Memperkuat Posisi Dinas Syari'at Islam
http://dinassyariatislam.wordpress.com Oleh Teuku Zulkhairi DIAKUI atau tidak, posisi Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh hingga saat...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2014/11/memperkuat-posisi-dinas-syariat-islam.html
![]() |
http://dinassyariatislam.wordpress.com |
Oleh Teuku Zulkhairi
DIAKUI atau tidak,
posisi Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh hingga saat ini belum memberi
pengaruh yang signifikan bagi upaya penegakan syari’at Islam. Bahkan,
terkesan hadirnya DSI ini sekedar alat legitimasi penguasa, bahwa mereka
sudah mendukung penegakan syari’at Islam. Kondisi ini disebabkan karena
DSI belum menemukan posisinya sebagai mitra kritis pemerintah. DSI
masih jauh dari peran dalam dinamika gerakan menuju syariatisasi Aceh di
segala tatatan kehidupan.
Tanpa berkurang rasa optimisme, jika
peran sebagai ‘mitra kritis’ ini kembali tidak mampu dimainkannya, besar
kemungkinan wajah syariat Islam di Aceh akan semakin buram. Dan yang
akan lebih menyedihkan, pada akhirnya kita akan mafhum, bahwa kondisi
syariat Islam di Aceh hari ini berkait erat dengan kiprah akademisi yang
pernah memimpin DSI. Jika kondisi cenderung memburuk dengan indikator
banyaknya pelanggaran atas aturan Islam oleh pemerintah dan masyarakat,
maka ini disebabkan oleh bagaimana pimpinan DSI memainkan perannya.
Menjadi titik-tolak
Di balik itu, posisi Prof Syahrizal Abbas sebagai kepala DSI akan menjadi titik-tolak bagi pembuktian teori-teori Islam dari ranah akademis menuju ranah praksis empiris. Sebagaimana kita tahu, bahwa Syahrizal Abbas adalah profesor ketiga yang memimpin DSI Aceh. Sebagai intelektual muda idealis dan berlatar belakang akademisi yang sangat paham tentang syariat Islam, menggantung ‘seribu harapan’ wajar diletakkan di pundaknya.
Di balik itu, posisi Prof Syahrizal Abbas sebagai kepala DSI akan menjadi titik-tolak bagi pembuktian teori-teori Islam dari ranah akademis menuju ranah praksis empiris. Sebagaimana kita tahu, bahwa Syahrizal Abbas adalah profesor ketiga yang memimpin DSI Aceh. Sebagai intelektual muda idealis dan berlatar belakang akademisi yang sangat paham tentang syariat Islam, menggantung ‘seribu harapan’ wajar diletakkan di pundaknya.
Di sini, bisa disebut sukses atau tidaknya Prof
Syahrizal Abbas memimpin DSI akan menentukan sejauhmana harga diri dan
kemampuan seorang akademisi perguruan tinggi Islam, dalam menerjemahkan
Islam dalam bentuk kebijakan dan usaha mempengaruhi pemerintah agar
tetap dalam jalur syariat Islam. Kita tentu tidak ingin kalangan
intelektual Aceh yang hari ini berada dalam jajaran pemerintah Aceh,
hanya sekadar ‘pemberi stempel’ atas kebijakan pemerintah Aceh yang jika
itu bertolak belakang nilai-nilai Islam, kemanusiaan dan aspirasi
masyarakat kelas bawah.
Menjadi mitra kritis, tentu bukan berarti
harus berlawanan dengan pemerintah. Meksipun secara hirarki sistem
birokrasi pemerintahan kedudukan DSI adalah sama saja seperti posisi
SKPA lainnya, namun, menjadi mitra kritisi pemerintah bagi DSI minimal
yaitu dengan memberi petunjuk kepada pemerintahan Aceh dari jalan
“kesesatan” menuju jalan yang terang benderang.
Mengapa peran
tersebut menjadi penting? Karena segala kebijakan penguasa memberi efek
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pemerintah
jugaakan menentukan sukses tidaknya syari’at Islam, khususnya yang
berkaitan dengan regulasi dan peran lainnya yang harus diemban oleh
pemerintah. Jika pemerintah sedang tidak dalam posisi serius dengan
syariat Islam, DSI harus menyadarkan pemerintah agar tidak khilaf dan
lupa.
