Agar Syari'at Islam Berwibawa
Teuku Zulkhairi PENULIS menyadari betul bahwa tantangan penegakan syari’at Islam di Aceh begitu komplek. Maka, tulisan ini hanya akan...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/10/agar-syariat-islam-berwibawa.html
![]() |
Teuku Zulkhairi |
PENULIS menyadari
betul bahwa tantangan penegakan syari’at Islam di Aceh begitu komplek. Maka,
tulisan ini hanya akan mengupas sedikit saja dari kompleksitas tersebut. Di
mata penulis, catatan-catatan ini penting untuk dibahas karena terangkum
berdasarkan pengalaman di lapangan, baik lewat amatan langsung maupun ketika
terlibat dalam pergulatan pemikiran, diskurusus dan dialog syari’at Islam
dengan berbagai komunitas dan latar belakang yang berbeda. Proses syari’at
Islam di Aceh tidak jarang dipandang hanya “main-main” karena beberapa
instrumen fundamental belum tersentuh hukum syari’at seperti. Selain itu, media
massa sebagai perangkat penting penegakan syari’at Islam juga belum diperkuat
sehingga terkesan proses syari’at Islam di Aceh tidak memiliki wibawa.
Kendati demikian,
pada dasarnya, implementasi syari’at Islam di Aceh dewasa ini harus diakui
telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Tugas-tugas
dakwah dan perlawanan terhadap kemaksiatan dan seruan untuk hidup dalam naungan
Islam telah banyak yang menjadi agenda pemerintah Aceh. Pada saat yang
bersamaan, perilaku dan pola berfikir yang bertentangan dengan hukum Allah kian
menjadi sorotan. Teriakan dan tuntutan untuk kembali ke jalan Islam kian
bergema sehingga garis demarkasi yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan
semakin nampak.
Sebagai contoh,
meskipun saat ini pekerjaan maksiat masih merajalela di Aceh, namun sebuah
pekerjaan maksiat telah dipandang oleh segenap masyarakat Aceh sebagai sesuatu
yang tercela, melanggar aturan agama atau adat dan etika sosial kemasyarakatan.
Inilah sebenarnya keberhasilan terbesar dari syari’at Islam di Aceh. Bahwa
berbicara tentang syari’at Islam bukanlah tentang hasilnya saja, tapi juga
bagaimana ia berproses. Terus bergerak atau berhenti. Bergerak berarti
berhasil, berhenti berarti kita gagal.
Kendati demikian,
proses tersebut harus terus disempurnakan karena berhenti berproses berarti
gagal. Masyarakat Aceh sendiri umumnya berharap agar syari’at Islam memasuki
semua sendi kehidupan. Semua persoalan harus diatur dengan hukum Islam.
Tuntutan menerapkan hukum Islam bukan berarti anti modernisasi, atau
“mempetieskan” studi ilmu hukum modern. Tetapi, pelaksanaan hukum Islam berarti
konsekuen terhadap hukum yang berasal dari pembuat hukum (legislator)
tertinggi, Allah Swt.
Catatan berikut
ini dalam perspektif penulis merupakan proses yang harus terus mendapatkan
perhatian maksimal untuk disempurnakan.
Membangun opini positif via media massa
Sesuai dengan
hukum sunnatullah, “pertempuran” antara yang haq dan yang bathil akan terus
berlangsung hingga hari kiamat. Maka demikian pula dengan syari’at Islam di
Aceh. Adanya upaya pembusukan dan stigmatisasi negatif terhadap proses
penegakan syari’at Islam terus berlangsung dengan pendekatan logika-logika
Islam liberal. Pembentukan opini negatif oleh media massa sekuler yang
menggambarkan syari’at Islam di Aceh seolah diskriminatif terhadap non Muslim ,
menindas dan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Tekanan dari dunia
internasional atas nama HAM sampai penolakan Qanun-Qanun syari’at Islam oleh
para aktivis HAM.
