Ma’had Aly, Perguruan Tingginya Dayah
Oleh Teuku Zulkhairi Setelah Peraturan Menteri Agama (PMA) No 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly ditandatangani Menteri Agama Republik In...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2017/12/mahad-aly-perguruan-tingginya-dayah.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Setelah Peraturan Menteri Agama (PMA) No 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly ditandatangani Menteri Agama Republik Indonesia pada akhir tahun 2015 yang lalu, dua tahun berikutnya dua dayah di Aceh menerima Surat Keterangan (SK) Ma’had Aly dari Kemenag Pusat.
Keduanya yaitu Ma’had Aly di Dayah Mudi Mesra Samalanga Kab. Bireuen, dimana SKnya diterima oleh Tgk Zahrul Mubarak pada tahun 2016 lalu. Sementara untuk Ma’had Aly Dayah Darul Munawwarah Kuta Krueng Ulee Glee Pidie Jaya, SKnya diterima beberapa waktu lalu (tahun 2017) oleh Tgk H. Anwar Usman. Artinya, dua Ma’had Aly di Aceh ini telah resmi menjadi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam-nya dayah.
Secara pemetaan pendidikan, Ma’had Aly ini adalah lanjutan dari Program Diniyah Formal tingkat Ula, Wustha dan ‘Ulya dan lalu berlanjut ke Ma’had Aly. Sebagaimana dari SD, SMP, SMA lalu ke Perguruan Tinggi Umum (PTU) dan Madrasah yang dimulai dari MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Untuk Aceh, sebenarnya terdapat sejumlah dayah lainnya yang sejak satu dekade lalu telah menyelenggarakan program Ma’had Aly.
Hanya saja, untuk sementara baru dua dayah yang dikeluarkan SKnya oleh Kemenag Pusat, sebagai pilot project. Artinya, dayah-dayah lain masih berpeluang menyelenggarakan program Ma’had Aly setelah dan jika memenuhi sejumlah prosedur dan kriteria yang ditetapkan Direktorat Pondok Pesantren Kemenag RI. Setidaknya informasi ini seperti yang penulis simak dari Dr Ahmad Zayadi, Kepala Direktorat Pesantren beberapa bulan lalu saat beliau berkunjung ke Banda Aceh.
Kendati pun baru dua dayah di Aceh yang telah resmi berdiri Ma’had Aly, kita tetap bersyukur mengingat program pendidikan tinggi khas dayah ini telah sekian lama ditunggu-tunggu. Dalam perjalanannya, draft regulasi Ma’had Aly, terdapat banyak dinamika dan tantangan-tantangan yang penulis cermati dalam proses penyusunan oleh sebab kehadiran Perguruan Tingginya Dayah (baca: Pesantren) ini tentu saja akan memiliki implikasi dalam sektor lainnya, seperti kebutuhan anggaran dan sebagainya sehingga bahasan tentang Ma’had Aly ini bukan hanya domain Kemenag, namun juga kementerian lainnya.
Draft regulasi ini bahkan telah dibahas dari satu era Menteri ke Menteri lainnya, dan kemudian Alhamdulillah selesai pembahasannya di era Lukman Hakim Saifuddin (LHS). Di era LHS ini, sebenarnya tidak ada alasan lagi draft tersebut tidak ditandatangani oleh sebab telah tuntasnya semua pembahasan. Hal ini menandakan bahwa kehadiran Ma’had Aly membutuhkan proses yang panjang, sulit dan berliku-liku, sehingga kehadirannya mestilah disambut dan disyukuri. Banyak pihak yang terlibat dalam melahirkan draft Ma’had Aly ini, mulai dari kalangan Kyai-Kyai di Jawa hingga sejumlah ulama dan akademisi di Aceh.
Kebutuhan Mutlak
Pertanyaan kemudian adalah, apa itu Ma’had Aly dan apa saja keistimewaannya? Pada bab satu PMA ini, tentang ketentuan umum, disebutkan bahwa Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara dan berada di pondok pesantren.
Jadi, Ma’had Aly adalah Perguruan Tingginya dayah dimana basisnya adalah kitab kuning yang selama ini menjadi ciri khasnya dayah atau pesantren. Karena fungsinya semacam ini, maka kehadiran Ma’had Aly adalah kebutuhan mutlak bagi dunia dayah di Aceh khususnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamisasi perkembangan dunia modern.
Apalagi, sistem penyelenggaraannya sama sekali tidak akan merusak sistem pendidikan dayah yang selama ini telah berjalan, malahan justru akan semakin memperkuatnya.
