Runtuhnya Peradaban Islam
Opini Harian Serambi Indonesia , 6 Januari 2017 Oleh Teuku Zulkhairi BANYAK faktor yang menyeba...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2017/01/runtuhnya-peradaban-islam.html
Opini Harian Serambi Indonesia,
6 Januari 2017
Oleh Teuku
Zulkhairi
BANYAK faktor yang menyebabkan
runtuhnya peradaban Islam,
khususnya di akhir kekhalifahan Utsmani yang berpusat di Istanbul, Turki.
Faktor-faktor tersebut antara lain karena umat Islam mulai
meninggalkan ajaran Islam,
larut dalam kesenangan duniawi. Dari para elite sampai masyarakat tenggalam
dalam kubangan syahwat hedonisme dan materialisme. Pelanggaran terhadap syariat
Islam
menjadi sesuatu yang lumrah sehingga membuka pintu merebaknya aliran sesat,
bid’ah, syirik, dan khurafat.
Oleh sebab maksiat dan pelanggaran
syariat Islam
yang merajalela, loyalitas kepada Allah, lalu berubah menjadi disloyalitas.
Celakanya, loyalitas justru ditunjukkan kepada para penantang Islam. Inilah
pertalian sebab akibat yang menghubungkan antara satu pelanggaran syariat Islam dengan
pelanggaran lainnya, yang berujung pada berkurang atau bahkan hilangnya
loyalitas kepada Allah Swt.
Padahal, sebagai muslim, loyalitas
tertinggi hanya kepada Allah Swt, yang merupakan konsekuensi logis atas ikrar
syahadat yang diucapkan. Ketika seorang Muslim
mengucapkan kalimah tauhid, yaitu la Ilaha Illallah, kalimah tauhid ini menghendaki
kita untuk betul-betul meyakini tidak ada Tuhan yang patut disembah, melainkan
hanya kepada Allah semata.
Hal itu merupakan suatu pelepasan
(al-bara’) atas kekuatan apapun selain Allah. Setelah itu, kalimat tauhid yang
agung ini mengarahkan seorang muslim untuk hanya mengesakan Allah Swt sebagai
pembuktian loyalitas (al-Wala’). Pemahaman seperti ini yang telah mengantarkan
umat Islam
di era sebelumnya ke pintu kejayaan.
“Dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk
dalam hal wala’ dan bara’ (loyalitas dan pengingkaran), seorang muslim tidak
cukup dengan mengikhlaskan niatnya kepada Allah. Tetapi ia juga harus melakukan
semua ini sesuai dengan kehendak Allah yang kemudian dituangkan dalam konsep
yang diturunkan kepada Rasul-Nya, sebagai tuntunan dan pandangan.” (Jasiman,
Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah, 2005: 24).
Sementara itu, syahadat Rasul, yaitu
kalimah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, merupakan sebuah ikrar pengakuan
bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah Swt yang dengannya risalah Islam dari Zat
yang Maha Agung tersampaikan kepada manusia. “Beliaulah yang menyampaikan min
hajul wala’ wal bara’ dari Allah Swt, mulai dari dasar-dasar fisiologis hingga
teknis pelaksanaannya. Rasul saw memberikan tuntunan, panduan dan keteladanan.
Kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan dan mempraktikkannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari.” (Jasiman: 2005: 24).
Fondasi peradaban
Efek dari semua sebab dan akibat di
atas adalah runtuhnya fondasi peradaban, sehingga kemudian goncangan yang
datang dari eksternal secepatnya mampu merobohkan sisa-sisa peradaban Islam yang
memang pada awalnya dibangun atas fondasi syariat Islam.
Kondisi seperti itu, persis seperti
diingatkan Rasulullah saw dalam satu hadis, “Hampir tiba masanya kalian
diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya. Maka
seseorang bertanya: Apakah karena sedikitnya jumlah kita? Bahkan kalian banyak,
namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari
dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian
penyakit al-wahan. Seseorang bertanya: Ya Rasulullah, apakah al-wahan itu? Nabi
saw bersabda: (Wahan itu adalah) Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR. Abu
Dawud).
