Mental Birokrasi, Tantangan Besar Pemerintahan Zikir
Oleh Teuku Zulkhairi SEJAK awal kepemimpinannya, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (Zikir) seb...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/10/mental-birokrasi-tantangan-besar.html
Oleh Teuku Zulkhairi
SEJAK awal
kepemimpinannya, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah-Muzakkir Manaf (Zikir) sebenarnya telah melakukan hal yang tepat saat
menyusun formasi SKPA kepada yang benar-benar berkompeten seperti jabatan
kepala Baitul Mal, Bappeda, Dinas Syari’at Islam (DSI) dan sebagainya.
Langkah
tersebut juga semakin cemerlang karena ditambah oleh eksisten Wakil Gubernur,
Muzakkir Manaf yang rajin terjun ke lapangan menjumpai masyarakat. Jika melihat
muallem, sebenarnya sosoknya bisa disandingkan dengan Gubernur DKI Jakarta,
Jokowi, walaupun kerja-kerja Muallem tidak sekedar untuk pencitraan sebagaimana
Jokowi. Blusukan Muallem tidak terekpos layaknya Jokowi yang berita tentangnya
cenderung berlebihan dan terlalu mengada-ada. Muallem tidak diragukan lagi
merupakan sosok yang berkharisma dan tegas, tidak neko-neko, tidak banyak cakap
dan serta juga tegas. Setidaknya, begitulah cerita dari orang-orang yang pernah
menjumpainya.
Selain itu,
adanya keinginan untuk berhasil dalam memimpin terlihat dari janji-janji yang
disampaikan saat berkampanya sebelum terpilih sebagai pemimpin. Semua janji itu
kemudian dirangkum dalam visi politik mereka, yaitu mewujudkan “Aceh yang
bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan UUPA sebagai
wujud MoU Helsinki”.
Visi ini
kemudian dijabarkan dalam misi yang dibagi dalam 5 poin, yaitu, pertama,
Memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui implementasi dan
penyelesaian turunan UUPA untuk menjaga perdamaian yang abadi; kedua,
Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan nilai-nilai Dinul Islam di semua sektor
kehidupan masyarakat; ketiga, Memperkuat struktur ekonomi dengan kualitas
sumber daya manusia; keempat, Mewujudkan peningkatan nilai tambah
produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Alam. Kelima,
Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan
berkelanjutan.
Sumber persoalan
Lalu apa
masalahnya? Mengapa Zikir sebagian kalangan seperti para demonstran dari
kalangan mahasiswa beberapa wkatu lalu mempersepsikan Zikir “gagal” dalam
memimpin? Apa sebenarnya yang menjadi masalah dalam merealisasikan semua janji
politik Zikir dan visi pembangunan mereka? Jawabannya, kendala terbesar adalah
mental birokrasi.
Ya, mental
birokrasi. Ketika Zikir mulai memimpin, maka sejak hari pertama, semua visi
kepimimpinannya telah jatuh dalam kendali birokrasi. Mental birokrasi kita bisa
disebut sangat versus visi pembangunan politik Zikir. Sebenarnya, persoalan
mental birokrasi di Aceh adalah bagian dari rentetan panjang persoalan mental
birokrasi di Indonesia. Birokrasi di Indonesia terkenal melempem di dunia, mal
administrasi dan kleptokrasi (Dewi Aryani, 2013).
Mental
birokrasi di Aceh pun umumnya masih project oriented, apapun kegiatan yang
diselenggarakan orientasinya adalah proyek. Kalau tidak masuk uang ke kantong
mereka, sebuah kegiatan atau program tidak akan bisa berjalan meskipun itu
untuk kepentingan masyarakat. Padahal, mereka sudah digaji oleh rakyat bukan?
Mengapa ini terjadi? Karena maidseat berfikir birokrasi kita umumnya masih
melihat posisi mereka sebagai “raja” yang harus dilayani oleh masyarakat,
padahal mereka adalah pelayan yang gaji mereka berasal dari keringat masyarakat.
Sangat
sedikit birokrasi yang bermental pelayan yang paham bahwa mereka sudah digaji
oleh rakyat sehingga tidak akan melihat setiap kegiatan dengan orientasi
proyek. Ini sebab sehingga Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei tahun
2011 terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke-129 dalam hal pelayanan
publik. Indonesia masih kalah dari India, Vietnam,atau bahkan Malaysia yang
sudah menempati urutan ke-61 dan Thailand di urutan ke- 70.
