Logika Sehat Cut Meutia Berjelbab

Tabloid Pikiran Merdeka, 9 Januari 2017 Oleh Teuk Zulkhairi           Secara umum ada dua pendapat soal Jelbab Cut Meutia. Itu a...

Tabloid Pikiran Merdeka, 9 Januari 2017

Oleh Teuk Zulkhairi

          Secara umum ada dua pendapat soal Jelbab Cut Meutia. Itu artinya, fakta sejarah tentang jelbab Cut Meutia bukan suatu kebenaran yang absolut. Misalnya, satu fakta sejarah memperlihatkan bahwa perempuan Aceh berjilbab sehingga Cut Meutia disimpulkan juga berjelbab. Fakta lainnya memperlihatkan wanita Aceh ada yang tidak berjilbab, sehingga disimpulkan Cut Meutia juga tidak berjelbab. Alhasil, jelbab Cut Meutia menjadi pro-kontra. Oleh sebab itu, mencegah kebingungan memahami fakta sejarah tersebut nampaknya sangat membutuhkan pendekatan lain, yaitu pendekatan nalar mantiq (logika).

          Sebab, tidak ada fakta sejarah yang otentik berupa foto Cut Meutia sendiri baik yang berjelbab maupun yang tidak, sementara yang ada saat ini adalah lukisan tentang beliau. Tidak adanya fakta sejarah yang empirik berupa foto asli Cut Meutia sendiri sangat mudah dipahami mengingat sosok Cut Meutia bukanlah seorang “model” yang mudah dipotret dalam suatu studio oleh kafir Belanda yang memerangi Aceh pada saat itu. Cut Meutia adalah musuh bebuyutan Belanda dimana jihad beliau membela Aceh pertaruhannya adalah nyawa.

          Maka dalam kondisi pergulatan wacana pemikiran dan kontradiksi fakta sejarah seperti ini, melihat sejarah jelbab Cut Meutia khususnya dan perempuan Aceh umumnya lewat kajian Mantiq (Ilmu logika) menjadi suatu keniscayaan. Sebelum merujuk pada salah satu pendapat, lebih dahulu menggunakan pendekatan mantiq  adalah sebuah keharusan, tujuannya tidak lain adalah demi mencegah kegalauan.

          Di zaman Yunani kuno dimana bangsa Yunani ditimpa kegalauan berat sehingga mereka tidak bisa membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah oleh karena tidak ada “panduan langit” yang diturunkan kepada mereka pada saat itu, para filsufnya kemudian tampil menyusun kerangka berfikir saat itu. Sebagai contoh misalnya usaha Socrates dalam menyusun kerangka sebuah kebenaran dengan terlebih dahulu menyusun kerangka “defisini kebenaran”.

          Ketika kemudian Islam datang dibawah bimbingan Rasulullah Saw, Islam datang bersama panduan ukhrawi berupa Alquran dan Hadis yang dengannya manusia seharusnya tidak perlu lagi galau. Bukan saja status kebenaran yang sangat jelas, namun juga Islam menjelaskan pentingnnya penggunaan nalar untuk memahami kebenaran yang dalam perkembangan kemudian lahirlah berbagai macam khazanah keilmuan yang menekankan penggunaan nalar yang terbimbing wahyu, seperti ulumul Qur’an, ulumul hadis, bayan, badi’, ma’ani, ushul fiqh, termasuk ilmu mantiq.

Banyak ayat-ayat dalam Alquran yang meminta kita untuk berfikir dengan kalimat-kalimat seperti “apakah kamu tidak berfikir?”. Atau kalimat lainnya, “apakah kamu tidak berakal?”. Kalimat-kalimat tersebut tentu saja meminta kita untuk berfikir dan menggunakan nalar secara sistematis.

          Sebagian pendapat yang menyebut Cut Meutia tidak berjilbab, alasannya karena perempuan Aceh ‘tempoe doeloe’ yang terekam foto-foto klasik adalah tidak berjilbab. Sementara sebagian pendapat lainnya berpendapat Cut Meutia menggunakan jelbab, buktinya terdapat foto-foto sejarah klasik yang menunjukkan bahwa sebagian perempuan Aceh masa dulu adalah menggunakan jelbab. Jadi, fakta sejarah menunjukkan bahwa wanita Aceh dulu ada yang berjelbab, dan ada yang tidak. Kita ulangi, ada yang berjelbab, dan ada yang tidak. Dua fakta sejarah di atas kemudian dijadikan referensi untuk menyimpulkan status jelbab Cut Meutia sehingga lahirlah dua pendapat mengenai jelbab Cut Meutia.

          Dan pendapat bahwa Cut Meutia tidak berjelbab untuk saat ini nampak lebih didengar oleh para pengambil kebijakan, khususnya para pihak yang melukis foto “Cut Meutia” dalam mata uang Rupiah. Sementara pendapat Cut Meutia berjelbab, mekipun menjadi mainstream, namun nampak “kalah” dalam pertarungan wacana. Pertanyaan sekarang, bagaimana kesimpulan yang bisa diambil? Cut Meutia berjelbab atau tidak? Kita akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan nalar (logika) mantiq, yaitu dengan menalari dua fakta yang ada.