Dengan status semacam ini, kehadiran Ma’had Aly sesungguhnya merupakan kebutuhan mutlak di tengah zaman dimana ummat sering kali ragu dan bimbang dalam memahami agama akibat kian kencangnya wacana dekontruksi teks suci dan turast yang dihembuskan oleh pemikir-pemikir Barat, orientalis dan para pengikut dogma Liberal Islam.
Bukankah kita sering mendengar sejumlah pemikiran alumnus Islamic Studies yang menuntut kitab-kitab turast ditinjau ulang karena anggapan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia modern, misalnya dalam bidang hukum Syari’at.
Oleh sebab itu, kehadiran Ma’had Aly tentu saja diharapkan mampu merawat studi turats (kitab klasik) sehingga mampu memberikan jawaban atas setiap tantangan aktual dalam dinamika keberagaman dari perspektif studi turats sehingga kitab kuning selalu relevan dalam setiap perkembangan zaman.
Saat di satu sisi ada pihak menghembuskan wacana dekonstruksi, sesuai dengan amanat filsafat yang berkembang di Barat, maka Ma’had Aly diharapkan mampu memperkuat revitalisasi kitab kuning untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan kontemporer, dalam bidang akhlak, pendidikan, sosial budaya, politik dan sebagainya.
Tentu ini sebuah keniscayaan yang sangat memungkinkan. Apalagi, sejatinya kitab kuning sendiri dewasa ini kian menjadi magnet para peneliti antropologi dan sosiologi yang mencoba melihat warisan budaya dan khazanah pengetahuan masa lalu serta relevansinya dengan kondisi kekianian.
Dalam hal penyelenggaraan Ma’had Aly, dalam PMA No 71 Tahun 2015 juga disebutkan, bahwa rumpun ilmu yang dikembangkan oleh Ma’had Aly adalah ilmu agama Islam dengan pendalaman kekhususan (takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu.
Sementara kekhususan (takhasus) disiplin ilmu keislaman tertentu meliputi al-quran dan ilmu al-quran (al-qur’an wa ‘ulumuhu), tafsir dan ilmu tafsir (tafsirwa ‘ulumuhu), hadits dan ilmu hadits (hadits wa ‘ulumuhu), fiqh dan ushul fiqh (fiqh wa ushuluhu, akidah dan filsafat islam (‘aqidah islamiyyah wa falsafatuha), sejarah dan peradaban islam (tarikh islamy wa tsaqafatuhu), bahasa dan sastra arab (lughah ‘arabiyyah wa adabuha), ilmu falak dan astronomi (‘ilmu falak), tasawuf dan tarekat (tashawwuf wa thariqatuhu), ekonomi islam (iqtishad islamy), atau takhasus ilmu keislaman lainnya.
Maka tugas pemerintah Aceh sekarang untuk betul-betul memanfaatkan kehadiran Ma’had Aly di Aceh sebagai momentum mengembalikan posisi Aceh sebagai “kiblat” dunia pendidikan Islam, khususnya di kawasan Nusantara. Kita patut bersyukur karena Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan juga mencantumkan bahasan perihal Ma’had Aly ini dimana Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah berwewenang dalam memfasilitasi pendirian Ma’had Aly.
Jadi, agenda memperkuat Ma’had Aly di Aceh akan lebih mudah ketimbang Provinsi lain di Indonesia yang tidak ada Qanun atau Perda yang membahas Ma’had Aly.
Seperti halnya juga tersebut dalam PMA, dalam Qanun Pendidikan Aceh juga disebutkanbahwa program pendidikan tinggi diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, politeknik dan dayah manyang (Ma’had ‘Aly). Intinya, selain PMA yang merupakan regulasi Nasional, Qanun Pendidikan Aceh sebagai regulasi lokal/daerah juga menetapkan Ma’had Aly sebagai satuan tinggi pendidikan.
Nah, sekarang tugas besar bagi segenap stakeholder pendidikan di Aceh untuk terus memacu Ma’had Aly agar terus bergerak mewujudkan cita-cita pendidikan Islami di Aceh. Tinggal sekarang kita tunggu pihak-pihak terkait untuk memajukan Ma’had Aly, mulai dengan dukungan sektor anggaran, pembinaan dan seterusnya.
Jika yang sudah resmi beroperasi ini berhasil sebagai pilot project, maka ke depan dayah-dayah lain akan semakin termotivasi untuk juga ikut menyelenggarakannya.
Kita berharap pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan, khususnya pendidikan dayah dan Ma’had Aly ini betul-betul memiliki visi dan jihadiyah (kesunngguhan) dalam memajukan Ma’had Aly. Amiin. Semoga saja!
http://aceh.tribunnews.com/2017/11/23/mahad-aly-perguruan-tingginya-dayah