Belajar dari Hormat Santri kepada Gurunya
Santri mencium tangan gurunya. image : megahasz.blogspot.com Oleh Teuku Zulkhairi Wasekjend Pengurus Besar Persatuan Dayah I...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/10/belajar-dari-hormat-santri-kepada.html
Santri mencium tangan gurunya. image : |
Oleh Teuku Zulkhairi
Wasekjend Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin
Penghormatan santri di dayah (pesantren)
kepada guru-gurunya adalah hal wajib sebelum ilmu. Hal yang sering diajarkan di
dayah adalah bahwa keberkahan ilmu akan diperoleh dengan adanya akhlak sang
murid kepada gurunya. Pemahaman seperti ini sebagaimana dikatakan Saidina 'Ali
Karamallahu wajhahu, "ana 'abdu man 'allamani 'ala harfan",
atau "Saya adalah hamba bagi yang mengajari aku satu huruf".
Ya, sebegitu hormatnya Saidina 'Ali
kepada siapa saja yang mengajarinya walau hanya satu huruf, walau hanya satu
huruf. Apalagi jika banyak huruf. Itu sebab, santri di dayah senantiasa
mencium tangan sang guru sehingga ilmu jadi berkah. Tak ada demo santri kepada
guru. Semua kesalahan guru akan disampaikan dengan cara yang ahsan. Sebagaimana
guru juga diminta menyampaikan nasehat kepada murid dengan cara yang ahsan
pula. Setidaknya secara teori seperti ini, sebuah teori yang nampaknya bisa
disaksikan kapan saja oleh siapa saja.
Tapi ini tentu bukan berarti nalar
kritis dengan demikian telah dimatikan. Nalar kritis bahkan telah dihidupkan
sejak permulaan belajar, ya sejak belajar di kelas Tajhizi (kelas persiapan).
Hanya saja, nalar kritis dengan akhlak itu beda. Nalar boleh kritis, tapi
akhlak juga niscaya. Di kelas Tajhizi ini para santri diajarkan sistem
pendidikan kritis lewat Kitab 'Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadiin',
suatu kitab yang menggunakan metodo belajar dengan tanya jawab - sehingga
diharapkan akan membiasakan pertanyaan-pertanyaan akan muncul dari benak mereka
dan lalu mencari jawabannya.
Berikutnya, juga diajarkan bahwa,
"al adabu fauqal 'ilmi", atau "Adab itu di atas ilmu".
Jadi, adab dulu yang diajarkan. Sebab, Ilmu tanpa adab akan menghasilkan ilmu
tanpa keberkahan. Ilmu tanpa keberkahan adalah hal yang membahayakan karena
bisa merubah si pemiliknya menjadi kontras dengan ilmunya. Alhasil, negeri ini
akan sulit diperbaiki dengan ilmu yang jika tidak berkah. Kita diajarkan bahwa
seseorang yang ilmu itu seperti padi. Padi akan menunduk jika sudah berisi.
Seorang pemilik ilmu akan semakin rendah hati dan tawadhu’ jika ilmunya
semakin bertambah.
Idealnya, ilmu merubah seseorang dalam
berbagai sendinya, sejak dari bagaimana ia melihat, bagaimana ia berbicara,
bagaimana ia berfikir, bagaimana ia bermasyarakat, bagaimana ia berinteraksi
dengan gurunya, begitu juga seterusnya.
Meksipun demikian, para guru pun bukan
berarti boleh semena-mena memanfaatkan rasa hormat (ta'zim) guru kepada
muridnya itu. Justru, kekacauan-kekacauan akan terjadi jika sang guru tidak
memantaskan diri untuk dihormati para muridnya. Artinya, rasa hormat murid
kepadda guru akan muncul sesuai bagaimana guru itu sendiri memposisikan dirinya
di hadapan murid.
Bagi murid, ketika melihat gurunya
yang memiliki kesalahan, bukan berarti akan dibolehkan menghilangkan rasa
hormatnya, apalagi jika guru itu telah memberinya ilmu. Tugas murid adalah menghormati gurunya,
sementara tugas guru adalah memantaskan diri untuk dihormati muridnya.
Jikapun gurunya salah, maka Islam memberikan cara-cara penyelesaikan yang teduh dan manusiawi. Islam misalnya melarang seorang guru menegur atau menasehati muridnya di depan umum, karena hal demikian bisa berpotensi pada tidak tercapainya tujuan nasehat yang hendak dilakukan.
Begitu juga sang murid, diharapkan
sabar menghadapi gurunya. Sebab, jika tidak sabar tentu tidak akan manusia di
dunia ini yang mau menjadi murid, oleh karena memang tidak ada guru di dunia
ini yang sempurna. Jika Anda kelak menjadi seorang guru, maka yakinlah bahwa
anda juga tidak bisa sempurna. No Body is Perfect bukan?
Saya pribadi, hari ini merasakan kesan
manis saat dulu pernah ditampar sang guru saya saat belajar di dayah. Di tampar
karena tidur saat baca Surat Waqi’ah setelah shalat Shubuh. Pernah juga
diomelin saat pernah memasukkan kedua tangan dalam saku celana, sembari
diingatkan: ‘Jika sifat itu dipelihara maka jika kelak kamu jadi pejabat maka
kamu akan jadi pejabat yang sombong”. Waktu itu pesan itu terasa sakit. Tapi
hari ini, sungguh saya butuh lebih banyak lagi nasehat-nasehat seperti itu. Ada
rasa kering saat jauh dari nasehat guru.
Saya bermimpi paradigma ini kita bawa
ke kampus. Sebab, kita berharap kampus melahirkan bukan hanya
mahasiswa-mahasiswa yang kritis, tetapi juga mahasiswa yang ber akhlakul
karimah, mahasiswa yang rendah hati, sabar menghadapi gurunya, tetap hormat
kepada siapa saja yang sudah mengajari mereka walau hanya satu huruf. Tentu
bukan berarti saya mengatakan selama ini hal ini tidak kita jumpa. Sangat
banyak mahasiswa yang bersifat seperti santri dalam menghormati gurunya. Namun,
kita berharap setidaknya paradigm rasa hormat itu semakin membudaya secara
massif, meliputi semua mahasiswa dan seluruh pelajar lainnya. Wallahu a’lam
bishshwab.
SELAMAT
HARI SANTRI NASIONAL, 22 OKTOBER 2016.