Cacat logika
          Dalam ilmu Mantiq dikenal satu sistem nalar yang disebut Qiyas Iqtirani dalam menalar proposisi kategori. Dalam menemukan kesimpulan lewat nalar Qiyas Iqtirani ini, disyaratkan adanya susunan presmis minor dan mayor yang jelas wujudnya atau memenuhi seluruh fakta yang ada. Misalnya dikatakan, “semua manusia adalah makhluk”, kalimat ini adalah premis minor (muqaddimah sughra) yang memenuhi seluruh fakta. Lalu, presmis mayornya adalah, semua makhluk akan mati”, ini juga jelas. Maka susunan presmis minor dan mayor ini lahirlah natijah (kesimpulan)nya, yaitu: “Semua manusia akan mati”. Maka kesimpulan ini sudah pasti benar karena memenuhi syarat-syarat kedua premis.

          Jika nalar mantiq ini kita tarik dalam topik jelbab Cut Meutia, maka yang menyimpulkan Cut Meutia tidak berjelbab akan menyusun premis yang tidak lengkap, misalnya: “semua perempuan Aceh tidak berjelbab, Cut Meutia adalah di antara perempuan Aceh”. Lalu diambillah kesimpulan: “Cut Meutia tidak berjelbab”. Penyusunan premis seperti ini oleh mereka yang menolak jelbab Cut Meutia adalah salah total karena menghilangkan fakta jelas lainnya, yaitu fakta adanya perempuan Aceh yang berjelbab yang mana ini merupakan representasi dari keIslaman masyarakat Aceh oleh sebab jelbab ini merupakan kewajiban agama.

          Oleh sebab itu, lukisan ‘Cut Meutia tidak berjelbab’ adalah cacat logika karena tidak memenuhi sistematika logika yang sehat. Sebab, jika foto asli Cut Meutia yang berjelbab tidak ditemukan, lalu mengapa diambil kesimpulan bahwa Cut Meutia tidak berjelbab? Dengan kata lain, jika tidak ada foto asli, lalu mengapakah lukisan dijadikan sebagai referensi? Sekali lagi, mengapa menjadikan sebuah lukisan sebagai referensi sejarah? Logika yang sehat akan menyimpulkan, tidak adanya foto Cut Meutia yang berjelbab bukan berarti beliau tidak berjelbab. Lalu mengapa ada kemungkinan besar beliau berjelbab? Jawabannya adalah karena faktor Keislaman Cut Meutia khususnya dan masyarakat Aceh umumnya dimana Islam sejak di masa Rasulullah Saw telah mewajibkan jelbab (pakaian muslimah).

Sebagai seorang pejuang Aceh, jika berjihad melawan kafir Belanda saja beliau berada di garda depan, konon lagi hanya untuk berjelbab yang merupakan salah satu identitas muslimah. Padahal, jihad merupakan pencapaian iman paling  tidak tinggi. Jikapun kemungkinan Cut Meutia berjelbab tetap juga tidak dipercayai, maka sebaiknya jangan pasang lukisan “Cut Meutia” tidak berjelbab di mata uang Rupiah. Solusi ini lebih adil.

          Namun, di mata uang baru Rupiah, Cut Meutia justru telah disimpulkan tidak berjelbab melalui rekayasa belaka lukisan tidak berjelbab. Lewat lukisan “Cut Meutia” tersebut, fakta sejarah lainnya bahwa perempuan Aceh berjelbab telah dihilangkan. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan lukisan Cut Meutia tidak berjelbab di mata uang terbaru Rupiah lebih mengakomodir logika yang tidak sehat, sekaligus mendistorsi fakta sejarah tentang realitas jelbab perempuan Aceh.

          Kita tidak akan menebak-nebak lebih jauh hidden agenda dari kebijakan semacam ini. Namun, dugaan adanya agenda tersembunyi dari kebijakan tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dicegah ketika kita menggunakan nalar sehat untuk melihat kebijakan tersebut sebagaimana dibahas di atas. Sebab, jika dikaitkan dengan Aceh kontemporer dengan pergulatan Syari’at Islam, hal ini semacam “perang” halus atas wacana Syari’at Islam di Aceh.

Sebab, secara ekplisit terbaca, pemuatan tokoh pahlawan perempuan Aceh yang tidak berjelbab dalam mata uang rupiah adalah perlawanan terhadap upaya pemerintah dan rakyat Aceh yang saat ini gencar melakukan penegakan Syari’at Islam yang salah satu bagian terkecil didalamnya yaitu mengenai aturan busana muslim dan muslimah. Aceh adalah pilot project  atau lokomotif Syari’at Islam di Indonesia karena dari Acehlah Islam memasuki Nusantara dan Asia Tenggara. Jika Syari’at Islam di Aceh kita bairkan rusak, maka akan mudah saja perusakan di wilayah Indonesia lainnya.  Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Sekjend PW Badan Koordinasi Mubalih Indonesia (Bakomubin) Prov. Aceh.

Related

Sosial dan Budaya 1239335059154189007

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item