Seruan "Hormati Orang yang Tidak Berpuasa" adalah Penjajahan Budaya
Oleh Teuku Zulkhairi – Seorang blogger "Hormatilah orang yang tidak berpuasa" adalah seruan yang sering terdengar menjelan...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/06/seruan-hormati-orang-yang-tidak.html
"Hormatilah orang yang tidak berpuasa" adalah seruan yang sering
terdengar menjelang bulan Ramadhan. Bedanya, menjelang ramadhan kali ini seruan
tersebut ikut didengungkan oleh Bapak Menteri Agama lewat akun Twitternya.
Beberapa alasan yang biasanya selalu dimunculkan, di Amerika atau
negara-negara Barat orang Islam yang berpuasa dengan tantangan yang berat akan
lebih teruji, karena di saat mereka berpuasa sementara disampingnya orang-orang
non muslim sedang makan-minum. Jadi, mereka berpuasa dengan penuh tantangan
sehingga banyak pula pahalanya.
Maksud secara tersirat dari seruan dan
perbandingan tersebut adalah, tanpa tantangan seperti ini maka orang-orang yang
berpuasa di Indonesia dan juga Aceh tidak akan teruji seperti ujian yang mereka
terima di Amerika. Pada akhirnya, tujuan
besarnya adalah, kultur di negeri yang mayorits Muslim seharusnya disamakan
saja dengan kultur di negeri yang minoritas Muslim. Sebab, kita ini hidup dalam
dunia yang kosmos.
Logika rusak,
menjajah budaya
Di satu sisi, seruan-seruan yang telah muncul setiap tahun ini wajar-wajar
saja karena memang umat Islam konsisten berbeda dengan non Muslim di bulan
ramadhan, umat Islam berpuasa sementara non muslim ya tidak berpuasa. Sesuatu yang
dikhawatirkan tanpa sebab oleh beberapa kalangan.
Namun, kalau kita cermati
dari segudang problem bangsa kita sejauh ini, lalu kita kaitkan antara satu
dengan yang lain, seruan ini sesungguhnya adalah penjajahan budaya sekaligus merupakan
bagian dari rentetan panjang perjalanan bangsa ini menuju titik nadir kerusakan
logika dan nalar sehat.
Sebab, bagaimana
tidak, kalau yang dimaksudkan adalah menghormati non muslim yang tidak
berpuasa, memangnya sejak kapan sudah umat Islam mulai memaksa non muslim untuk
berpuasa?
Kalau yang dimaksudkan adalah menghormati orang-orang yang 'uzur dari berpuasa, seperti sakit, musafir, atau halangan syar'i lainnya, memangnya sejak kapan orang-orang uzur ini sudah tidak dihargai lagi oleh umat Islam yang berpuasa?
Jadi, umat Islam tidak butuh khutbah seorang menteri Agama dan siapapun lainnya untuk menghargai orang lain.
Yang dipraktekkan sebagian umat Islam Indonesia dan umumnya orang Aceh dengan menutup warung makan di pagi-siang hari tidak lain hanyalah upaya untuk menciptakan kondisi ta'wwun 'alal birri wattaqwa, agar terbentuk kultur kebaikan dan saling mendukung untuk berbuat baik, bukan untuk menghalangi orang sakit makan. Bukan untuk mencegah musafir untuk makan. Bukan untuk mencegah non muslim makan. Jangan pura-pura tidak paham, karena warung makan tidak dibuka hanya sampai siang hari.
Musafir mana selama ini yang sudah mengeluh tidak bisa makan ? Orang sakit mana selama ini yang bertambah sakitnya karena warung makan ditutup?
Pada akhirnya, dapat
kita simpulkan bahwa seruan-seruan “Hormati orang yang tidak berpuasa”
sebenarnya tidak lain adalah upaya untuk menghilangkan sakralitas bulan
Ramadhan bagi umat Islam sendiri. Lebih spesifiknya,
seruan itu adalah upaya penjajahan budaya, karena mencoba memaksa budaya luar
terhadap umat Islam yang memiliki budaya sendiri.
Aceh
akan tetap beda insya Allah
Oleh sebab itu, lewat tulisan ini saya hanya bermaksud menyeru umat Islam
Indonesia dan rakyat Aceh khususnya untuk terus BERANI BERBEDA!
Kita telah sering berbeda koq dengan daerah atau negara lain. Saat Myanmar
mengusir Rohingya, saat Thailand menolak mereka, saat Malaysia juga menolak,
Aceh justru berbeda, Aceh menerima mereka walau ada juga satu dua yang menolak
di tengah hampir semua masyarakat Aceh menerima. Kaidah fiqh mengatakan,
"jarang itu seperti tiada, tiada itu tidak tidak dii'tibar(tidak perlu
dianggap kehadirannya)".
Di Level nasional, Kita juga dianggap berbeda, saat Panglima TNI kita melarang
TNI Wanita gunakan Jilbab di Provinsi lain, di Aceh justru diperbolehkan, dan
yang tetap ingin memakai Jelbab diminta pindah aja ke Aceh.
Kita juga berbeda, saat di Jakarta Ahok mau legalkan minuman keras,
pemerintah kita di Banda Aceh justru mencambuk orang-orang yang minum-minuman
keras, karena minuman keras bisa merusak otak si peminumnya sehingga akan
menghancurkan kehidupan pribadiny dan juga keluarganya.
Oleh sebab itu, jangan takut, mari terus berbeda. Dan, semoga umat Islam lainnya di Indonesia
juga berani berbeda!
Ulasan yang sangat bermanfaat di tengah kisruh isu ini.
BalasHapus