Belajar dari Hormat Santri kepada Gurunya

Santri mencium tangan gurunya. image :  megahasz.blogspot.com   Oleh Teuku Zulkhairi Wasekjend Pengurus Besar Persatuan Dayah I...


Santri mencium tangan gurunya. image : megahasz.blogspot.com
 
Oleh Teuku Zulkhairi
Wasekjend Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin


          Penghormatan santri di dayah (pesantren) kepada guru-gurunya adalah hal wajib sebelum ilmu. Hal yang sering diajarkan di dayah adalah bahwa keberkahan ilmu akan diperoleh dengan adanya akhlak sang murid kepada gurunya. Pemahaman seperti ini sebagaimana dikatakan Saidina 'Ali Karamallahu wajhahu, "ana 'abdu man 'allamani 'ala harfan", atau "Saya adalah hamba bagi yang mengajari aku satu huruf".


          Ya, sebegitu hormatnya Saidina 'Ali kepada siapa saja yang mengajarinya walau hanya satu huruf, walau hanya satu huruf. Apalagi jika banyak huruf. Itu sebab, santri di dayah senantiasa mencium tangan sang guru sehingga ilmu jadi berkah. Tak ada demo santri kepada guru. Semua kesalahan guru akan disampaikan dengan cara yang ahsan. Sebagaimana guru juga diminta menyampaikan nasehat kepada murid dengan cara yang ahsan pula. Setidaknya secara teori seperti ini, sebuah teori yang nampaknya bisa disaksikan kapan saja oleh siapa saja.
         
          Tapi ini tentu bukan berarti nalar kritis dengan demikian telah dimatikan. Nalar kritis bahkan telah dihidupkan sejak permulaan belajar, ya sejak belajar di kelas Tajhizi (kelas persiapan). Hanya saja, nalar kritis dengan akhlak itu beda. Nalar boleh kritis, tapi akhlak juga niscaya. Di kelas Tajhizi ini para santri diajarkan sistem pendidikan kritis lewat Kitab 'Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadiin', suatu kitab yang menggunakan metodo belajar dengan tanya jawab - sehingga diharapkan akan membiasakan pertanyaan-pertanyaan akan muncul dari benak mereka dan lalu mencari jawabannya.


          Berikutnya, juga diajarkan bahwa, "al adabu fauqal 'ilmi", atau "Adab itu di atas ilmu". Jadi, adab dulu yang diajarkan. Sebab, Ilmu tanpa adab akan menghasilkan ilmu tanpa keberkahan. Ilmu tanpa keberkahan adalah hal yang membahayakan karena bisa merubah si pemiliknya menjadi kontras dengan ilmunya. Alhasil, negeri ini akan sulit diperbaiki dengan ilmu yang jika tidak berkah. Kita diajarkan bahwa seseorang yang ilmu itu seperti padi. Padi akan menunduk jika sudah berisi. Seorang pemilik ilmu akan semakin rendah hati dan tawadhu’ jika ilmunya semakin bertambah.


          Idealnya, ilmu merubah seseorang dalam berbagai sendinya, sejak dari bagaimana ia melihat, bagaimana ia berbicara, bagaimana ia berfikir, bagaimana ia bermasyarakat, bagaimana ia berinteraksi dengan gurunya, begitu juga seterusnya.
         
          Meksipun demikian, para guru pun bukan berarti boleh semena-mena memanfaatkan rasa hormat (ta'zim) guru kepada muridnya itu. Justru, kekacauan-kekacauan akan terjadi jika sang guru tidak memantaskan diri untuk dihormati para muridnya. Artinya, rasa hormat murid kepadda guru akan muncul sesuai bagaimana guru itu sendiri memposisikan dirinya di hadapan murid.
         
          Bagi murid, ketika melihat gurunya yang memiliki kesalahan, bukan berarti akan dibolehkan menghilangkan rasa hormatnya, apalagi jika guru itu telah memberinya ilmu.  Tugas murid adalah menghormati gurunya, sementara tugas guru adalah memantaskan diri untuk dihormati muridnya.

          Jikapun gurunya salah, maka Islam memberikan cara-cara penyelesaikan yang teduh dan manusiawi.  Islam misalnya melarang seorang guru menegur atau menasehati muridnya di depan umum, karena hal demikian bisa berpotensi pada tidak tercapainya tujuan nasehat yang hendak dilakukan.

          Begitu juga sang murid, diharapkan sabar menghadapi gurunya. Sebab, jika tidak sabar tentu tidak akan manusia di dunia ini yang mau menjadi murid, oleh karena memang tidak ada guru di dunia ini yang sempurna. Jika Anda kelak menjadi seorang guru, maka yakinlah bahwa anda juga tidak bisa sempurna. No Body is Perfect bukan?
           
          Saya pribadi, hari ini merasakan kesan manis saat dulu pernah ditampar sang guru saya saat belajar di dayah. Di tampar karena tidur saat baca Surat Waqi’ah setelah shalat Shubuh. Pernah juga diomelin saat pernah memasukkan kedua tangan dalam saku celana, sembari diingatkan: ‘Jika sifat itu dipelihara maka jika kelak kamu jadi pejabat maka kamu akan jadi pejabat yang sombong”. Waktu itu pesan itu terasa sakit. Tapi hari ini, sungguh saya butuh lebih banyak lagi nasehat-nasehat seperti itu. Ada rasa kering saat jauh dari nasehat guru.



          Saya bermimpi paradigma ini kita bawa ke kampus. Sebab, kita berharap kampus melahirkan bukan hanya mahasiswa-mahasiswa yang kritis, tetapi juga mahasiswa yang ber akhlakul karimah, mahasiswa yang rendah hati, sabar menghadapi gurunya, tetap hormat kepada siapa saja yang sudah mengajari mereka walau hanya satu huruf. Tentu bukan berarti saya mengatakan selama ini hal ini tidak kita jumpa. Sangat banyak mahasiswa yang bersifat seperti santri dalam menghormati gurunya. Namun, kita berharap setidaknya paradigm rasa hormat itu semakin membudaya secara massif, meliputi semua mahasiswa dan seluruh pelajar lainnya. Wallahu a’lam bishshwab.


SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL, 22 OKTOBER 2016.

Related

Sosial dan Budaya 3493164504490226979

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item