Jawaban dan Koreksi untuk Jawaban Nauval Pally Taran
Oleh Teuku Zulkhairi Saudara saya Nauval Pally Taran dalam jawabannya yang kedua [ link ini ] sepertinya belum sadar apa yang seda...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/06/jawaban-dan-koreksi-untuk-jawaban.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Saudara saya Nauval Pally Taran dalam
jawabannya yang kedua [link ini] sepertinya belum sadar apa yang sedang terjadi luar sana.
Seolah kekhawatiran masyarakat atas tudingan-tudingan bid’ah kaum “salaf”
hanyalah kepura-puraan saja. Padahal, contoh-contoh yang saya sebutkan,
hanyalah sebagian kecil dari fenomena yang terjadi di lapangan.
Di lapangan, saat ini kita sedang menyaksikan
arus penolakan atas tudingan bid’ah dan syirik
yang begitu mudah terhadap umat Islam semakin memuncak, dari dunia maya
hingga dunia nyata, sesuatu yang memperparah perpecahan dalam tubuh umat Islam
sejauh ini. Sungguh kita semua resah dengan kondisi semacam ini.
Hampir setiap hari ada saja yang bahas
perihal tersebut yang pada intinya masyarakat mempersoalkan metode dakwah
semacam itu, karena dakwah Salafussalih benaran yang dipahami masyarakat
Aceh khususnya adalah adalah dakwah bil hikmah wal mau’idhatil hasanah,
sebagaimana juga ditunjukkan oleh para ulama penerus para Salafussalih. Jadi,
dakwah salaf adalah dakwah bijak, bukan dakwah keras dengan menuding bid’ah dan
syirik begitu mudahnya, meskipun secara tersirat Nauval dengan jawabannya
tersebut seakan mengatakan “Kami memiliki bukti ilmiah atas tudingan tersebut”.
Membaca jawaban kedua Nauval, saya melihat
Nauval nampaknya kembali tidak percaya atas fakta lapangan yang saya sampaikan tentang kasus-kasus tudingan bid’ah kaum
“Salaf” terhadap umat Islam, berikut juga tudingan sesat da’i Salafy (Yazid
Abdul Qadir Jawas) atas Asy’ariah dan Maturidiyah yang merupakan mayoritas umat Islam di Aceh. Ulama-ulama Asy'ariah dan Maturidiah sendiri merupakan rujukan umat Islam di Aceh dalam persoalan akidah sejak berabad-abad lamanya (perihal tudingan
sesat kepada Asy’ariah dan Maturidiah ini tidak ditanggapi Nauval).
Padahal, inti masukan saya di dua tulisan
sebelumnya adalah masukan agar memperbaiki metode dakwah mereka. Itu saja. Saya pun memutuskan menulisnya
menjadi artikel agar terbaca oleh semua kalangan “salafy”, supaya mereka paham
apa yang terjadi lapangan, yaitu keadaan dimana ada arus besar di masyarakat
yang bergerak menolak tudingan syirik dan bid’ah. Arus ini setidaknya bisa kita
pahami lewat berbagai fenomena akhir-akhir ini.
Jawaban dan Koreksi
Balasan ini bukan untuk memperpanjang perdebatan (toh, alhamdulillah semuanya berjalan dengan mujadalah billati hiya ahsan), melainkan untuk
menjelaskan kepada Nauval dimana titik poin dari referensi yang kita persoalkan
dari Al-Bani. Saya mengutip tulisan Nauval dan memisahkannya dengan penjelasan
saya agar memudahkan poin mana yang kita persoalkan.
1. Tentang Pengkafiran Imam Bukhari
1. Tentang Pengkafiran Imam Bukhari
Kutipan
Nauval: “Syaikh al-Bany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya
keraguan bahwa al-Bukhari mengucapkan kalimat tersebut,bahwa tafsir firman
Allah Ta’ala: ‘Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah) yaitu Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan seorang
muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika (perkataan) tersebut ada,
mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau demikian, maka jawabannya adalah
pada yang telah lalu. Kepada anda, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas
anda dengan kebaikan), sekarang dengan ucapan yang
telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa tidak ada dalam al-Bukhari semisal
takwil tersebut yang merupakan bentuk peniadaan”.
