tengah Ekstrim Kanan dan Ekstrim Kiri [Bagian 2]
Tawasuth, Jalan Asing Di Tengah Ekstrim Kanan dan Ekstrim Kiri [Bagian 2] Oleh Teuku Zulkhairi Konflik di Timur Tengah...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/12/tawasuth-jalan-asing-di-tengah-ekstrim.html
Tawasuth, Jalan
Asing Di Tengah
Ekstrim Kanan dan
Ekstrim Kiri [Bagian 2]
Oleh Teuku Zulkhairi
Konflik di Timur Tengah, seharusnya mengajarkan kita untuk
kembali ke falsafah tawasuth dalam pola pikir dan cara pandang, sesuai
yang diperkenalkan ajaran Islam. Dalam tataran global peradaban dunia, Islam
menjadi agama yang tawasuth di antara agama-agama lain. Dan oleh sebab
itu, Islam menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin karena konsepsinya bisa
menjadi solusi (al-hal) atas berbagai problem umat manusia. Bahkan,
sejak beberapa dekade silam, semboyan “al-Islam huwa al-hal” semakin
popular di tengah-tengah umat Islam. Itu karena kerinduan besar umat Islam
untuk keluar dari belenggu pemikiran yang menjajah dan doktrin-doktrin
kolonialis yang melemahkan dan membuat ragu umat Islam terhadap ajaran
agamanya.
Lalu, di hadapan firkah-firkah yang muncul di
internal umat Islam, seperti dijelaskan Rasulullah Saw dalam hadisnya bahwa
Islam akan terpecah dalam 73 golongan – sebagai fakta yang mesti kita terima –
Rasulullah Saw menegaskan bahwa firkah yang akan selamat adalah mereka yang
senantiasa mengikuti Sunnah Nabi dan sahabatnya, baik dalam praktek amal,
tradisi keilmuan Islam hingga metode berfikir dan falsafah hidupnya.
Penegasan
Rasulullah Saw ini bukanlah tanpa alasan. Sebab, di hadapan segudang tantangan
pemikiran yang mengarah kepada ekstrim kiri – seperti firkah-firkah yang gemar
memalsukan hadis untuk menyanjung Saidina Ali atau Husen secara berlebihan,
menghina para sahabat Rasulullah Saw yang dimuliakan – dan tantangan pemikiran
dari golongan ekstrim kanan yang cenderung kaku karena sangat teks books/zhahiri
dalam menerjemahkan ayat-ayat Ilahiyah dan Sunnah Nabawiyah – yang
berakibat pada begitu mudahnya tudingan bid’ah dan pengkafiran kepada sesama
Islam sehingga membuka celah bagi masuknya plot-plot kejahatan di luar Islam
yang merusak persatuan umat sekaligus memperburuk wajah Islam – dalam kondisi
seperti ini kita kembali terdesak untuk merumuskan falsafah hidup dan cara
pandang yang Washatiyah sebagai jalan tengah di antara ekstrim kanan dan
ekstrim kiri tersebut.
Falsafah
seperti ini bukan saja perlu dirumuskan dan dikembangkan karena memang ianya
memiliki referensi sahih dalam Islam, namun juga karena konflik sektarian di
Timur Tengah – hendaknya tidak ter-impor ke negeri kita. Kita memahami konflik
di Syam karena ianya telah mendapatkan penjelasan-penjelasan Nubuwah, termasuk
penjelasan tentang Taifah Mansurah dan pasukan panji hitam dari Khurasan yang akan
melaju ke Syam membela umat Islam yang terzalimi, termasuk juga nubuwah
kemunculan Dajjal sebagai puncak fitnah besar dan kehadiran Imam Mahdi- serta
prosesi turunnya Nabi Isa As di Suriah yang kemudian akan mengalahkan Dajjal.
Timur
Tengah memang penuh fitnah. Namun bukan berarti segalanya yang disana adalah
tentang keburukan. Sebab, jika tidak maka Rasulullah Saw tidak akan memuji Syam
sebagai negeri yang diberkahi. Itu sebab, sekali lagi, falsafah Tawasuth dan
adil dalam memandang Timur Tengah adalah suatu yang niscaya.
