Jawaban dan Koreksi untuk Jawaban Nauval Pally Taran

Oleh Teuku Zulkhairi Saudara saya Nauval Pally Taran dalam jawabannya yang kedua [ link ini ] sepertinya belum sadar apa yang seda...


Oleh Teuku Zulkhairi

Saudara saya Nauval Pally Taran dalam jawabannya yang kedua [link ini] sepertinya belum sadar apa yang sedang terjadi luar sana. Seolah kekhawatiran masyarakat atas tudingan-tudingan bid’ah kaum “salaf” hanyalah kepura-puraan saja. Padahal, contoh-contoh yang saya sebutkan, hanyalah sebagian kecil dari fenomena yang terjadi di lapangan.

Di lapangan, saat ini kita sedang menyaksikan arus penolakan atas tudingan bid’ah dan syirik  yang begitu mudah terhadap umat Islam semakin memuncak, dari dunia maya hingga dunia nyata, sesuatu yang memperparah perpecahan dalam tubuh umat Islam sejauh ini. Sungguh kita semua resah dengan kondisi semacam ini.

Hampir setiap hari ada saja yang bahas perihal tersebut yang pada intinya masyarakat mempersoalkan metode dakwah semacam itu, karena dakwah Salafussalih benaran yang dipahami masyarakat Aceh khususnya adalah adalah dakwah bil hikmah wal mau’idhatil hasanah, sebagaimana juga ditunjukkan oleh para ulama penerus para Salafussalih. Jadi, dakwah salaf adalah dakwah bijak, bukan dakwah keras dengan menuding bid’ah dan syirik begitu mudahnya, meskipun secara tersirat Nauval dengan jawabannya tersebut seakan mengatakan “Kami memiliki bukti ilmiah atas tudingan tersebut”.

Membaca jawaban kedua Nauval, saya melihat Nauval nampaknya kembali tidak percaya atas fakta lapangan yang saya sampaikan tentang kasus-kasus tudingan bid’ah  kaum “Salaf” terhadap umat Islam, berikut juga tudingan sesat da’i Salafy (Yazid Abdul Qadir Jawas) atas Asy’ariah dan Maturidiyah yang merupakan mayoritas umat Islam di Aceh. Ulama-ulama Asy'ariah dan Maturidiah sendiri merupakan rujukan umat Islam di Aceh dalam persoalan akidah sejak berabad-abad lamanya (perihal tudingan sesat kepada Asy’ariah dan Maturidiah ini tidak ditanggapi Nauval). 

Padahal, inti masukan saya di dua tulisan sebelumnya adalah masukan agar memperbaiki metode dakwah mereka.  Itu saja. Saya pun memutuskan menulisnya menjadi artikel agar terbaca oleh semua kalangan “salafy”, supaya mereka paham apa yang terjadi lapangan, yaitu keadaan dimana ada arus besar di masyarakat yang bergerak menolak tudingan syirik dan bid’ah. Arus ini setidaknya bisa kita pahami lewat berbagai fenomena akhir-akhir ini.

Jawaban dan Koreksi

Balasan ini bukan untuk memperpanjang perdebatan (toh, alhamdulillah semuanya berjalan dengan mujadalah billati hiya ahsan), melainkan untuk menjelaskan kepada Nauval dimana titik poin dari referensi yang kita persoalkan dari Al-Bani. Saya mengutip tulisan Nauval dan memisahkannya dengan penjelasan saya agar memudahkan poin mana yang kita persoalkan.

1.    Tentang Pengkafiran Imam Bukhari

Kutipan Nauval: “Syaikh al-Bany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa al-Bukhari mengucapkan kalimat tersebut,bahwa tafsir firman Allah Ta’ala: ‘Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah) yaitu Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan seorang muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika (perkataan) tersebut ada, mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau demikian, maka jawabannya adalah pada yang telah lalu. Kepada anda, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan), sekarang dengan ucapan yang telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa tidak ada dalam al-Bukhari semisal takwil tersebut yang merupakan bentuk peniadaan”.