Koreksi untuk Pemahaman Nauval, Titik Persoalan
yang Harus Dipahami
Saudaraku
Nauval dan pembaca lainnya, titik persoalan dari kutipan atas dari kalimat
Al-Bani ada di kalimat ini: “Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya
diucapkan seorang muslim yang beriman”. Kalimat Al-Bani tersebut keluar oleh sebab
Imam Bukhari mentakwilkan ayat yang berbunyi: ”setiap sesuatu
akan hancur kecuali wajah -Nya”.
Padahal Imam Bukhari mentakwil lafaz "wajah-Nya" dengan makna kekuasaan supaya wajah tidak dipahami sebagai wajah makhluk oleh kalangan awam |
Imam
Bukhari menjelaskan bahwa ayat tersebut (lafadz wajah-Nya) maknanya adalah
kerajaan/kekuasaan Allah”. Artinya, dengan makna seperti ini Imam Bukhari
adalah sedang melakukan takwil ayat. Bisa
dipahami bahwa apa yang dilakukan Imam Bukhari adalah upaya takwil ayat agar
“wajah-Nya” dalam ayat tersebut tidak dipahami sebagai wajah seperti halnya
manusia biasa, dimana hal ini bertolak belakang dengan ayat Allah Swt Laisa
Kamislihi Syaiun.
Artinya,
jika benar Imam Bukhari mengucapkan perkataan tersebut, menurut Al-Bani, maka
Imam Bukhari sudah bukan lagi orang beriman. Kalau sudah bukan mukmin lagi, berarti maksud Al-Bani adalah Imam Bukhari sudah kafir, ini jelas. Adapun jika
kita membenarkan pendapat Al-Bani yang menganggap Imam Bukhari tidak mungkin
mentakwil ayat tersebut, maka berarti kita
telah bersepakat bahwa Imam Bukhari menolak takwil (seperti yang
dipikirkan Al-Bani), artinya kita kita sepakat atas pemahaman Al-Bani yang menjelaskan bahwa ayat tersebut (lafadz wajah-Nya) maknanya adalah tidak boleh ditakwil menjadi "kerajaan/kekuasaan Allah”. Maknanya harus tetap "wajah".
Dan hemat saya, hal semacam ini terjadi oleh karena Al-Bani dan kalangan “Salafy”
cenderung menolak takwil dalam memahami Alqur’an. Itu sebab juga, da’i salafy, Yazid Abdul
Qadir Jawas memasukkan Asy’ariah dan Maturidiah dalam firqah-firqah sesat oleh karena Asy'ari dan Maturidi mendukung takwil. Kedua ulama yang menjadi rujukan Ahlusuunah wal Jama’ah, termasuk juga
rujukan masyarakat Aceh adalah mengakui bolehnya takwil ayat-ayat Mutasyabihat.
Penjelasan semacam ini sudah dijabarkan tuntas oleh Dayah Mudi Mesra yang
mengutip rujukan para ulama-ulama besar, bisa merujuk ke LINK INI.
Kenapa para ulama memandang
perlunya takwil, karena tanpa takwil maka dalam beberapa ayat bisa berpotensi
dimana Allah akan dipahami sama seperti manusia, setidaknya oleh kalangan awam, padahal dalam Alqur’an Allah
menegaskan Ia tidak serupa dengan makhluknya.
2. Kalimat Nauval tentang Al-Bani
Tanggapan: Kesimpulan TZ di atas secara tegas
bertentangan langsung dengan apa yang disampaikan Syaikh Al-Bani di dalam
kitab-kitab dan muhadharah ilmiyyahnya. Ini wajar terjadi bila TZ tidak
berusaha bersikap adil dalam menimbang, di mana ia hanya merujuk atau mengutip
pendapat orang-orangyang berselisih dengan Syaikh Albani. Padahal, adalah cara
yang paling masuk akal dan adil bagi kita untuk mengetahui pendapat seseorang,
dengan mengkaji langsung tulisan-tulisan dan perkataannya.
