Memahami Sikap Ulama dalam Pilkada Aceh
Oleh Teuku Zulkhairi Dalam setiap wacana suksesi kepemimpinan, ulama selalu menjadi titik sentral perebutan pengaruh par...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2017/02/memahami-sikap-ulama-dalam-pilkada-aceh.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Dalam setiap wacana suksesi kepemimpinan, ulama selalu
menjadi titik sentral perebutan pengaruh para kandidat. Mulai calon presiden, calon
gubernur hingga calon bupati/walikota mengunjungi ulama dan meminta do’a serta dukungannya.
Hal ini tentu sangat wajar mengingat kuatnya pengaruh ulama di tengah-tengah
masyarakat muslim. Ajaran Islam menempatkan ulama dalam posisi yang sangat
terhormat. Ulama disebut oleh Rasulullah Saw dalam hadisnya sebagai ‘pewaris
para Nabi’. Islam juga mengabarkan konsekuensi-konsekuensi negatif apabila
ulama dijauhi oleh umat Islam.
Pada titik ini, kita memahami bahwa Islam memberikan otoritas
kepada ulama, sebuah otoritas yang kemudian menjadikan ulama sebagai elemen
fundamental dalam sub sistem kehidupan umat Islam. Kendati pun demikian, Islam
juga menegaskan karakteristik ulama sehingga terminologi “ulama” tidak disalah
gunakan oleh siapapun. Alquran misalnya menjelaskan, bahwa ulama itu adalah
mereka yang ‘takut kepada Allah’. Bahkan, dalam interpretasi Imam al- Ghazali,
ulama juga dikategorikan dalam dua model, ulama suu’ (buruk) dan ulama
akhirat.
Dalam hadis riwayat Darimi, Rasulullah mengatakan,
“Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik
kebaikan adalah kebaikan ulama.” Oleh sebab itu, otoritas yang diberikan Islam
kepada ulama disertai dengan “kontrol langsung dari langit”. Artinya, Islam
menempatkan ulama pada posisi yang adil dan terjaga. Masyarakat akan mengakui
keulamaan seseorang jika ia memenuhi karakteristik ulama sebagaimana
digambarkan dalam ajaran Islam yang dapat dikaji oleh setiap muslim.
Dan beruntung bahwa kita di Aceh memiliki para ulama
akhirat yang selalu menjadi menjadi rujukan masyarakat. Oleh sebab itu, tidak
heran ketika para kandidat Pilkada berebut pengaruh ulama. Dan saat ini kita
bisa melihat, para ulama Aceh memberikan dukungan kepada kandidat yang berbeda.
Abu Kuta Krueng dan ulama-ulama lain dikabarkan cenderung mendukung pasangan
Muzakkir Manaf–TA. Khalid. Sementara Abu Tumin cenderung mendukung pasangan
Irwandi–Nova. Begitu juga Tarmizi A.Karim-Maksalmina yang dikabarkan mendapat
dukungan dari Abu Lueng Angen. Begitu juga kandidat lain yang didukung oleh
para ulama yang lain.
Sementara itu, di beberapa kabupaten, beberapa ulama bahkan
muncul sebagai kandidat calon Bupati. Di Bireuen, ketua 1 Himpunan Ulama Dayah
Aceh (HUDA) Tgk.H. Muhammad Yusuf A. Wahab maju sebagai kandidat calon Bupati.
Di Bener Meriah Tgk Ahmad Syarqawi (ketua MPU periode lalu) maju sebagai
Cawabup. Di Abdya terdapat Tgk Qudusi, seorang ulama yang juga anak alm
ulama sepuh, Abu Syam Marfaly. Di Aceh Besar juga terdapat Tgk Husaini A. Wahab,
seorang ulama yang maju sebagai calon wakil Bupati. Sementara itu, di Banda
Aceh, meskipun tidak ada kandidat dari kalangan ulama, namun klaim paling sesuai
dengan kriteria ulama dari kandidat menjadi tidak terelakkan.
Sikap Kita dan Kandidat
Di luar dinamika perbedaan pendapat ulama tersebut, ada
tuntutan bagi kandidat untuk mengikuti petuah ulama, serta tuntutan bagi kita
untuk menyikapi dinamika tersebut secara bijak. Sebab, perbedaan pendapat di
kalangan ulama bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah umat Islam. Maka
hendaknya tidak perlu menjadikan ulama sebagai target hujatan dan serangan. Harus
kita pahami, bahwa sejatinya apapun posisi ulama memang tidak pernah sepi dari
serangan.
Yang harus lebih sering kita perhatikan adalah, bagaimana
sikap kita di hadapan ulama? Apakah kita termasuk yang tetap memuliakannya,
atau justru sebaliknya? Beruntung jika kita memuliakan ulama karena dengan
begitu berarti kita termasuk orang-orang yang mulia. Dan rugilah jika kita
menghina ulama, karena hinaan si penghina akan kembali kepada dirinya sendiri.
Sebab, Islam mencela orang-orang yang menghina, bukan yang dihinakan.
Mari kita perhatikan, realitas selama ini, jika diam saja
dan tidak peduli urusan negara dengan berbagai kerusakannya, ulama tetap
dituduh “terlalu sufi” karena tidak mau terlibat dalam memperbaiki negara. Jika
hanya mendukung salah satu pasangan, ulama juga “diserang” karena dianggap
tidak netral. Berikutnya, ulama juga akan menjadi sasaran serangan empuk jika
mencalonkan diri dalam Pilkada. Bahkan, ini merupakan puncak serangan.
