Membumikan Epistemologi Islam

Oleh Teuku Zulkhairi             Menata ulang cara kita berfikir, mencari ilmu pengetahuan dan menemukan kebenaran nampaknya menjad...


Oleh Teuku Zulkhairi
            Menata ulang cara kita berfikir, mencari ilmu pengetahuan dan menemukan kebenaran nampaknya menjadi sebuah keniscayaan sepenjang zaman. Selama kita hidup di dunia, pergolakan-pergolakan pemikiran yang kadang mencoba mengajak kita ke kiri atau ke kanan, atau bahkan untuk menjadi stagnan adalah sebab sehingga memformat ulang cara kita berfikir merupakan sebuah kebutuhan mutlak. Hal inilah yang menyebabkan para pemikir Muslim terus berupaya membangun dan membumikan epistemologi Islam dengan maksud agar cara kita berfikir dan menemukan kebenaran senantiasa terus berada di jalan Islam, bangkit dan tanpa menanggalkan identitas keislaman kita.
Dan disaat yang bersamaan juga turut serta melestarikan tradisi keilmuan Islam dan menjaganya dari rongrongan pengaruh pemikiran kaum orientalis dan umat Islam yang berkiblat kepada mereka.
            Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Kejelasan tentang epistemologis ini pada akhirnya akan membantu kita keluar dari kompleksitas persoalan yang melilit negeri ini. Karena bisa dipastikan bahwa apapun persoalan yang hari ini kita hadapi adalah berpunca dari bagaimana kita dan umat ini berfikir. Sebagai bukti, orang-orang yang tidak bisa lagi membedakan mana yang hak dan mana yang bathil merupakan salah satu contoh ketika ia tidak menjadikan epistemolgi Islam sebagai landasan berfikirnya. Baginya, hal-hal yang  bertentangan dengan norma-norma adat, sosial, konstitusi negara atau bahkan agama sekalipun menjadi perkara yang mudah saja untuk dilanggar. Ia tidak mampu melihat garis terang yang memisahkan antara kebenaran dan kebathilan, atau bahkan ia justru menyamakan atau mencampur adukkan antara keduanya. Dan yang lebih ironis, ia justru melihat kebenaran sebagai kebathilan, dan kebathilan sebagai kebenaran. Ini diantara efek ketika cara ia berfikir tidak dibangun atas epistemologi Islam.
Epistemologi Islam
Epistemologi ini berasal dari bahasa Yunani ‘epistime’  yang artinya pengetahuan, dan ‘logos’ yang artinya teori. Jadi, epsitemologi dapat didefinisikan dimensi filsafat yang mempelajari tentang asal mula, sumber manfaat dan sahihnya pengetahuan. Secara sederhana disebutkan sebagai ‘bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia’(Fuad Ihsan, 2010: 222). Epistemologi Islam didasarkan pada bangunan tauhid. Parameter tetapnya adalah Alqur’an dan Hadist. Jika merujuk pada Al-Jabiri(1990: 556) epistimologi dalam teologi Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.
Pertama, epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini. Epistemologis bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau penalaran yang berpijak pada teks(Hasan Langgulung, 1980 : 189).
Kedua, epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak (irodah). Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.
Ketiga, epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidan agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tahbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah.
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas mendapatkan justifikasi dari Alqur’an. Dalam Alqur’an banyak ditemukan ayat ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam. Namun, jika dalam perkembangannya, kajian epistemologis dalam literature Barat dapat membuka prespektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multidimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam beringsut lebih tajam ke wilayah bayani dan irfani dengan mengabaikan penggunaan rasio (burhan) secara maksimal, sebagaimana pernah dipraktekkan pada masa golden age of science in Islam antara tahun 650 M sampai 1100 M. Hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama yang mengakibatkan keterpurukan umat Islam dalam bidang Sains dan Teknologi.
Meletakkan Sesuatu pada Tempatnya
Nah, dalam menyikapi kemunduran dalam berbagai bidang kehiduopan dewasa ini, baik IPTEK, Sains, Pendidikan, Politik dan Filsafat, maka konsep kebangkitan yang mesti dilakukan adalah dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam konteks ini, dengan lebih mengedepankan epistemologi yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani serta dibimbing oleh epistemology bayani. Penggunaan akal yang maksimal disini bukan dengan mengabaikan teks-teks (nash) yang sudah qath’i seperti yang dilakukan oleh kalangan Islam Liberal yang mengkampanyekan ide-ide SEPILIS. Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia. Manusia dan akalnya adalah penentu dalam perkembangan kehidupan setelah adanya patokan-patokan nash. Tetapi patokan ini, terutama yang diberikan Alqur’an masih bersifat global. Hal ini bertujuan agar memberikan kekuasaan bagi manusia menyesuaikan dengan realitas keadaan dan zaman yang terus berubah. Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih yang dipandu oleh nash, akan menjadikan kemajuan yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi (terasing) dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, karena IPTEK yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki.
Sedang dalam konteks akidah Islam, cara berfikir untuk merawat akidah Islam agar nilai-nilai Islam terus steril dari rongrongan pemikiran kaum orientalis adalah dengan tetap mengedepankan epistemologi bayani, dan kemudian diperkuat oleh metode burhani. Bukan dengan mendahului metode burhani sehingga menabrak nash-nash yang sudah qath'i. Karena sesungguhnya Alqur'an diturunkan untuk mengatur akal, bukan akal yang mengatur Alqur'an.  Mengabaikan ketentuan ini akan menjebak seorang muslim ke dalam kanker epistemologi sehingga sehingga membawanya kepada sikap skeptis(peragu) dan relativistik(Arif, 2008: 140). Efek pertama, ia selalu bersikap skeptis dalam segala hal, baik hal-hal sepele hingga ke masalah yang prinsipil dalam Islam. Ia akan meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya semua perkara harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada akhirnya, ia justru akan menjadi penyokong berbagai hal-hal yang justru merusakan tatanan nilai-nilai Islam. Selain itu, yang terparah adalah ia justru terjebak ke dalam paham relativistik. Saat itu, ia akan menganggap semua orang maupun golongan adalah sama-sama benar. Semua pendapat sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Bukankah pendapat ini sangat tidak mendasar? Bagaimana ia bisa menyimpulkan yang benar jika tidak ada yang salah?.
Akhirul kalam, sebagai muslim, kita mesti lebih cerdas mendudukkan konsep berfikir. Metode apa yang akan gunakan untuk mencari sebuah pengetahuan. Sehingga jangan sampai kita mencampur adukkan konsep-konsep yang seharusnya didudukkan pada posisi masing-masing yang berakibat fatal dengan semakin lamanya umat ini bangkit, atau justru semakin membuat akidah umat ini hancur seperti yang telah dipelopori oleh beberapa kalangan di Islam liberal yang mengaku sebagai intelektual modern. Maksud baik, tapi justru keliru dalam memakai metode. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Masyarakat(LSAMA), Banda Aceh.

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item