Ketika umat Islam terlalu
cinta kepada dunia, padahal Islam telah menjelaskan dengan tegas bahwa kehidupan abadi
adalah di akhirat, maka bukan saja kehidupan akhirat yang akan merugi, namun
juga kemuliaan kehidupan di dunia juga akan tercerabut, sehingga jadilah umat Islam seperti
yang digambarkan dalam hadis di atas. Tidak ada rasa takut di hati para musuh,
yaitu kaum kuffar terhadap umat Islam.
Padahal, dalam kondisi seperti itu,
yaitu seperti makanan di atas meja hidangan yang diperebutkan para pemangsa,
jumlah kita umat Islam
adalah mayoritas, jumlah kita lebih banyak dari umat lain. Terlalu cinta kepada
dunia dan takut mati, sehingga menyebabkan mereka hedonis dan materialistis
adalah konsekuensi logis ketika syariat Islam
ditinggalkan.
Hal ini diperkuat oleh teori Ibnu
Khaldun yang hidup di masa Daulah Abbasiyah (sebelum Khilafah Usmaniyah).
Menurut Ibnu Khaldun, faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih
bersifat internal dari pada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena
timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya
hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif,
tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Ibu Khaldun juga
menyorot perilaku akhlak tercela di kalangan masyarakat kota dan para pembesar
kerajaan, keluarga serta keturunan mereka. (Ibnu Khaldun, Mukaddimah, terj.
Masturi Ilham dkk: 665-670).
Perilaku tercela meruntuhkan peradaban
Perilaku tercela yang melanggar
syariat Islam
ini sebagai penyebab runtuhnya sebuah peradaban juga mendapat justifikasi dari
Alquran ketika Allah Swt berfirman, “Dan jika kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup di negeri itu
(supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu.
Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra: 16).
Pencurian (korupsi), kefasikan,
kerusakan moral, zina, rekayasa dalam mata pencaharian, berbohong, judi,
menipu, (menggelapkan), menyimpang dari keimanan (aliran sesat) dan praktik
riba semuanya memiliki andil atas runtuhnya peradaban Islam. Ini
berbeda dari sistem di luar Islam yang dibangun atas dasar kerusakan-kerusakan tersebut
karena memang mereka melihat kerusakan dalam perspektif ajaran Islam sebagai
kebaikan dalam perspektif mereka.
Dalam aspek ekonomi misalnya, Islam melarang
riba, sementara sistem kafir membolehkannya. Ketika umat Islam
menggunakan sistem riba dalam praktik ekonomi-perbankan, maka itulah tanda
kehancuran dan kemunduran. Sebab, ukuran kebangkitan dan kejayaan dari
perspektif Islam
adalah berdasarkan pandangan Islam (halal dan haram). Umat Islam akan
mundur kalau meninggalkan ajaran Islam, sebab sejarah menunjukkan dengan ajaran Islam pula lah
yang telah membawa mereka ke puncak kejayaannya.
Oleh sebab itu, jalan untuk mencegah
umat Islam
agar tidak terjatuh dalam lubang hitam kehidupan duniawi yang hedonis dan
materialistis dengan segala sistemnya yang memperdayakan, maka mengembalikan
ummat dan bangsa ini dalam kehidupan yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat
Islam
dalam setiap dimensi kehidupan adalah suatu keniscayaan. Artinya, penegakan
syariat Islam
di Aceh dengan segenap qanun-qanunnya adalah jalan menuju kembalinya peradaban,
karena syariat Islam
adalah fondasinya. Insya Allah!
* Teuku Zulkhairi, MA., mahasiswa program
doktoral UIN Ar-Raniry, saat ini bertugas di Bagian Humas UIN Ar-Raniry,
Darussalam, Banda Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com.
Link: http://aceh.tribunnews.com/2017/01/06/runtuhnya-peradaban-islam?page=2