Syari’at Islam vs Peradaban Barat

Oleh Teuku Zulkhairi Harian Serambi Indonesia, Jum'at 11 November 2016               Dalam satu bulan ini, berturut-tu...






Oleh Teuku Zulkhairi

Harian Serambi Indonesia, Jum'at 11 November 2016
 
            Dalam satu bulan ini, berturut-turut dua orang duta besar negara Barat mengunjungi Aceh, yaitu wakil dubes Australia dan dubes Amerika. Bahkan, sebelumnya juga datang dubes-dubes lain atau komjen mereka yang juga menyelidiki tentang Syari’at Islam. Bukan soal kunjungan itu yang mesti kita diskusikan, tapi apa agenda mereka yang mesti kita ketahui. Kedatangan kedua dubes itu mesti tidak bersamaan ternyata terkait dengan Syari’at Islam di Aceh. Buktinya, kedua-duanya bertanya soal Syari’at Islam di Aceh.

            Meskipun dubes Australia mengapresiasi Syari’at Islam di Aceh sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia (20/10/2016), namun hal itu tidak bisa mencegah munculnya pertanyaan kritis kita, apa pentingnya Syari’at Islam yang kita terapkan disini bagi mereka? Apalagi, dubes Amerika ternyata mengajukan pertanyaan yang cukup sensistif, yaitu “apakah Syari’at Islam di Aceh melanggar hak azasi non muslim?” (Serambi Indonesia, 26 Oktober 2016).

            Sebenarnya, perhatian negara-negara Barat terhadap Syari’at Islam di Aceh bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, sejak awal Syari’at Islam ditegakkan telah mendapat berbagai respon hingga kecaman dari negara-negara Barat. Respon Barat terhadap Syari’at Islam di Aceh sebenarnya seiring dengan respon mereka terhadap gelombang kebangkitan Islam di berbagai kawasan dunia Islam lainnya.

            Hanya bedanya, takaran respon mereka berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya, tergantung bagaimana perkembangan di kawasan tersebut. Namun, respon keras mereka umumnya akan mereka tujukan jika seruan-seruan kebangkitan Islam telah memasuki wilayah politik dimana respon itu akan ditujukan dengan mendukung kudeta atas pemerintahan Islamis seperti di Turki, Palestina dan Mesir. Respon Barat juga ditujukan dengan ragam intervensi yang tujuan akhirnya adalah melemahkan suara-suara kebangkitan Islam di dunia Islam. Pertanyaannya sekarang, kenapa mereka melakukan ini terhadap dunia Islam?

Kalau kita merujuk pada teori ‘Benturan Antar Peradaban’ yang pernah dikemukan oleh Samuel P Huntington (1996), kita akan memahami bahwa Syari’at Islam, atau dengan kata lain adalah kebangkitan Islam, merupakan pesaing atau lawan bagi peradaban Barat. Bagaimana Barat memandang Syari’at Islam sebagai lawan bagi peradaban mereka, hal ini terlihat ketika kita membaca cara pandang mereka tentang apa yang disebut dengan kebangkitan Islam. 

Dalam kaitannya dengan seruan penegakan Syari’at Islam – yang disebut Huntington sebagai kebangkitan Islam - di berbagai dunia Islam, ketika melihat fenomena ini, Huntington menulis: “Ketika negara-negara Asia, karena kemajuan yang dicapai bidang ekonomi, semakin yakin pada kemampuan sendiri, umat Islam menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan satu-satunya sumber identitas, makna, stabilitas, legitimasi, kemajuan, kekuatan dan harapan – yang ternyatakan melalui slogan “Islam adalah jalan keluar”. Kebangkitan ini dalam makna yang paling dalam dan luas, merupakan fase akhir dan hubungan antara Islam dengan Barat: sebuah upaya untuk menemukan “jalan keluar” yang tidak lagi melalui ideologi-ideologi Barat, tapi di dalam Islam”.(Samuel Huntington, 1996: 180 ).

Demikianlah Huntington menjelaskan bahwa kebangkitan Islam – atau Syari’at Islam - merupakan tantangan bagi peradaban Barat. Dalam catatan kaki, Huntingon (hal: 180) juga menjelaskan apa yang disebut dengan “Kebangkitan Islam” ini. Menurutnya, kebangkitan Islam adalah sebuah peristiwa historis yang sangat penting dan berpengaruh terhadap seperlima atau lebih dari seluruh umatmanusia di muka bumi. Di samping itu, ia juga memiliki signifikasi yang sama dengan Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, atau Revolusi Rusia.

Pendapat yang sama dikemukakan seorang sejarawan Barat, John L. Esposito (dalam Huntington, 1996: 181-182), ia menulis mengenai indikator kebangkitan Islam, yaitu: “… meningkatnya perhatian terhadap ajaran-ajaran agama (menghadiri mesjid - untuk berbagai kegiatan keagamaan- sembahyang, puasa), pengembangan berbagai program dan publikasi-publikasi keagamaan, meningkatnya penerapan nilai-nilai serta pemakaian busana Muslim, revitalisasi Sufisme (mistisme). Pembaruan yang memiliki pijakan luas ini juga diikuti dengan penegasan kembali (ajaran) Islam dalam berbagai aspek kehidupan: berkembangnya pemerintahan, organisasi-organisasi, hukum, perbankan, pelayanan-pelayanan sosial, dan lembaga-lembaga pendidikan yang Islami...”.