Luruskan pemerintah jika mereka khilaf, jangan justru
membenarkannya dengan alasan-alasan yang dibuat seolah ilmiah. Misalnya,
terkait dengan qanun jinayah, ‘nakhoda’ baru DSI yang kita ketahui
merupakan pakar hukum Islam harus mempertegas sikapnya. Ulama dan
akademisi IAIN sendiri yang lebih senior seperti Prof Alyasa’ Abubakar
telah beberapa kali mempertegas sikapnya tentang urgensitas Qanun
Jinayah diterapkan di Aceh.
Terkait qanun yang sangat didambakan
itu, kita harapkan agar Prof Syahrizal Abbas mampu berkata tegas. Ini
tugas awal yang akan menentukan mampu tidaknya DSI menjadi mitra kritis
pemerintah Aceh ke depan. Qanun jinayah telah dibutuhkan di Aceh
berdasarkan kajian para ulama dan akademisi sendiri untuk mengisi
kekosongan hukum.
Selain persoalan di atas, persoalan terbesar
kita hari ini adalah belum lahirnya konsep yang jelas bagaimana
sebenarnya wujud dari pemerintahan Islami. Di sini, kita berharap DSI
dengan nahkoda barunya memberi petunjuk kepada penguasa. Sebab, sesuai
dengan label syariat Islam di belakangnya, dinas ini memiliki tanggung
jawab bagaimana membawa nilai-nilai Islam dan segala aturannya agar
termanifestasikan dalam semua tatanan kehidupan, khususnya dalam lingkup
pemerintahan.
Menjadi rahasia umum
Beberapa kehancuran dalam tatatan pemerintahan di Aceh akhir-akhir ini adalah indikatornya. Aceh, misalnya --berdasarkan hasil penelitian sebuah LSM antikorupsi-- menduduki peringkat kedua sebagai provinsi terkorup di Indonesia setelah DKI Jakarta. Kondisi ini membuktikan belum hadirnya syariat Islam dalam sistem pemerintahan Aceh. Begitu juga, sudah menjadi rahasia umum bahwa aturan syariat Islam saat ini sangat sulit menyentuh “orang-orang besar”. Syariat Islam tentu tidak seperti ini, dan DSI harus tegas.
Beberapa kehancuran dalam tatatan pemerintahan di Aceh akhir-akhir ini adalah indikatornya. Aceh, misalnya --berdasarkan hasil penelitian sebuah LSM antikorupsi-- menduduki peringkat kedua sebagai provinsi terkorup di Indonesia setelah DKI Jakarta. Kondisi ini membuktikan belum hadirnya syariat Islam dalam sistem pemerintahan Aceh. Begitu juga, sudah menjadi rahasia umum bahwa aturan syariat Islam saat ini sangat sulit menyentuh “orang-orang besar”. Syariat Islam tentu tidak seperti ini, dan DSI harus tegas.
Dalam kondisi seperti inilah DSI dituntut untuk
menjadi mitra kritis penguasa. Jangan sampai keberadaan DSI akan menjadi
bahan “ulok-ulok” mereka yang tidak setuju atau kecewa terhadap
penegakan syariat Islam. Setelah DSI mampu menjadi ‘mitra kritis’
pemerintah, maka DSI insya Allah akan mudah dalam membina masyarakat
agar mencintai syariat Islam dan menghormati proses penagakannya.
Jika
nahkoda baru DSI mampu memposisikan dirinya sebagai ‘mitra kritis’
pemerintah Aceh, maka syariat Islam di Aceh saya yakin akan kembali
bergairah dan tetap di atas jalur. Pada saat yang bersamaan, nama
akademisi dari perguruan tinggi Islam akan menjadi harum. Wallahhu a’lam
bishshawab.
* Teuku Zulkhairi, M.A, Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email: abu.erbakan@gmail.com
dimuat di Serambi Indonesia link http://aceh.tribunnews.com/2013/09/09/memperkuat-posisi-dsi