Alquran dan Kemerdekaan Akal
*ALQURAN DAN KEMERDEKAAN AKAL* Serambi Indonesia, 10 Maret 2017 Oleh Teuku Zulkhairi Salah satu bahasan yang sering diperbincangkan kaum ...
*ALQURAN DAN KEMERDEKAAN AKAL*
Serambi Indonesia, 10 Maret 2017
Oleh Teuku Zulkhairi
Salah satu bahasan yang sering diperbincangkan kaum intelektual sejak dulu hingga saat ini adalah ‘akal’.
Tidak sedikit buku dan kitab yang ditulis yang menyeru kepada penggunaan akal untuk memecahkan berbagai problematika dan “misteri” kehidupan.
Intensitas perbincangan seputar akal tentu sangat beralasan karena akal adalah anugerah terbesar dari Allah Swt kepada manusia.
Jika akal bisa berfungsi dengan baik, maka manusia akan berjalan dalam cahaya yang terang. Kehidupannya akan berperadaban, berjaya dan bahagia.
Sebaliknya, apabila akal tidak difungikan dengan baik, maka manusia akan hidup dalam kegelapan, jauh dari peradaban.
Pertanyaan kemudian, bagaimana posisi akal dalam Islam, atau, bagaimana posisi akal dalam Alquran?
Mengajukan pertanyaan ini sangat penting sebelum kemudian kita bergerak pada diskusi selanjutnya, yaitu bagaimana memfungsikan akal dalam mencari solusi dan atau memecahkan berbagai problematika kehidupan?.
Secara umum, kita akan mendapati dua jawaban atas pertanyaan ini.
Pertama, karena ia adalah anugerah Allah Swt, sebagian menganggap akal harus berfikir tanpa batas, ia tidak boleh dibendung oleh sekat-sekat transendental (ilahiyah).
Kedua, akal harus difungsikan berdasarkan petunjuk-petunjuk ilahiyah.
Di lapangan, selain kita akan menemukan dua golongan manusia yang menggunakan akal sebagaimana dibahas di atas, kita juga akan menemukan manusia yang jarang menggunakan nalar (akal), baik dengan cara yang pertama, maupun dengan cara yang kedua di atas.
Manusia pada golongan ketiga ini, ia menunggu arahan dari dua kategori manusia di atas.
Akal bagi bagi manusia golongan pertama harus di atas digunakan tanpa perlu tunduk pada kebijakan-kebijakan ilahiyah.
Jika terdapat problematika kehidupan, maka akal adalah andalan utama untuk memecahkannya, tanpa merasa harus tunduk dan patuh pada keterangan teks suci.
Alasannya, Alquran saja memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya. Pendapat ini merujuk realitas empiris dimana pencerahan (Renesaince) yang dialami bangsa Barat terjadi tatkala mereka mulai meninggalkan pengaruh agama - melalui dominasi gereja- dari kehidupan mereka.
Pada intinya, Barat maju karena meninggalkan agama. Dan inilah yang dikampanyekan kaum Kolonialis penjajah ketika mereka menjajah dunia Islam.
Maka kemudian diambil sebuah hipotesis, bahwa jika umat Islam ingin maju, mengikuti jalan yang ditembuh Barat dengan meninggalkan agama adalah sebuah keniscayaan.
Lalu, produk-produk pemikiran Barat diimpor ke tengah-tengah umat Islam. Maka kita mengenal ideologi sekuler, liberal, relatifitas kebenaran, metodologi tafsir hermeunetika, kesetaraan gender, dan sebagainya.
Hasilnya, identitas Islam perlahan-lahan tercerabut dari akarnya. Lahirlah praktek ekonomi yang kapitalistik, pendidikan yang materialistik, politik yang oportunistik dan berbagai sikap hidup yang hedonistik.
Sementara bagi golongan kedua, akal adalah anugerah Allah Swt yang harus digunakan semaksimal mungkin, namun ia tetap harus tunduk dan patuh pada “kebijakan langit”.
Alasannya, meski Alquran memerintahkan umat Islam untuk memfungsikan akal untuk berfikir dan bertadabbur, namun disisi lain, Alquran juga menegaskan aturan yang tidak atau jangan sesekali dilampaui oleh akal manusia.
Artinya, Alquran menempatkan akal pada posisinya yang terhormat. Manusia diminta menggunakan akal dimana wujudnya adalah adanya ayat-ayat suci yang didominasi oleh teks yang bersifat dhanni, namun akal diminta untuk tunduk pada ayat-ayat Qath’i untuk menghindari kebimbangan dan keraguan.
Pemahaman seperti ini mendapatkan perlawanan keras dari pola fikir manusia golongan pertama di atas. Sebab, ia dianggap menjadi sebab kemunduran umat Islam.