Alasannya, kehadiran ulama yang mencalonkan diri dalam Pilkada dianggap bisa
merusak reputasi ulama lain jika sekiranya nanti ulama yang ikut Pilkada ini
“terjebak dalam kesalahan”.
Padahal, sejatinya, jika ulama yang notabenenya lebih dekat
dengan Allah Swt saja dianggap berpotensi salah, maka yang yang bukan ulama
tentu lebih berpotensi lagi. Lebih dari itu, pemikiran ulama tidak boleh
berpolitik sendiri realitasnya merupakan ideologi sekuler. Silsilah atau sanad
ideologi ini dalam sejarah umat Islam di Aceh akan kembali sanadnya
kepada Snocuk Hugronje. Sementara bolehnya ulama berpolitik sanadnya akan
kembali kepada Rasulullah Saw, dimana beliau disamping pemimpin agama, juga
merupakan pemimpin politik, sekaligus ‘pemimpin negara’.
Kondisi ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan, apapun posisi
ulama serba salah secara politis bagi pihak tertentu. Bagi kita masyarakat Aceh
dan umat Islam umumnya, di hadapan realitas ini, Allah Swt sebenarnya sedang
menguji kita. Bisakah kita tetap menghormati para ulama, baik yang berbeda
pendapat dalam mendukung kandidat dalam Pilkada, maupun yang terlibat dalam
Pilkada ?
Seorang Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni), pastilah
melihat dinamika ini dengan kacamata Ahlussunnah. Di antara ciri Ahlussunnah
yang saya dengar dari Habib Rizieq Syihab tempo hari adalah berfikir secara Washatiyah
(penengah), yaitu kita menjadi penengah dalam “benturan” antar umat Islam.
Sebab, realitasnya semua kandidat Pilkada di Aceh sejauh ini alhamdulillah
tidak ada yang anti Islam sehinngga wajar ketika ulama berbeda dukungan dan
pandangan. Dan yang jelas, para ulama menutuskan sesuatu setelah menimbang dengan
kacamata Syari’ah yang dipahami masing-masing.
Maka perbedaan pendapat ulama menjadi sesuatu yang sangat
wajar. Bahkan, merupakan hal positif
ketika para kandidat berlomba-lomba merangkul ulama, membuat rumusan agenda
penerapan Syariah, meskipun masyarakat tetap harus mengontrol integritas dan track
record mereka. Di Aceh, kita tidak punya calon pemimpin seperti Ahok di
Jakarta yang menista agama Islam. Oleh sebab itu, marilah kita berikan
keteladanan kepada dunia, bahwa kita adalah pewaris peradaban Aceh Darussalam yang
pernah berjaya dan dihormati dunia. Biarlah di Jakarta saja ada kaum kafir dan
munafik yang mencaci ulama.
Kita Aceh adalah harapan Nusantara. Jika Indonesia
disepakati sebagai harapan dunia Islam, berarti dunia Islam sedang berharap kepada
Aceh, kita disini. Maka marilah kita lalui ujian ini dengan sukses. Kita harus
yakin, jika pun mereka (ulama) ada salah, maka kesalahan mereka lebih sedikit dari
kesalahan kita, dan kebaikan mereka lebih banyak dari kebaikan kita. Apalagi, kita
tidak diminta untuk melihat kesalahan ulama jikapun dianggap salah. Sebab, di akhirat
Malaikat akan bertanya tentang kita dan segenap amalan kita, bukan tentang apa
yang dilakukan orang lain. Kita akan mempertanggungjawabkan sendiri-sendiri
amalan kita.
Sementara itu, akhlak kepada ulama juga harus betul-betul
ditunjukkan para calon Gubernur dan calon Bupati/walikota. Realitas yang kita
saksikan selama ini adalah persis seperti kata seorang ulama kepada saya, “Selama
nyoe ulama dipeugot lage moto gileng. Lhueh dipeugot jalan ka hanjeut jak lee
moto gileng nyan ateuh jalan”. Artinya, ulama cenderung hanya dijadikan
sebagai kenderaan untuk berkuasa. Setelah berkuasa ulama dicampakkan, tidak ada
integrasi petuah-petuah dan nasehat ulama menjalankan pemerintahan.
Jika memang
serius mau ikut ulama, jadikan nasehat dan petuah-petuah menjadi
program-program pemerintahan. Buktikan dan tunjukkan tetap mau merujuk kepada
fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk selesaikan berbagai problem
pengelolaan pemerintah. Integrasikan Islam dalam rencana pembangunan di Bappeda
dan segenap Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) atau kabupaten/kota. Dan
masyarakat Aceh, hendaknya terus mengawali pemerintahan terpilih nanti agar
mereka tetap mendengar petuah ulama. Semoga saja!
Penulis adalah
Mahasiswa Program Doktor PPs UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekretaris PB Persatuan
Dayah Inshafuddin. Saat ini bekerja di Humas UIN Ar-Raniry. Email
abu.erbakan@gmail.com
http://aceh.tribunnews.com/2017/02/10/memahami-sikap-ulama-dalam-pilkada-aceh