Jawaban:
Masalahnya adalah ulama yang menolak Al-Bani sangat
banyak. Kita tidak mungkin sepakat atas posisi Al-Bani sebagai Muhaddis
terbesar abad ini, sebagaimana harapan Nauval, padahal kita tahu sejumlah besar
ulama menentang Al-Bani. Muhaddis besar sejatinya tidak ditolak secara luas
semacam ini oleh sebab potensi perpecahan yang ditimbulkannya. Atas pemahaman
saya seperti ini, meskipun dulu saya sempat jadikan Al-Bani sebaga referensi
beberapa tulisan, Saya memutuskan untuk tidak mungkin memandang posisi Al-Bani
sebagai muhaddis terbesar abad ini. Intinya, kita lebih baik merujuk kepada
ulama yang bisa mempersatukan umat, atau mendekati kepada persatuan, ketimbang
pada perpecahan.
3. Perihal Al-Buthi dan Al-Bani
Yang harus dipahami Nauval, penjelasan Al-Buthi soal
upaya dekonstruksi mazhab oleh Al-Bani didasari atas hasil dialog keduanya.
Artinya, meski di teks kitab Al-Bani berkata boleh saja ittiba’, namun
di lain waktu beliau sudah lain lagi.
Bagi yang belum membaca kitab Sa’id Ramadhan al-Buthi atau terjemahnya “Bahay
Bebas Mazhab”, sepenggal cuplikan dialog Al-Buthi dan Al-Bani bisa dibaca DISINI.
4. Problem Tentang Makna Salaf
Kutipan Nauval:
Ternyata, sebagaimana makna ahlussunnah wal jamaah, makna salafi juga demikian diperebutkan. Dan kenapa pada tulisan sebelumnya saya sebutkan bahwa salafi hanyalah
sebuah manhaj (prinsip/cara beragama), agar kita tidak menyempitkan makna
salafi pada sebatas klaim-klaim kelompok atau orang. Namun salafi itu
pengujiannya adalah pada manhaj, yakni prinsip dan cara yang ditempuh dalam
pengambilan ilmu Islam meliputi bagaimana kita berpendapat dan memilih pendapat
yang tidak menyelisihi salafus shalih. (sudah saya rinci pada tulisan pertama).
Artinya,
seseorang yang tidak mengaku salafi, namun ia berpemahaman dan berpengamalan
sesuai salaf, maka ia adalah salafi (pengikut salaf) secara hakikat. Adapun
orang yang mengaku salafi, namun pemahaman dan pengamalannya nya menyelisihi
salaf, maka ia bukanlah salafi.
Jawaban:
Masalahnya bukan berebut makna salaf Nauval, namun
realitas di lapangan bahwa jika tidak memahami agama seperti apa yang dipahami
golongan yang mengaku “salaf”, dengan rujukan para ulamanya seperti Syaikh Bin
Baz, Ibnu Taymiyah, Al-Bani dll, maka akan mendapat julukan sebagai bid’ah,
sesat dan syirik. Sekali lagi, kita bisa membaca perihal ini dalam buku “Mulia
dengan Manhaj Salaf” karangan Yazid Abdul Qadir Jawas yang memasukkan banyak
golongan umat Islam dalam firqah-firqah sesat.
Jadi jelas, yang terjadi di lapangan tidak
sebagaimana yang dikemukakan Nauval, karena pada faktanya, di luar pemahaman
“Salaf” yang mereka yakini, maka menurut mereka itu adalah golongan sesat dan
menyesatkan, termasuk Asy’ari dan Maturidi. Jadi itu masalahnya Nauval.
5. Perihal Pendapat Al-Bani
tentang Palestina
Kalimat Nauval:
Nukilan dari fatwa di atas jelas menunjukkan bahwa fatwa
hijrah Syaikh hanya ditujukan bagi kaum muslimin yang ada di
Palestina pada saat itu, yang tidak dapat
melaksanakan ajaran agama di kampungnya karena dihalangi oleh kafir zionis dan
sudah menemukan tempat yang aman untuk hijrah ke daerah lain yang masih dalam daerah Palestina,
demi memenuhi maksud dari makna hijrah.