Kalimat Al-Bani tentang Imam Bukhari 

Koreksi untuk Pemahaman Nauval, Titik Persoalan yang Harus Dipahami
Saudaraku Nauval dan pembaca lainnya, titik persoalan dari kutipan atas dari kalimat Al-Bani ada di kalimat ini: “Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan seorang muslim yang beriman”.  Kalimat Al-Bani tersebut keluar oleh sebab Imam Bukhari mentakwilkan ayat yang berbunyi: setiap sesuatu akan hancur kecuali wajah -Nya”.
Padahal Imam Bukhari mentakwil lafaz "wajah-Nya" dengan makna kekuasaan
 supaya wajah tidak dipahami sebagai wajah makhluk oleh kalangan awam

Imam Bukhari menjelaskan bahwa ayat tersebut (lafadz wajah-Nya) maknanya adalah kerajaan/kekuasaan Allah”. Artinya, dengan makna seperti ini Imam Bukhari adalah sedang melakukan takwil ayat. Bisa dipahami bahwa apa yang dilakukan Imam Bukhari adalah upaya takwil ayat agar “wajah-Nya” dalam ayat tersebut tidak dipahami sebagai wajah seperti halnya manusia biasa, dimana hal ini bertolak belakang dengan ayat Allah Swt Laisa Kamislihi Syaiun.

Artinya, jika benar Imam Bukhari mengucapkan perkataan tersebut, menurut Al-Bani, maka Imam Bukhari sudah bukan lagi orang beriman. Kalau sudah bukan mukmin lagi, berarti maksud Al-Bani adalah Imam Bukhari sudah kafir, ini jelas. Adapun jika kita membenarkan pendapat Al-Bani yang menganggap Imam Bukhari tidak mungkin mentakwil ayat tersebut, maka berarti kita  telah bersepakat bahwa Imam Bukhari menolak takwil (seperti yang dipikirkan Al-Bani), artinya kita kita sepakat atas pemahaman Al-Bani yang menjelaskan bahwa ayat tersebut (lafadz wajah-Nya) maknanya adalah  tidak boleh ditakwil menjadi  "kerajaan/kekuasaan Allah”. Maknanya harus tetap "wajah". 

Dan hemat saya, hal semacam ini terjadi oleh karena Al-Bani dan kalangan “Salafy” cenderung menolak takwil dalam memahami Alqur’an.  Itu sebab juga, da’i salafy, Yazid Abdul Qadir Jawas memasukkan Asy’ariah dan Maturidiah dalam firqah-firqah sesat oleh karena Asy'ari dan Maturidi mendukung takwil. Kedua ulama yang menjadi rujukan Ahlusuunah wal Jama’ah, termasuk juga rujukan masyarakat Aceh adalah mengakui bolehnya takwil ayat-ayat Mutasyabihat. Penjelasan semacam ini sudah dijabarkan tuntas oleh Dayah Mudi Mesra yang mengutip rujukan para ulama-ulama besar, bisa merujuk ke LINK INI.

Kenapa  para ulama memandang perlunya takwil, karena tanpa takwil maka dalam beberapa ayat bisa berpotensi dimana Allah akan dipahami sama seperti manusia, setidaknya oleh kalangan awam, padahal dalam Alqur’an Allah menegaskan Ia tidak serupa dengan makhluknya.



2.  Kalimat Nauval tentang Al-Bani
Tanggapan: Kesimpulan TZ di atas secara tegas bertentangan langsung dengan apa yang disampaikan Syaikh Al-Bani di dalam kitab-kitab dan muhadharah ilmiyyahnya. Ini wajar terjadi bila TZ tidak berusaha bersikap adil dalam menimbang, di mana ia hanya merujuk atau mengutip pendapat orang-orangyang berselisih dengan Syaikh Albani. Padahal, adalah cara yang paling masuk akal dan adil bagi kita untuk mengetahui pendapat seseorang, dengan mengkaji langsung tulisan-tulisan dan perkataannya.