Mereka menilai
pidana dalam dua qanun tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai HAM. Padahal,
ancaman pidana yang tegas terhadap pelaku kejahatan tidak bisa dikatakan
sebagai suatu pelanggaran HAM . Penting dicatat, ancaman yang keras bagi para
pelaku mengandung hikmah yang besar. Yang diharapkan dari si terpidana sendiri
adalah membangkitkan kesadaran bahwa tindakannya keliru. Bahkan disisi lain,
jatuhnya pidana itu bisa menghapus sanksi yang jauh lebih keras di akhirat.
Tentu saja konsepsi ini tidak bisa dipahami oleh hukum Barat yang sekuler.
Adanya suguhan
berita tentang syari’at Islam secara negatif misalnya diakui oleh pakar
Komunikasi IAIN Ar-Raniry, A.Rani Usman , “Kita (media) asyik memberitakan
Syariat Islam di Aceh yang negatif-negatif saja, sehingga image kita (Aceh)
jelek di mata luar,”. Selain itu, “Pemberitaan Syariat Islam yang dilakukan
media selama ini hanya cendurung pada peristiwa semata, seperti cambuk, razia
busana, penangkapan pelaku mesum dan aliran sesat. Seharusnya media juga perlu
menggali cerita di balik berita sehingga menghasilkan berita yang konprehensif
dan berimbang” .
Bahkan, yang
lebih tragis lagi, tidak jarang media massa sekuler secara langsung menyerang
syari’at Islam di Aceh seperti kritikan Majalah Tempo beberapa waktu lalu
terkait bunuh diri seorang remaja putri di Langsa. Majalah Tempo mengarahkan
“serangan” ke Aceh, bahwa bunuh diri Putri di Langsa disebabkan penerapan
syari’at Islam.
Penyajian berita
secara negatif ini kita anggap “berbahaya” karena ia bermain pada tataran
pemikiran dan proses mempengaruhi opini publik dan masyarakat secara luas.
Adanya pembentukan opini publik secara negatif akan berdampak pada negatifnya
image syari’at Islam yang terbaca oleh publik Aceh dan masyarakat dunia.
Alhasil, negatifnya image syari’at Islam akan mempengaruhi pola fikir dan
respon yang resisten dari masyarakat terhadap upaya dan proses implementasinya.
Menyadari
realitas empiris ini, “penguasaan” terhadap media seharusnya menjadi prioritas
utama dalam penegakan syari’at Islam di Aceh. Pemerintah bisa membuat regulasi
agar media massa di Aceh mendukung penegakan syari’at Islam. Di Negara-negara
Barat, meskipun media massa tetap dibiarkan “kritis”, namun mereka tetap tampil
sebagai media “propaganda” atas kepentingan negaranya.
Media massa
menjadi saluran atas agenda-agenda kepentingan negara. Penguasaan terhadap media
bisa saja dengan membuat kesepakatan agar setiap media yang beroperasi di Aceh
mendukung penegakan syari’at Islam, penyampaian-penyampaian kritikan harus
diupayakan mengarah pada upaya perbaikan. Dalam konteks Islam, peran media
idealnya bukan hanya sebagai alat untuk memberitakan peristiwa-peristiwa yang
tidak memiliki nilai-nilai edukasi Islam di balik peristiwa yang dikabarkan
tersebut, apalagi jika media tersebut justru mempromosikan kebebasan moral,
berita pornografi, berita pemerkosaan yang bagai “memperkosa” kembali korban
yang sedang diberitakan.
Di balik itu,
dalam aspek edukasi, media akan menjadi sangat efektif dalam upaya perbaikan
moral sesuai dengan misi syari’at Islam. “Cara-cara tradisional tidak lagi
seefektif dulu. Anak-anak di Aceh sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya
di hadapan televisi, Koran, majalah, tabloid, website, dan radio. Semua media
ini telah menjadi media pembentuk opini publik. Pada saat seperti ini, pemilik
saham media, para redaktur, dan manajemen lainnya dituntut untuk memperjuangkan
kepentingan Aceh dan Islam dengan media tempat mereka mencari nafkah. Jadikan
kepentingan Aceh dan Islam sebagai kepentingan media”.