Maka sangat jelas, Syaikh Al-Bani sama sekali tidak
menyatakan wajibnya hijrah secara mutlak pada seluruh rakyat Palestina,
melainkan dengan dua syarat, yakni bagi orang yang tak lagi mampu menegakkan
agamanya karena penjajahan oleh zionis, dan ia mampu untuk menemukan tempat
lain dalam negeri Palestina yang ia dapat menegakkan agamanya di sana.
Jawaban:
Jawaban Al-Bani di halaman ini yang menjawab
pertanyaan (As-Saail) tentang “Apakah Penduduk Tepi Barat boleh keluar ke
negeri kedua (negeri lain)”. Jawaban Al-Bani adalah: “Ya, harus keluar, dari
negeri yang tidak mungkin mereka melawan musuh Islam menuju negeri yang
memungkinkan mereka mengamalkan syi’ar Islam”.
Tentu, penjelasan Al-Bani semacam ini berbeda
dengan kesimpulan Nauval. Yang ditanyakan kepada Al-Bani oleh As-Sail
disitu adalah “Apakah Penduduk Tepi
Barat boleh keluar ke negeri kedua (negeri lain)”, bukan ke wilayah Palestina
yang lain.
Dari jawaban ini, saya juga memahami latar
belakang mengapa pemahaman “salafy” semacam ini sangat menguntungkan Kolonialis
sejak awal kemunculannya yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab.
Jika Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
“dakwah”nya di Saudi Arabia cenderung sangat menguntungkan Inggris yang saat
itu sedang berjuang mengambil wilayah-wilayah Turki Usmani, maka Al-Bani dalam
arahannya yang meminta umat Islam keluar dari Palestina cenderung sangat
menguntungkan Israel dan negara Barat yang mensupport penduduk Israel atas
wilayah Palestina.
Gila kan?, saat Israel menduduki Palestina,
Al-Bani justru keluarin fatwa yang meminta umat Islam keluar dari Palestina.
Bagaimanakah nasib Palestina dan al-Aqsha saat ini jika fatwa al-Bani ini
didengar? Tentu sudah sepenuhnya dalam cengkeraman Israel. Kita berdo’a kepada
Allah agar Ia memberi kekuatan dan keistiqamahan kepada Hamas untuk menghadapi
penjajahan Israel atas Palestina. Amiin
Saya tambahkan sedikit lagi, keharusan keluar
dari Palestina seperti arahan al-Bani ini juga pernah saya dengar langsung dari
seorang da’i “Salafy” di Aceh, alasannya adalah karena umat Islam di Palestina
tidak mungkin menghadapi Israel yang begitu kuat persenjataannya. Tentu
pemahaman semacam ini sangat menguntungkan Israel dan bangsa kolonialias
lainnya. Padahal, seorang Muslim seharusnya memahami bahwa begitu banyak kisah
tentang kelompok yang mampu mengalahkan kelompok yang banyak, sebagaimana yang
dilakukan umat Islam di periode Rasulullah.
Saya tambahkan sedikit lagi, setelah keluarga
Suud berkalaborasi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, keluarga Suud pernah
menolak pembahasan poin tentang “Khilafah” oleh para ulama dalam suatu
konferensi di Mekkah, sesuatu yang semakin menemukan titik temu antara peran
pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang menguntungkan Inggris dalam periode
sejarah kecelakaan atas jatuhnya Turki Usmani. Artinya, setelah ideologi
Muhammad bin Abdul Wahhab berkembang dan dijadikan mazhab resmi Arab Saudi,
maka setelah itu sepenuhnya mereka menolak khilafah kembali lagi, meskipun
mereka tahu peran Khilafah Turki Usmani dalam melindungi umat Islam sedunia
sejak berabad-abad lamanya. Saya akan cantumkan referensi tentang ini nanti
malam atau besok pag insya Allah karena bukunya tinggal di rumah.