Jawaban:
Masalahnya adalah ulama yang menolak Al-Bani sangat banyak. Kita tidak mungkin sepakat atas posisi Al-Bani sebagai Muhaddis terbesar abad ini, sebagaimana harapan Nauval, padahal kita tahu sejumlah besar ulama menentang Al-Bani. Muhaddis besar sejatinya tidak ditolak secara luas semacam ini oleh sebab potensi perpecahan yang ditimbulkannya. Atas pemahaman saya seperti ini, meskipun dulu saya sempat jadikan Al-Bani sebaga referensi beberapa tulisan, Saya memutuskan untuk tidak mungkin memandang posisi Al-Bani sebagai muhaddis terbesar abad ini. Intinya, kita lebih baik merujuk kepada ulama yang bisa mempersatukan umat, atau mendekati kepada persatuan, ketimbang pada perpecahan.



3.      Perihal Al-Buthi dan Al-Bani
Yang harus dipahami Nauval, penjelasan Al-Buthi soal upaya dekonstruksi mazhab oleh Al-Bani didasari atas hasil dialog keduanya. Artinya, meski di teks kitab Al-Bani berkata boleh saja ittiba’, namun di lain waktu  beliau sudah lain lagi. Bagi yang belum membaca kitab Sa’id Ramadhan al-Buthi atau terjemahnya “Bahay Bebas Mazhab”, sepenggal cuplikan dialog Al-Buthi dan Al-Bani bisa dibaca DISINI.



4.    Problem Tentang Makna Salaf

Kutipan Nauval:
Ternyata, sebagaimana makna ahlussunnah wal jamaah, makna salafi juga demikian diperebutkan. Dan kenapa pada tulisan sebelumnya saya sebutkan bahwa salafi hanyalah sebuah manhaj (prinsip/cara beragama), agar kita tidak menyempitkan makna salafi pada sebatas klaim-klaim kelompok atau orang. Namun salafi itu pengujiannya adalah pada manhaj, yakni prinsip dan cara yang ditempuh dalam pengambilan ilmu Islam meliputi bagaimana kita berpendapat dan memilih pendapat yang tidak menyelisihi salafus shalih. (sudah saya rinci pada tulisan pertama).

Artinya, seseorang yang tidak mengaku salafi, namun ia berpemahaman dan berpengamalan sesuai salaf, maka ia adalah salafi (pengikut salaf) secara hakikat. Adapun orang yang mengaku salafi, namun pemahaman dan pengamalannya nya menyelisihi salaf, maka ia bukanlah salafi. 

Jawaban:
Masalahnya bukan berebut makna salaf Nauval, namun realitas di lapangan bahwa jika tidak memahami agama seperti apa yang dipahami golongan yang mengaku “salaf”, dengan rujukan para ulamanya seperti Syaikh Bin Baz, Ibnu Taymiyah, Al-Bani dll, maka akan mendapat julukan sebagai bid’ah, sesat dan syirik. Sekali lagi, kita bisa membaca perihal ini dalam buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” karangan Yazid Abdul Qadir Jawas yang memasukkan banyak golongan umat Islam dalam firqah-firqah sesat.

Jadi jelas, yang terjadi di lapangan tidak sebagaimana yang dikemukakan Nauval, karena pada faktanya, di luar pemahaman “Salaf” yang mereka yakini, maka menurut mereka itu adalah golongan sesat dan menyesatkan, termasuk Asy’ari dan Maturidi. Jadi itu masalahnya Nauval.


5.     Perihal Pendapat Al-Bani tentang Palestina

Kalimat Nauval:
Nukilan dari fatwa di atas jelas menunjukkan bahwa fatwa hijrah Syaikh hanya ditujukan bagi kaum muslimin yang ada di Palestina pada saat itu, yang tidak dapat melaksanakan ajaran agama di kampungnya karena dihalangi oleh kafir zionis dan sudah menemukan tempat yang aman untuk hijrah ke daerah lain yang masih dalam daerah Palestina, demi memenuhi maksud dari makna hijrah.

