Memperkuat Posisi Dinas Syari'at Islam

http://dinassyariatislam.wordpress.com Oleh Teuku Zulkhairi  DIAKUI atau tidak, posisi Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh hingga saat...

http://dinassyariatislam.wordpress.com
Oleh Teuku Zulkhairi 

DIAKUI atau tidak, posisi Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh hingga saat ini belum memberi pengaruh yang signifikan bagi upaya penegakan syari’at Islam. Bahkan, terkesan hadirnya DSI ini sekedar alat legitimasi penguasa, bahwa mereka sudah mendukung penegakan syari’at Islam. Kondisi ini disebabkan karena DSI belum menemukan posisinya sebagai mitra kritis pemerintah. DSI masih jauh dari peran dalam dinamika gerakan menuju syariatisasi Aceh di segala tatatan kehidupan.

Tanpa berkurang rasa optimisme, jika peran sebagai ‘mitra kritis’ ini kembali tidak mampu dimainkannya, besar kemungkinan wajah syariat Islam di Aceh akan semakin buram. Dan yang akan lebih menyedihkan, pada akhirnya kita akan mafhum, bahwa kondisi syariat Islam di Aceh hari ini berkait erat dengan kiprah akademisi yang pernah memimpin DSI. Jika kondisi cenderung memburuk dengan indikator banyaknya pelanggaran atas aturan Islam oleh pemerintah dan masyarakat, maka ini disebabkan oleh bagaimana pimpinan DSI memainkan perannya. 

 Menjadi titik-tolak
Di balik itu, posisi Prof Syahrizal Abbas sebagai kepala DSI akan menjadi titik-tolak bagi pembuktian teori-teori Islam dari ranah akademis menuju ranah praksis empiris. Sebagaimana kita tahu, bahwa Syahrizal Abbas adalah profesor ketiga yang memimpin DSI Aceh. Sebagai intelektual muda idealis dan berlatar belakang akademisi yang sangat paham tentang syariat Islam, menggantung ‘seribu harapan’ wajar diletakkan di pundaknya. 

Di sini, bisa disebut sukses atau tidaknya Prof Syahrizal Abbas memimpin DSI akan menentukan sejauhmana harga diri dan kemampuan seorang akademisi perguruan tinggi Islam, dalam menerjemahkan Islam dalam bentuk kebijakan dan usaha mempengaruhi pemerintah agar tetap dalam jalur syariat Islam. Kita tentu tidak ingin kalangan intelektual Aceh yang hari ini berada dalam jajaran pemerintah Aceh, hanya sekadar ‘pemberi stempel’ atas kebijakan pemerintah Aceh yang jika itu bertolak belakang nilai-nilai Islam, kemanusiaan dan aspirasi masyarakat kelas bawah.

Menjadi mitra kritis, tentu bukan berarti harus berlawanan dengan pemerintah. Meksipun secara hirarki sistem birokrasi pemerintahan kedudukan DSI adalah sama saja seperti posisi SKPA lainnya, namun, menjadi mitra kritisi pemerintah bagi DSI minimal yaitu dengan memberi petunjuk kepada pemerintahan Aceh dari jalan “kesesatan” menuju jalan yang terang benderang. 

Mengapa peran tersebut menjadi penting? Karena segala kebijakan penguasa memberi efek langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pemerintah jugaakan menentukan sukses tidaknya syari’at Islam, khususnya yang berkaitan dengan regulasi dan peran lainnya yang harus diemban oleh pemerintah. Jika pemerintah sedang tidak dalam posisi serius dengan syariat Islam, DSI harus menyadarkan pemerintah agar tidak khilaf dan lupa.

Luruskan pemerintah jika mereka khilaf, jangan justru membenarkannya dengan alasan-alasan yang dibuat seolah ilmiah. Misalnya, terkait dengan qanun jinayah, ‘nakhoda’ baru DSI yang kita ketahui merupakan pakar hukum Islam harus mempertegas sikapnya. Ulama dan akademisi IAIN sendiri yang lebih senior seperti Prof Alyasa’ Abubakar telah beberapa kali mempertegas sikapnya tentang urgensitas Qanun Jinayah diterapkan di Aceh. 

Terkait qanun yang sangat didambakan itu, kita harapkan agar Prof Syahrizal Abbas mampu berkata tegas. Ini tugas awal yang akan menentukan mampu tidaknya DSI menjadi mitra kritis pemerintah Aceh ke depan. Qanun jinayah telah dibutuhkan di Aceh berdasarkan kajian para ulama dan akademisi sendiri untuk mengisi kekosongan hukum. 

Selain persoalan di atas, persoalan terbesar kita hari ini adalah belum lahirnya konsep yang jelas bagaimana sebenarnya wujud dari pemerintahan Islami. Di sini, kita berharap DSI dengan nahkoda barunya memberi petunjuk kepada penguasa. Sebab, sesuai dengan label syariat Islam di belakangnya, dinas ini memiliki tanggung jawab bagaimana membawa nilai-nilai Islam dan segala aturannya agar termanifestasikan dalam semua tatanan kehidupan, khususnya dalam lingkup pemerintahan. 

 Menjadi rahasia umum
Beberapa kehancuran dalam tatatan pemerintahan di Aceh akhir-akhir ini adalah indikatornya. Aceh, misalnya --berdasarkan hasil penelitian sebuah LSM antikorupsi-- menduduki peringkat kedua sebagai provinsi terkorup di Indonesia setelah DKI Jakarta. Kondisi ini membuktikan belum hadirnya syariat Islam dalam sistem pemerintahan Aceh. Begitu juga, sudah menjadi rahasia umum bahwa aturan syariat Islam saat ini sangat sulit menyentuh “orang-orang besar”. Syariat Islam tentu tidak seperti ini, dan DSI harus tegas.

Dalam kondisi seperti inilah DSI dituntut untuk menjadi mitra kritis penguasa. Jangan sampai keberadaan DSI akan menjadi bahan “ulok-ulok” mereka yang tidak setuju atau kecewa terhadap penegakan syariat Islam. Setelah DSI mampu menjadi ‘mitra kritis’ pemerintah, maka DSI insya Allah akan mudah dalam membina masyarakat agar mencintai syariat Islam dan menghormati proses penagakannya. 

Jika nahkoda baru DSI mampu memposisikan dirinya sebagai ‘mitra kritis’ pemerintah Aceh, maka syariat Islam di Aceh saya yakin akan kembali bergairah dan tetap di atas jalur. Pada saat yang bersamaan, nama akademisi dari perguruan tinggi Islam akan menjadi harum. Wallahhu a’lam bishshawab.
* Teuku Zulkhairi, M.A, Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email: abu.erbakan@gmail.com

dimuat di Serambi Indonesia link http://aceh.tribunnews.com/2013/09/09/memperkuat-posisi-dsi

Related

Syari'at Islam di Aceh 2687480579877112248

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item