Maka, dalam
menuju masyarakat Aceh yang bersyari’at, memaksimalkan keberadaan media dalam
upaya memperkenalkan agenda syari’at Islam yang sedang dirancang merupakan
kebutuhan yang mendesak agar opini tentang syari’at Islam terbentuk secara
positif.
Dinamisasi peran ulama
Tanpa mengurangi
kepercayaan terhadap eksistensi ulama yang tidak pernah lelah mendidik umat,
sedikit catatan ini muncul karena keresahan penulis. Memperhatikan kompleksitas
permasalahan hari ini dan juga kiprah ulama kita di Aceh selama ini mungkin
sedikit memiriskan hati kita sebagai masyarakat. Sebagain besar ulama kita yang
tergabung dalam Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) cenderung terjebak pada satu
persoalan. Ulama kita cenderung hanya memfokusikan diri pada satu kajian,
khususnya terkait aliran sesat dan “melupakan” begitu banyak persoalan besar
lainnya yang padahal juga mendesak untuk diselesaikan. Padahal, jika para ulama
kita juga aktif terlibat dalam kompleksitas persoalan lainnya, semua agenda
perubahan dan fatwa ulama akan efektif didengar masyarakat.
Padahal Islam
juga mengurus semua persoalan kekinian lainnya. Persoalan-persoalan lain yang
membutuhkan partisipasi ekstra para ulama misalnya seperti persoalan korupsi di
Aceh yang setiap hari kian membudaya. Politik kotor yang senantiasa diperagakan
oleh para politisi dan penguasa. Persoalan kemiskinan. Pengembangan sistem
pendidikan Islami pada semua level lembaga pendidikan formal dan non formal
yang belum juga bisa diwujudkan oleh pemerintah.
Rusaknya tradisi
seni masyarakat Aceh. Mutu layanan publik yang masih mengecewakan. Begitu juga
persoalan ketidakadilan hukum yang menimpa para korban konflik. Praktek ekonomi
ribawi yang hingga saat ini masih juga begitu eksis di Aceh melalui bank-bank
konvensional serta lewat jalur-jalur lainnya, bahkan hingga persoalan
kemiskinan yang hingga hari ini masih melilit kaum dhuafa.
Sebagai
masyarakat, kita rindu melihat kiprah ulama dalam setiap problema di atas.
Sebab, Islam pada dasarnya juga menyediakan solsui bagi berbagai persoalan di
era kontemporer. kita ingin ulama kita terjun dan terlibat dalam semua dimensi
kehidupan, sesuai dengan fungsinya sebagai ‘pewaris para Nabi’.
Disini bukan
berarti kita menutup mata dihadapan realitas besarnya jasa para ulama terhadap
bangsa dan agama, karena tanpa ulama niscaya dunia Islam akan menjadi kelam.
Penulis dan semua masyarakat Aceh lainnya tentunya merupakan manusia-manusia
yang dibentuk oleh para ulama melalui lembaga pendidikan. Namun ternyata tetap
saja kita sedikit kecewa jika kiprah ulama yang mestinya bisa begitu dinamis
dan atraktif, namun faktanya berjalan secara stagnan. Sehingga cita-cita luhur
Islam untuk membangun sebuah negara impian yang dijuluki baldatun thaybatun wa
rabbun ghafur (negeri yang baik dan rakyatnya mendapat keampunan dari Allah)
kian jauh dari harapan. Kita ingin para ulama kita berada di garis terdapan
dalam perjuangan melawan kemiskinan yang melilit masyarakat kita.