Maka sangat jelas, Syaikh Al-Bani sama sekali tidak menyatakan wajibnya hijrah secara mutlak pada seluruh rakyat Palestina, melainkan dengan dua syarat, yakni bagi orang yang tak lagi mampu menegakkan agamanya karena penjajahan oleh zionis, dan ia mampu untuk menemukan tempat lain dalam negeri Palestina yang ia dapat menegakkan agamanya di sana.

Jawaban:

Jawaban Al-Bani di halaman ini yang menjawab pertanyaan (As-Saail) tentang “Apakah Penduduk Tepi Barat boleh keluar ke negeri kedua (negeri lain)”. Jawaban Al-Bani adalah: “Ya, harus keluar, dari negeri yang tidak mungkin mereka melawan musuh Islam menuju negeri yang memungkinkan mereka mengamalkan syi’ar Islam”.


Tentu, penjelasan Al-Bani semacam ini berbeda dengan kesimpulan Nauval. Yang ditanyakan kepada Al-Bani oleh As-Sail disitu adalah  “Apakah Penduduk Tepi Barat boleh keluar ke negeri kedua (negeri lain)”, bukan ke wilayah Palestina yang lain.

Dari jawaban ini, saya juga memahami latar belakang mengapa pemahaman “salafy” semacam ini sangat menguntungkan Kolonialis sejak awal kemunculannya yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab.

Jika Muhammad bin Abdul Wahhab dalam “dakwah”nya di Saudi Arabia cenderung sangat menguntungkan Inggris yang saat itu sedang berjuang mengambil wilayah-wilayah Turki Usmani, maka Al-Bani dalam arahannya yang meminta umat Islam keluar dari Palestina cenderung sangat menguntungkan Israel dan negara Barat yang mensupport penduduk Israel atas wilayah Palestina.

Gila kan?, saat Israel menduduki Palestina, Al-Bani justru keluarin fatwa yang meminta umat Islam keluar dari Palestina. Bagaimanakah nasib Palestina dan al-Aqsha saat ini jika fatwa al-Bani ini didengar? Tentu sudah sepenuhnya dalam cengkeraman Israel. Kita berdo’a kepada Allah agar Ia memberi kekuatan dan keistiqamahan kepada Hamas untuk menghadapi penjajahan Israel atas Palestina. Amiin

Saya tambahkan sedikit lagi, keharusan keluar dari Palestina seperti arahan al-Bani ini juga pernah saya dengar langsung dari seorang da’i “Salafy” di Aceh, alasannya adalah karena umat Islam di Palestina tidak mungkin menghadapi Israel yang begitu kuat persenjataannya. Tentu pemahaman semacam ini sangat menguntungkan Israel dan bangsa kolonialias lainnya. Padahal, seorang Muslim seharusnya memahami bahwa begitu banyak kisah tentang kelompok yang mampu mengalahkan kelompok yang banyak, sebagaimana yang dilakukan umat Islam di periode Rasulullah.

Saya tambahkan sedikit lagi, setelah keluarga Suud berkalaborasi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, keluarga Suud pernah menolak pembahasan poin tentang “Khilafah” oleh para ulama dalam suatu konferensi di Mekkah, sesuatu yang semakin menemukan titik temu antara peran pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang menguntungkan Inggris dalam periode sejarah kecelakaan atas jatuhnya Turki Usmani. Artinya, setelah ideologi Muhammad bin Abdul Wahhab berkembang dan dijadikan mazhab resmi Arab Saudi, maka setelah itu sepenuhnya mereka menolak khilafah kembali lagi, meskipun mereka tahu peran Khilafah Turki Usmani dalam melindungi umat Islam sedunia sejak berabad-abad lamanya. Saya akan cantumkan referensi tentang ini nanti malam atau besok pag insya Allah karena bukunya tinggal di rumah.