Persoalan
selanjutnya pada mental birokrasi kita adalah kurang hidupnya nalar kreatifitas
untuk menghidupkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan mereka kepada
masyarakat. Birokrasi kita sangat kaku sehingga sulit terlibat dalam berbagai
agenda pembangunan yang dicanangkan Zikir. Birokrasi kita masih terjebak pada
juknis dan juklak yang vertikal. Padahal, di era otonomi daerah, dengan
berbagai kekhususan Aceh, birokrasi kita seharusnya lebih berani lagi dalam
menghadirkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan kepada masyarakat dengan
menghadirkan berbagai program-program pembangunan secara terpadu.
Sebagai
contoh misalnya, seberapa banyak instansi pemerintah yang menyusun program
kerja tahunan yang betul-betul mengarah pada upaya untuk merealisasikan visi
pembangunan Zikir? Umumnya dalam setiap momentum penyusunan program kerja
tahunan, mereka jarang sekali berfikir keras untuk menyusun program kerja,
apalagi jika waktu penyusunannya juga kepepet. Selain juga tidak ada yang
mengarahkan mereka karena pimpinan pun tidak sempat berfikir sampai pada proses
penyusunan program kerja tahunan bidang-bidang instansi yang dipimpinnya,
padahal disinilah kunci suskesnya sebuah instansi pemerintah dalam menyahuti
agenda pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
Mereka
memaksa diri dengan hanya memanfaatkan SDM lingkungan instansi mereka dalam
menyusun program-program kerja sehingga yang terjadi bukan hanya copy paste
program tahun lalu, tapi juga justru menyusun program dengan hanya melihat
potensi dan celah pemasukan untuk pribadinya dari setiap program yang disusun,
seperti “program ini berapa honor untuk saya, atau berapa kali bisa melakukan
perjalanan dinas”. Alhasil, uang keringat rakyat dan hasil alam negeri ini
hanya untuk memperkaya dan membuah mereka bahagia saja. Tidak lebih.
Membenahi mental birokrasi
Pada titik
ini, bagi Zikir yang saat ini memimpin Aceh, mau tidak mau harus melihat
persoalan mental birokrasi ini secara serius. Zikir harus sering “blusukan” ke
instansi-instansi pemerintah dengan ditemani oleh para pemikir dari kalangan
ulama dan akademisi yang tidak pragmatis sehingga bisa mengarahkan Zikir
bagaimana peran SKPA dalam mewujudkan visi pembangunan Zikir.
Zikir harus
“memaksa” agar nalar kreatifitas birokrasi senantiasa dihidupkan dengan
diperkuat. Masukan-masukan dari masyarakat, akademisi serta hasil-hasil
penelitian dan rekomendasi sebuah seminar harus didengar dan diakomodir karena
disanalah terlihat aspirasi masyarakat.
Pada saat
yang bersamaan, publik pun harus aktif sebagai alat kontrol sosial (social
control) bagi pemerintah. Jangan segan sama sekali untuk melapor ke Ombudsman
setiap pelanggaran oleh birokrasi pemerintah. Secara sederhana, publik harus
memelihara frame berfikir, bahwa tugas birokrasi pemerintah adalah melayani
masyarakat dan mereka menerima gaji atas kerjanya tersebut. Dan gaji tersebut
juga berasal dari masyarakat. Masyarakat juga harus jeli melihat
program-program kerja sebuah instansi pemerintah dan kaitannya dengan upaya
pembangunan berdasarkan visi misi Zikir.
Maka, jika
memang Zikir jujur ingin merealisasikan visi pembangunan dan janji-janji
politiknya, mau tidak mau mental birokrasi ini harus dibenahi. Seleksi kembali
kepala SKPA yang tidak memiliki orientasi menyukseskan program-program pembangunan
Zikir. Tempatkan orang-orang yang layak dibidangnya. Dan yang lebih penting,
Zikir dan pejabatnya harus menunjukkan political
wiil dalam merubah mental birokrasi pemerintah dengan cara mengawalinya
dari diri mereka sendiri dan kelompoknya di luar lingkungan pemerintah. Wallahu a’lam bishshawab.
Dimuat di antaraaceh.com dan dikutip di http://www.acehinfo.com/opini/visi-pembangunan-pemerintah-aceh-versus-mental-birokrasi