Hari ini,
kita menghadapi fitnah besar dalam cara kita memandang konflik di Syam dan
khususnya terhadap umat Islam di sana. Konflik akhir zaman di Timur Tengah,
meskipun ini sudah dikabarkan Rasulullah Saw di masa hidupnya, namun sepatutnya
menjadi bahan renungan bagi kita tentang dimana posisinya kita seharusnya,
bagaimana kita melihat umat Islam yang terzalimi di sana secara adil, dan
bagaimana posisi kita di hadapan sekelompok umat yang ekstrim kanan dan ekstrim
kiri sebagaimana yang dijelaskan di atas. Pada akhirnya, harapan kita, posisi
kita adalah tetap di jalan tengah (al-washt) antara kedua kelompok
ekstrim kiri dan kanan tersebut.
Artinya,
kita tetap menolak ekstrim kanan dan juga sekaligus ekstrim kiri secara
seimbang, sebagai bagian dari upaya mencegah terjadinya model konflik sektarian
di sana di negera kita. Pun pada saat yang sama, mau tidak mau, umat Islam yang
terzalimi di sana - di Suriah sebagai negeri Ahlusunnah yang telah dirampas
Syi’ah dan sekutunya sebagai representasi ekstrim kiri, serta diobrak-abrik
ISIS sebagai ekstrim kanan dan mereka yang menciptakannya – maka mau tidak mau
kita harus jujur memandang umat Islam di sana adalah saudara kita, bahwa kita
harus mendo’akan mereka karena mereka adalah saudara kita.
Mereka
menjadi korban dari segala kebuasan, dari ekstrim kanan dan ekstrim kiri di
satu sisi, serta para musuh Islam dari luar di sisi lainnya. Bahwa setiap
kelompok yang telah membunuh nyawa manusia yang diharamkan darahnya oleh Islam
maka ia adalah musuh umat Islam dan peradaban. Baik rezim Bassar Assad dan
sekutunya, maupun ISIS dan para penyokongnya. Tidak ada istilah bagi kita untuk
mendukung ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.
Dan
kondisi seperti ini, persis seperti diterangkan Nabi Muhammad Saw bahwa kondisi
umat Islam di akhir zaman adalah persis seperti makanan di atas meja hidangan.
Yang dari Barat mau menerkam, yang dari Timur mau menerjang, yang dari Selatan
mau menginjak-injak, dan yang utara pun ikut menjajah. Suatu kondisi yang
muncul karena penyakit Wahan (takut mati) yang mendera umat Islam.
Alangkah
sedih dan pilunya hati kita, jika umat Islam yang terzalimi di sana tidak lagi
menjadi perhatian kita – dimana kita telah terjebak pada isu Bassar Assad yang Syi’ah
dan ISIS yag Wahabi, sehingga terlupakan oleh kita umat Islam yang terzalimi
oleh kedua kelompok ini. Bahwa jika bukan ISIS maka Syi’ah, dan jika bukan Syi’ah
maka Wahabi-ISIS yang ujung-ujungnya kita dihadapkan pada pertanyaan tersirat,
“Kamu dukung ISIS atau dukung Bassar Assad-Syi’ah?”. Sungguh polarisasi
pemikiran yang menghancurkan, fitnah yang membahayakan yang hanya Yahudi saja
yang terbiasa memainkan polarisasi seperti ini sehingga sungguh tidak
sepatutnya ada muslim yang menciplak model-model penggiringan seperti ini.
Sikap
Tawasuth dan adil adalah nyawa dari cara pandang Islam dalam melihat berbagai
persoalan sehingga Islam tetaplah selalu menjadi solusi atas berbagai persoalan
kemanusiaan. Falsafah Tawasuth dalam memandang berbagai persoslan ini – termasuk
dalam memandang konflik di Syam –meskipun tidak jarang dianggap aneh oleh sebagian kecil
kalangan umat Islam sendiri oleh sebab polarisasi yang begitu kuat tersebut –
namun ianya merupakan jalan asing dan sunyi yang mesti dilalui.
Dan dalam
melewati jalan tawasuth yang sunyi dan asing ini, sikap ini akan sulit dipahami
oleh sebagian kecil orang yang terbiasa
dalam prasangka. Namun, mungkin akan bisa dipahami oleh kebanyakan umat Islam
yang rendah hati dan mudah berbaik sangka. [bersambung----]