6.     Tentang Fanatik Mazhab

Saya kira penjelasan Nauval bahwa “salafy” bukan tidak bermazhab, melainkan tidak fanatik mazhab adalah sesuatu yang bisa dibenarkan. Namun perlu dicatat, seorang muslim yang mengikuti mazhab juga jangan langsung disebut fanatik mazhab. Mengikuti mazhab - dimana para ulama  mazhab  adalah orang-orang yang tidak diragukan kapasitasnya - adalah sesuatu yang akan memudahkan kita dalam memahami ayat-ayat Allah Saw dan sunnah RasulNya sehingga menempatkan kita sebagai pengikut para Ulama Salaf yang sesungguhnya.

Adapun soal Imam Bukhari yang menurut Nauval bukan berarti beliau adalah pengikut Mazhab Syafi’i hanya karena mengutip pendapat murid Imam Syafi’i, penjelasa semacam ini bisa dibenarkan. Namun, jika melihat riwayat hidup Imam Bukhari sebagai seorang Muhaddis, jelas beliau tidak masuk dalam domain Fiqh sebagaimana halnya Al-Bani. Artinya, kesimpulan yang paling dekat ketika Imam Bukhari mengutip pendapat muridnya Imam Syafi’I adalah bahwa beliau mengikuti mazhab Syafi’i sebagaimana umumnya umat Islam pada saat itu bermazhab dengan Mazhab Syafi’i.


7.     Tentang Fadhail ‘amal
Berkata Nauval: “  Fadhail amal adalah keutamaan amal, contohnya seperti hadit-hadits yang bicara tentang ganjaran puasa, keutamaan shalat malam, dll. Adapun hadits yang jadi dasar doa berbuka puasa bukanlah hadits yang tergolong fadhail amal. Namun hadits yang menjadi dasar amalan (do`a). Dan dalam Islam, dasar amalan mestilah dibangun di atas dalil ataupun hadits yang shahih. Boleh dibangun di atas hadits yang dha`if selama ada hadits pendukung dari jalan yang lain yang mampu mengangkat derajat hadits tersebut menjadi hadits hasan, dengan syarat hadits pendukung tersebut tidaklah lebih lemah atau sama lemahnya. Ini hal yang sudah tetap di dalam ilmu hadits.

Jawaban:
Penjelasan Nauval seperti ini semakin membuat saya paham mengapa keluar tudingan “keluar dari sunnah” atas pembaca do’a اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud ini.

Namun demikian, kesimpulan Nauval tentang hadis اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ yang tidak termasuk dalam fadhail ‘amal sebenarnya sudah bertolak belakang dengan penjelasannya sendiri sebelumnya dimana ia mengatakan bahwa Fadhail ‘amalBoleh dibangun di atas hadits yang dha`if selama ada hadits pendukung dari jalan yang lain yang mampu mengangkat derajat hadits tersebut menjadi hadits hasan”.

Padahal, Nauval tahu, sebagaimana dibahas sebelumnya, terdapat hadis lain yang juga diriwayatkan  oleh Abu Daud tentang do’a berbuka dalam lafaz yang lain yang masuk kategori hasan, yaitu hadis/do’a yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi:  ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Artinya, ada dua hadis berbuka puasa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, satu dha’if, satu hasan. Keduanya seharusnya dipahami sebagai apa yang dikatakan Nauval sendiri, yaitu “Boleh dibangun di atas hadits yang dha`if selama ada hadits pendukung dari jalan yang lain yang mampu mengangkat derajat hadits tersebut menjadi hadits hasan”.

Hadis  اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ dan ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ mestilah dipahami sebagai sebagai kedua hadis yang saling terkait, meskipun lafaznya berbeda. Dan atas dasar pemahaman seperti inilah maka ulama besar lainnya seperti Prof Wahbah Zuahili memasukkan kedua do’a ini menjadi do’a berbuka puasa, seperti yang sudah dua kali saya jelaskan pada dua tulisan sebelumnya.