Kita berharap
para ulama berada di garda terdepan dalam upaya melawan praktek ribwai,
kezaliman penguasa lokal dan nasional, melawan arus budaya korupsi, membangun
tradisi seni Islami, menciptakan tata layanan publik yang Islami dengan
falsafah utama ‘Jika bisa dipermudah, untuk apa dipersulit’, bukan ‘Jika bisa
dipersulit untuk apa dipermudah?’ sebagaimana yang diterapkan oleh birokrasi
kita dan penyedia layanan publik lainnya di Aceh selama ini. Dengan dinamisnya
peran ulama, kita berharap pada akhirnya posisi ulama bagian dari sistem negara
yang memiliki fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah sebagai pilar
pertama tegaknya dunia yang beradab.
Pemerintahan juga harus Islami
Selain persoalan
di atas, persoalan terbesar dalam penegakan syari’at Islam di Aceh hari ini
adalah belum lahirnya konsep yang jelas bagaimana sebenarnya wujud dari or yang
jelas dan terukur. Realitas ini akan menjadi celah yang akan memunculkan sikap
resistensi masyarakat terhadap proses penegakan syari’at Islam. Mereka akan
menilai bahwa objek penerapan hukum syari’at hanya untuk masyarakat saja,
sementara pemerintah tidak tersentuh dengan hukum syari’at.
Bagaimana kita
menjelaskan ke-Islami-an Aceh ketika FITRA, sebuah LSM Anti Korupsi merilis
sebuah hasil survey tentang indeks Korupsi di Indonesia yang menempatkan Aceh
pada urutan kedua se-Indonesia? Ini merupakan bukti bahwa teologi tentang
kezhaliman dan ketercelaan perilaku korup belum bisa kita terjemahkan dalam
realitas empiris. Kesilaman pemerintah kita ternyata belum memberi efek dalam
menggurangi perilaku korup.
Contoh lain,
sudah mafhum pula bagaimana buruknya kualitas layanan publik kita di Aceh.
Budaya mempersulit seakan menjadi sebuah paradigma yang telah disakralkan untuk
dipertahankan oleh birokrasi kita. Sebuah urusan tidak akan dipermudah jika
bisa dipersulit. Bagaimana pula kita menjelaskan ke-Islami-an kita ketika
misalnya hanya urusan khilafiyah lalu kita saling bermusuhan? Bahkan sampai
seorang Khatib diturunkan dari Mimbar Mesjid secara barbar. Padahal Islam
mengajarkan kita untuk bertoleransi, untuk memiliki tatakrama dalam menyikapi
perbedaan dengan sesame Muslim.
Islam mengajarkan
kita akhlak mulia lebih utama dari perbedaan fikih. Begitu juga, tidak
maksimalnya pembangunan ekonomi syari’ah dan tidak adanya perlawanan terhadap
praktek ribawi serta belum adanya format Islamisasi dunia pendidikan di Aceh
menjadi bukti bahwa pemerintahan kita belum Islami. Di saat yang bersamaan juga
muncul “perang” memperebutkan jabatan oleh para intelektual yang semua itu
menambah deretan panjang persoalan dalam proses penegakan syari’at Islam.
Pada saat yang
bersamaan, pemerintah juga belum menampakkan keseriusannya dalam penegakan
syari’at Islam yang bisa dilihat dari minimnya alokasi anggaran untuk penegakan
syari’at Islam.
Maka sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari
The George Washington University tentang negara yang paling Islami yang
menempatkan Indonesia di urutan 140 dimana Selandia Baru yang berada di urutan
pertama , bagi saya merupakan sebuah renungan bagi kita untuk mengevaluasi
keIslaman kita dan pemerintahan Aceh.
Reposisi Dinas Syari’at Islam
Diakui atau
tidak, posisi Dinas Syari’at Islam (DSI) Aceh hingga saat ini belum memberi
pengaruh yang signifikan bagi upaya penegakan syari’at Islam. Bahkan, terkesan
hadirnya DSI ini sekedar alat legitimasi penguasa, bahwa mereka sudah mendukung
penegakan syari’at Islam. Kondisi ini disebabkan karena DSI belum menemukan
posisinya sebagai mitra kritis pemerintah. DSI masih jauh dari peran dalam
dinamika gerakan menuju Syari’atisasi Aceh di segala tatatan kehidupan,
khususnya dalam bidang pemerintahan.