            Hal ini menandakan, bahwa geliat kebangkitan Islam dalam berbagai bentuknya sebagaimana dikemukakan di atas, bagi Barat dianggap sebagai potensi benturan dengan peradaban mereka. Untuk itu, tidak heran bahwa Syari’at Islam (baca: kebangkitan Islam) akan senantiasa mendapat pengawasan dari dunia internasional, yaitu dari negara-negara Barat.

            Lalu, bagaimana konkritnya bahwa Syari’at Islam menjadi tantangan bagi peradaban Barat? Ternyata, apa yang dicita-citakan dari muatan materi Syari’at Islam merupakan fondasi dasar untuk membangun atau mengembalikan peradaban Islam. Ketika kita merujuk teori Ibnu Khaldun tentang penyebab keruntuhan peradaban, maka kita akan menemukan bahwa pelanggaran-pelanggaran materi Syari’at Islam merupakan sebab utama runtuhnya sebuah peradaban.

Secara ringkas, faktor runtuhnya sebuah peradaban menurut Ibnu Khaldun adalah karena merebaknya pencurian (korupsi, kefasikan, keburukan (kerusakan moral), perilaku hina (zina dan lain-lain), rekayasa dalam mata pencaharian, budaya berbohong, suka bertaruh (berjudi), menipu, membujuk (menggelapkan), menyimpang dari keimanan (aliran sesat), dan riba (lihat: Mukaddimah, terj. Masturi Ilham: .665 - 670).

            Oleh sebab itu, berdasarkan teori Ibnu Khaldun di atas, maka penegakan Syari’at Islam adalah upaya membangun peradaban Islam. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang meruntuhkan peradaban adalah perilaku yang melanggar Syari’at Islam sehingga pegertian sebaliknya, bahwa pelaksanaan Syari’at Islam merupakan upaya mengembalikan peradaban.

Dalam konteks Aceh misalnya, apa sesungguhnya hasil yang bisa dideteksi dari prfoses implementasi hukum Syari’at dan kaitannya dengan peradaban? Menurut Prof Al Yasa’ Abubakar (2005: 86), “penegakan Syari`at Islam tersebut, setidaknya diharapkan dapat terwujud antara lain; masyarakat Aceh dapat mengeleminir minuman keras, narkoba, perjudian, pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, korupsi dan berbagai sifat negatif lainnya sampai ke tingkat yang paling rendah, bahkan untuk menghapusnya”. Nilai-nilai yang ingin dihasilkan lewat penegakan Syari’at Islam seperti ini sesungguhnya berlawanan dengan peradaban Barat.

Oleh sebab itu, ketika kita menyadari status Syari’at Islam sebagai fondasi peradaban Islam, maka hal pertama yang mungkin kita pahami bahwa nilai-nilai Syari’at Islam sampai kapanpun akan berlawanan dengan peradaban barat, sehingga adalah wajar jika Barat senantiasa memonitor upaya-upaya penegakan Syari’at Islam, baik di Aceh maupun di dunia Islam lainnya. Bahkan, tidak jarang Barat mengambil langkah-langkah radikal ketika kebangkitan Islam telah mencapai kesadaran level politik dan kepentingan dunia Islam.

 Syari’at Islam adalah peradaban yang dengan itu kita akan bisa bangkit, sebagaimana kita akan tertinggal jika meninggalkannya. Catatan sejarah menunjukkan, peradaban Islam terdahulu ambruk saat di akhir kekuasaannya Syari’at Islam mulai ditinggalkan, baik Umawiyah, Abbasiyah, Andalusia, maupun Ottoman (Turki Usmani).

Jadi, kedatangan dubes Amerika dan Australia ke Aceh yang “mengkaji” Syari’at Islam yang diterapkan disini sudah seharusnya menyadarkan kita bahwa dengan Syari’at Islam kita telah dan sedang berada di ring pertarungan antar peradaban sehingga kita harus lebih semangat dan yakin untuk menerapkan Syari’at Islam untuk memenangkan pertarungan tersebut. Jalan satu-satunya untuk menang adalah menegakkan Syari’at Islam dalam semua tatanan kehidupan karena hanya dengan cara seperti ini kita bisa kembali bangkit dan berjaya sebagaimana janji Allah Swt dalam surat al-A’raf ayat 96 bahwa keberkahan akan turun dari langit, dan akan terpancar dari bumi tatkala kita beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab.

Sumber link dimuat:
 http://aceh.tribunnews.com/2016/11/11/syariat-islam-vs-peradaban-barat

Related

Syari'at Islam di Aceh 1598424870543401385

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item