Jadi intinya, dibutuhkan toleransi dalam menyikapi amalan-amalan umat Islam. Apalagi, sebagian ulama juga memiliki pendapat bahwa berdo’a dengan bahasa sendiri juga bukan sesuatu yang dilarang sama sekali, meskipun dianjurkan dengan do’a-do’a yang sesuai nash Alquran dan juga dari Hadis. Do’a اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ sendiri bermakna sebagai penyerahan diri kita kepada Allah Swt terhadap ibadah (puasa) yang sudah dilakukan. Arti dari ini yaitu: “Ya Allah, bagi Engkau Hamba berpuasa, dan kepada Engkau Hamba beriman, dan dengan rizki Engkau hamba berbuka puasa”. Indah sekali bukan? Jadi, bagi yang sudah terbiasa  membaca اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ waktu berbuka puasa, lanjutkan saja. Namun jika ada waktu menghafal do’a berikutnya, yaitu ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّه, maka dianjurkan sangat untuk menghafal dan membacanya saat berbuka puasa.


8. Bukan Framing, Hanya Saling Mengingatkan Demi Persatuan Ummat
  
       Nauval mengatakan saya sedang membuat framing atas upaya saya dalam dua tulisan sebelumnya dalam rangka saling mengingatkan. Berkata Nouval: “dalam tulisannya TZ menciptakan sebuah framing, bahwa masyarakat Aceh dibuat resah dan gelisah dengan berbagai tudingan bid`ah yang dilakukan oleh pihak salafi”. 

Demi Allah, Sesungguhnya motivasi awal dan sampai saat ini saya membuat tulisan ini semata-mata hanyalah karena Allah, menjalankan perintah untuk saling tawasau bil haq, terlepas kedua balasan Nauval terlihat begitu sombong menanggapi perkara ini dengan tendensi seolah pihak lain sama sekali tidak paham dan tidak ilmiah (Kendati pun demikian, bagi pembaca yang ada waktu untuk membaca penjelasan lengkap yang ilmiah soal ini bisa merujuk ke makalah ilmiah INI). 

Pun, saya berfikir tidak masalah bagaimana Nauval menanggapinya oleh sebab “tugas” saya sebagai muslim hanya menyampaikan.

          Beberapa studi kasus di lapangan yang saya sebutkan pun nampaknya semua orang paham, dan tahu perihal ini. Artinya saya tidak sedang menggiring kasus-kasus itu menjadi framing negatif kepada Salafy, melainkan menyajikan contoh-contoh kasus itu sebagai bukti dan poin-poin dimana “salafy” harus merubahnya. Adapun perihal ribut-ribut di mesjid, saya juga telah menulis persoalan ini DISINI dimana saya tetap memandang adab di atas ilmu.

          Jujur, saya tidak membuat tulisan itu untuk tujuan negatif, melainkan dengan harapan sedikit tidaknya akan perubahan dalam pola-pola dakwah ‘salafy”, khususnya di Aceh. Karena saya yakin perubahan metode atau pola dakwah ini akan bisa mendekatkan kalangan umat Islam dalam soliditas dan persatuan, sesuatu yang kita rindukan, sekaligus sesuatu yang kita butuhkan dalam rangka mengantarkan Aceh ke puncak kejayaan dan kegemilangan peradaban Islam di masa depan. Masyarakat Aceh tidak mempersoalkan sesuatu yang berbeda dari mereka atau amalan mereka, bahkan hatta keyakinan di luar Islam(non Muslim) itu sendiri, yang kita saksikan sering dipersoalkan adalah jika ada kelompok yang suka menyalahkan,menuding bid’ah, syirik, apalagi sesat.

Jujur, saya mencinta antum semua karena Allah. Jangan sampai agenda-agenda dakwah Islam terhenti, atau mendapat penolakan hanya oleh karena metode dakwah yang cenderung keras. Wallahu a’lam bishshawab. Selamat menjalankan ibadah puasa.

Seorang yang Faqir ilmu


Related

Tsaqafah 3105750142132060734

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item