Padahal, sejarah membuktikan, periode keemasan Islam di masa lampau diraih dengan ketundukan akal pada “kebijakan langit”, sekaligus juga memfungsikan akal berdasarkan arahan dari langit melalui ayat-ayat suci.
Maka lahirlah peradaban Abbasiyah yang eksis berabad-abad. Lahirlah peradaban Islam di Andalusia Spanyol yang memancarkan cahaya ilmu pengetahuan hingga ke negeri-negeri Eropa yang pada saat itu diliputi oleh awan kegelapan akibat pengaruh gereja yang mengekang kebebasan berfikir. Berikutnya juga lahirlah peradaban Ottoman yang kaya dengan ilmu pengatahuan sehingga mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam membentang dari Asia – Eropa hingga Afrika.
Ketika kita membaca sejarah peradaban Islam umat terdahulu, maka ternyata era keemasan mereka diawali dengan ketundukan akal pada perintah Allah Swt. Baik perintah untuk berfikir bagi akal, maupun perintah Allah Swt bagi akal untuk mengikuti ayat-ayat suci.
Sepanjang sejarah Islam tidak dijumpai tragedi pengekangan kebebasan berfikir, karena memang Islam begitu menekankan kita untuk berfikir.
Agar kemajuan yang akan (seharusnya) dicapai umat Islam tetap dalam koridor “perintah langit”, bisa menyeimbangkan dunia dan akhirat, maka tekanan Islam untuk berfikir disempurnakan dengan metode yang integratif sehingga umat Islam bisa maju secara duniawi dan tetap selamat dalam pandangan ukhrawi. (Teuku Zulkhairi, opini Hr Serambi Indonesia, Indonesia, Islam dan Kebangkitan: 6 Juni 2014).
Dan sebaliknya, ketika kita membaca sejarah peradaban Islam, kita juga akan menemukan bahwa ternyata peradaban Islam mulai mundur tatkala akal mengikuti hawa nafsu, meninggalkan petunjuk Allah Swt dalam Alquran.
Ketika Alquran tidak lagi menjadi landasan berfikir umat Islam, maka lahirlah penghambaan-penghambaan baru manusia kepada sesama makhluk Allah. Lahirlah praktek syirik dan perdukunan yang membelenggu akal.
Lahirlah penghambaan manusia kepada sesama manusia manusia dengan cara mengikuti pikiran-pikiran manusia yang tidak berlandaskan kepada Alquran.
Bukankah saat seorang manusia menolak teks suci berarti ia sedang menghambakan diri kepada sesamanya?
Jika bukan, lalu kepada siapakah ia melandasi pikirannya tatkala ia menolak teks suci? Bukankah jelas sekali tidak lagi kepada Allah Swt sebagai sang Pencipta?
Dan adanya penghambaan manusia kepada sesama makhluk sehingga tunduk pada nafsu duniawi inilah yang menjadi awal kemunduran peradaban Islam.
Kebebasan akal dalam pandangan Alquran adalah tatkala akal manusia tunduk dan patuh pada Alquran, bukan dengan meninggalkannya. Maka fitrah manusia diciptakan untuk selalu mendekat menuju cahaya dalam beraqidah, dalam berfikir dan dalam setiap dimensi kehidupan lainnya.
Dan inilah kemerdekaan akal, yaitu tatkala akal bebas bergerak menuju Allah Swt sebagai sang Pencipta Alam Semesta. Sementara meninggalkan Alquran berakibat pada terjadinya penghambaan manusia kepada sesama – atau bahkan juga pada akal dirinya sendiri – dimana ini merupakan rintangan bagi kemerdekaan akal.
Sebab, sesuai fitrahnya, akal merdeka ketika ia menemukan cahaya Ilahi.
Karena itu, di sisi lain, Alquran sangat menentang perbuatan syirik, perdukukan dan lain-lain, yaitu dengan memberantas semua bentuk penghambaan kepada selain Allah Swt dan memerdekakan akal. Dan ia menuntutnya untuk berfikir dan bertadabbur. Ia memancarkan sinar dan memberikan pencerahan pada akal, (Muhammad Syadid, Manhaj Tarbbiyah: 2003).
Allah Swt berfirman: “_Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran_. (al-Baqarah: 186).
Oleh sebab itu, seruan kaum sekuler liberal untuk keluar dari ajaran Islam (baca: sekulerisasi) dan hanya mengikuti akal sesungguhnya tanda-tanda tidak merdekanya akal.
Dan ini merupakan jalan bagi berlanjutnya kemunduran dan keterbelakangan umat Islam di hadapan hegemoni peradaban Barat. Model peradaban yang diinginkan Islam adalah untuk menyelamatkan dunia dan akhirat sekaligus .
_Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekjend PW Bakomubin Prov. Aceh. Saat ini bekerja di Humas UIN Ar-Raniry_