6. Tentang Fanatik Mazhab
Saya kira penjelasan Nauval bahwa “salafy”
bukan tidak bermazhab, melainkan tidak fanatik mazhab adalah sesuatu yang bisa
dibenarkan. Namun perlu dicatat, seorang muslim yang mengikuti mazhab juga
jangan langsung disebut fanatik mazhab. Mengikuti mazhab - dimana para
ulama mazhab adalah orang-orang yang tidak diragukan
kapasitasnya - adalah sesuatu yang akan memudahkan kita dalam memahami
ayat-ayat Allah Saw dan sunnah RasulNya sehingga menempatkan kita sebagai
pengikut para Ulama Salaf yang sesungguhnya.
Adapun soal Imam Bukhari yang menurut Nauval
bukan berarti beliau adalah pengikut Mazhab Syafi’i hanya karena mengutip
pendapat murid Imam Syafi’i, penjelasa semacam ini bisa dibenarkan. Namun, jika
melihat riwayat hidup Imam Bukhari sebagai seorang Muhaddis, jelas
beliau tidak masuk dalam domain Fiqh sebagaimana halnya Al-Bani. Artinya,
kesimpulan yang paling dekat ketika Imam Bukhari mengutip pendapat muridnya
Imam Syafi’I adalah bahwa beliau mengikuti mazhab Syafi’i sebagaimana umumnya
umat Islam pada saat itu bermazhab dengan Mazhab Syafi’i.
7. Tentang Fadhail ‘amal
Berkata Nauval: “ Fadhail amal adalah keutamaan amal, contohnya seperti
hadit-hadits yang bicara tentang ganjaran puasa, keutamaan shalat malam, dll.
Adapun hadits yang jadi dasar doa berbuka puasa bukanlah hadits yang tergolong fadhail amal. Namun hadits yang menjadi dasar amalan (do`a). Dan dalam Islam, dasar amalan mestilah dibangun
di atas dalil ataupun hadits yang shahih. Boleh dibangun di atas hadits yang
dha`if selama ada hadits pendukung dari jalan yang lain yang mampu mengangkat
derajat hadits tersebut menjadi hadits hasan, dengan syarat hadits pendukung
tersebut tidaklah lebih lemah atau sama lemahnya. Ini hal yang sudah tetap di
dalam ilmu hadits.
Jawaban:
Penjelasan Nauval seperti ini semakin membuat
saya paham mengapa keluar tudingan “keluar dari sunnah” atas pembaca do’a اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud ini.
Namun demikian, kesimpulan Nauval tentang
hadis اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ yang tidak termasuk dalam fadhail ‘amal
sebenarnya sudah bertolak belakang dengan penjelasannya sendiri sebelumnya
dimana ia mengatakan bahwa Fadhail ‘amal “Boleh dibangun di atas hadits yang dha`if selama ada hadits
pendukung dari jalan yang lain yang mampu mengangkat derajat hadits tersebut
menjadi hadits hasan”.
Padahal, Nauval tahu, sebagaimana dibahas
sebelumnya, terdapat hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud tentang do’a berbuka dalam
lafaz yang lain yang masuk kategori hasan, yaitu hadis/do’a yang juga
diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ
الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Artinya, ada dua hadis berbuka puasa yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, satu dha’if, satu hasan. Keduanya seharusnya
dipahami sebagai apa yang dikatakan Nauval sendiri, yaitu “Boleh dibangun di atas hadits yang dha`if selama ada
hadits pendukung dari jalan yang lain yang mampu mengangkat derajat hadits
tersebut menjadi hadits hasan”.
Hadis اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ dan ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ
الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ mestilah dipahami sebagai sebagai kedua hadis
yang saling terkait, meskipun lafaznya berbeda. Dan atas dasar pemahaman
seperti inilah maka ulama besar lainnya seperti Prof Wahbah Zuahili memasukkan
kedua do’a ini menjadi do’a berbuka puasa, seperti yang sudah dua kali saya
jelaskan pada dua tulisan sebelumnya.
Jadi
intinya, dibutuhkan toleransi dalam menyikapi amalan-amalan umat Islam.