Menjadi mitra
kritis, tentu bukan berarti harus berlawanan dengan pemerintah. Meksipun secara
hirarki sistem birokrasi pemerintahan kedudukan DSI adalah sama saja seperti
posisi SKPA lainnya, namun, menjadi mitra kritisi pemerintah bagi DSI minimal
yaitu dengan memberi petunjuk kepada pemerintahan Aceh dari jalan “kesesatan”
menuju jalan yang terang benderang. Mengapa peran ini menjadi penting? Karena
segala kebijakan penguasa memberi efek langsung terhadap kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan pemerintah jugaakan menentukan sukses tidaknya syari’at
Islam, khususnya yang berkaitan dengan regulasi dan peran lainnya yang harus diemban
oleh pemerintah. Jika pemerintah sedang tidak dalam posisi serius dengan
syari’at Islam, DSI harus menyadarkan pemerintah agar tidak khilaf dan lupa.
Luruskan
pemerintah jika mereka khilaf, jangan justru membenarkannya dengan
alasan-alasan yang dibuat seolah ilmiah. Misalnya, terkait dengan qanun
jinayah, nahkoda baru DSI yang kita ketahui merupakan pakar hukum Islam harus
mempertegas sikapnya. Ulama dan akademisi IAIN sendiri yang lebih senior
seperti Prof Alyasa’ Abubakar telah beberapa kali mempertegas sikapnya tentang
urgensitas Qanun Jinayah diterapkan di Aceh. Kita berharap agar kepala Dinas
syari’at Islam Aceh Prof Syahrizal Abbas mampu berkata tegas. Ini tugas awal
yang akan menentukan mampu tidaknya DSI menjadi mitra kritis pemerintah Aceh ke
depan. Qanun jinayah telah telah dibutuhkan di Aceh berdasarkan kajian para
ulama dan akademisi sendiri untuk mengisi kekosongan hukum di Aceh.
Di sini, kita
berharap DSI dengan nahkoda barunya memberi petunjuk kepada penguasa. Sebab,
sesuai dengan label syari’at Islam di belakangnya, dinas ini memiliki tanggung
jawab bagaimana membawa nilai-nilai Islam dan segala aturannya agar
termanifestasi dalam semua tatanan kehidupan, khususnya dalam lingkup
pemerintahan.
Beberapa
kehancuran dalam tatatan pemerintahan di Aceh akhir-akhir ini adalah
indikatornya. Bahkan, saat DSI dipimpin oleh Prof Rusydi Ali Muhammad di era
Irwandi Yusuf memimpin Aceh, Aceh menduduki peringkat kedua sebagai Provinsi
terkorup di Indonesia setelah DKI Jakarta. Kondisi ini membuktikan belum
hadirnya syari’at Islam dalam sistem pemerintahan Aceh. Begitu juga, sudah
menjadi rahasia umum bahwa aturan syari’at Islam saat ini sangat sulit
menyentuh “orang-orang besar”. Syari’at Islam tentu tidak seperti ini, dan DSI
harus tegas.
Dalam kondisi seperti
inilah DSI dituntut untuk menjadi mitra kritis penguasa. Jangan sampai
keberadaan DSI akan menjadi bahan “ulok-ulok” mereka yang tidak setuju atau
kecewa terhadap penegakan syari’at Islam. Setelah DSI mampu menjadi mitra
kritis pemerintah, maka DSI insya Allah akan mudah dalam membina masyarakat
agar mencintai syari’at Islam dan menghormati proses penegakannya
sumber: http://www.santridayah.com/2013/03/menemukan-wibawa-proses-penegakan-syariat-islam-di-aceh