Apalagi, sebagian ulama juga memiliki pendapat bahwa berdo’a dengan bahasa
sendiri juga bukan sesuatu yang dilarang sama sekali, meskipun dianjurkan
dengan do’a-do’a yang sesuai nash Alquran dan juga dari Hadis. Do’a اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ sendiri
bermakna sebagai penyerahan diri kita kepada Allah Swt terhadap ibadah (puasa)
yang sudah dilakukan. Arti dari ini yaitu: “Ya Allah, bagi Engkau Hamba
berpuasa, dan kepada Engkau Hamba beriman, dan dengan rizki Engkau hamba berbuka
puasa”. Indah sekali bukan? Jadi, bagi yang sudah terbiasa membaca اللّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ waktu berbuka puasa,
lanjutkan saja. Namun jika ada waktu menghafal do’a berikutnya, yaitu ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ
الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّه, maka dianjurkan sangat
untuk menghafal dan membacanya saat berbuka puasa.
8. Bukan Framing, Hanya Saling Mengingatkan Demi Persatuan Ummat
Nauval mengatakan saya
sedang membuat framing atas upaya saya dalam dua tulisan sebelumnya dalam
rangka saling mengingatkan. Berkata Nouval: “dalam
tulisannya TZ menciptakan sebuah framing, bahwa masyarakat Aceh dibuat resah
dan gelisah dengan berbagai tudingan bid`ah yang dilakukan oleh pihak salafi”.
Demi Allah, Sesungguhnya motivasi awal dan sampai saat ini saya membuat tulisan ini semata-mata hanyalah karena Allah, menjalankan perintah untuk saling tawasau bil haq, terlepas kedua balasan Nauval terlihat begitu sombong menanggapi perkara ini dengan tendensi seolah pihak lain sama sekali tidak paham dan tidak ilmiah (Kendati pun demikian, bagi pembaca yang ada waktu untuk membaca penjelasan lengkap yang ilmiah soal ini bisa merujuk ke makalah ilmiah INI).
Demi Allah, Sesungguhnya motivasi awal dan sampai saat ini saya membuat tulisan ini semata-mata hanyalah karena Allah, menjalankan perintah untuk saling tawasau bil haq, terlepas kedua balasan Nauval terlihat begitu sombong menanggapi perkara ini dengan tendensi seolah pihak lain sama sekali tidak paham dan tidak ilmiah (Kendati pun demikian, bagi pembaca yang ada waktu untuk membaca penjelasan lengkap yang ilmiah soal ini bisa merujuk ke makalah ilmiah INI).
Pun, saya berfikir tidak masalah bagaimana Nauval menanggapinya oleh sebab “tugas”
saya sebagai muslim hanya menyampaikan.
Beberapa
studi kasus di lapangan yang saya sebutkan pun nampaknya semua orang paham, dan
tahu perihal ini. Artinya saya tidak sedang menggiring kasus-kasus itu menjadi
framing negatif kepada Salafy, melainkan menyajikan contoh-contoh kasus itu
sebagai bukti dan poin-poin dimana “salafy” harus merubahnya. Adapun perihal ribut-ribut di mesjid, saya juga telah menulis persoalan ini DISINI dimana saya tetap memandang adab di atas ilmu.
Jujur, saya
tidak membuat tulisan itu untuk tujuan negatif, melainkan dengan harapan
sedikit tidaknya akan perubahan dalam pola-pola dakwah ‘salafy”,
khususnya di Aceh. Karena saya yakin perubahan metode atau pola dakwah ini akan
bisa mendekatkan kalangan umat Islam dalam soliditas dan persatuan, sesuatu
yang kita rindukan, sekaligus sesuatu yang kita butuhkan dalam rangka
mengantarkan Aceh ke puncak kejayaan dan kegemilangan peradaban Islam di masa
depan. Masyarakat Aceh tidak mempersoalkan sesuatu yang berbeda dari mereka
atau amalan mereka, bahkan hatta keyakinan di luar Islam(non Muslim) itu
sendiri, yang kita saksikan sering dipersoalkan adalah jika ada kelompok yang
suka menyalahkan,menuding bid’ah, syirik, apalagi sesat.
Jujur, saya mencinta antum semua karena
Allah. Jangan sampai agenda-agenda dakwah Islam terhenti, atau mendapat
penolakan hanya oleh karena metode dakwah yang cenderung keras. Wallahu a’lam
bishshawab. Selamat menjalankan ibadah puasa.
Seorang yang Faqir ilmu