'Pembusukan' Syariat Islam

Islam itu indah. Foto: Google Oleh Teuku Zulkhairi TIDAK dapat dipungkiri bahwa implementasi syariat Islam di Aceh dewasa ini memb...

Islam itu indah. Foto: Google
Oleh Teuku Zulkhairi

TIDAK dapat dipungkiri bahwa implementasi syariat Islam di Aceh dewasa ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan bangsa Aceh. Tugas-tugas dakwah dan perlawanan terhadap kemaksiatan dan seruan untuk hidup dalam naungan Islam telah banyak yang menjadi agenda pemerintah Aceh. Pada saat yang bersamaan, perilaku dan pola berfikir yang bertentangan dengan hukum Allah kian menjadi sorotan sehingga “teriakan” dan tuntutan untuk kembali ke jalan Islam kian bergema.

Garis demarkasi yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan semakin nampak, dan kebatilan pun semakin terlihat sebagai kebatilan. Sebagai contoh, meskipun saat ini pekerjaan maksiat masih merajalela di Aceh, namun sebuah pekerjaan maksiat telah dipandang oleh segenap masyarakat Aceh sebagai sesuatu yang tercela, melanggar aturan agama, adat dan etika sosial kemasyarakatan. Mereka yang mendukung kemaksiatan akan semakin tersisih. Inilah sebenarnya keberhasilan terbesar dari syariat Islam di Aceh.

 Ketentuan sunnatullah
Berbicara tentang syariat Islam sesungguhnya bukanlah tentang hasilnya saja, tapi juga bagaimana ia berproses. Terus bergerak atau berhenti. Bergerak berarti berhasil, berhenti berarti gagal. Adanya penolakan-penolakan terhadap syariat Islam dengan berbagai alasannya merupakan sebuah ketentuan sunnatullah, bahwa “pertempuran” antara yang haq dan yang bathil akan terus berlangsung hingga hari kiamat.

Demikian pula dengan syariat Islam di Aceh. Upaya pembusukan terus berlangsung. Mulai dari logika-logika Islam liberal yang terus menghadang proses implementasinya. Pembentukan opini bahwa syariat Islam seolah diskriminatif, menindas dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Tekanan dari dunia internasional atas nama HAM sampai penolakan Qanun-qanun syariat. Di lain sisi, kita juga menjumpai realitas minimnya pemahaman dan praktik kehidupan yang Islami dalam diri masyarakat dan pemerintah kita.

Dari sejumlah tantangan tersebut, yang paling berbahaya mungkin terletak pada adanya proses pembusukan-pembusukan terhadap syariat yang datang dari luar Aceh maupun dari dalam. Pembusukan ini kita anggap berbahaya karena ia bermain pada tataran pemikiran dan proses mempengaruhi opini publik dan masyarakat secara luas. Negatifnya imej syariat Islam akan mempengaruhi pola pikir dan respon dari masyarakat terhadap proses implementasinya.

Sejarah membuktikan bahwa yang menguasai opini publik, dialah yang akan jadi pemenang. Maka, proses implementasi syariat Islam di Aceh seharusnya harus terbentuk secara positif dalam dinamika opini publik di berbagai ruangnya. Meskipun upaya-upaya pembusukan syariat Islam jelas tidak bisa dihindari, namun seharusnya upaya untuk melindungi syariat Islam dari pembusukan harus lebih massif lagi.

Sangat ironis, bahwa ketika beberapa pihak memiliki program pemantauan syari’at Islam dengan target sisi negatifnya untuk dilaporkan ke dunia luar, namun pemerintah kita, dalam hal ini Dinas Syari’at Islam justru tidak memiliki program untuk pemantauan keberhasilan syari’at Islam untuk dilaporkan ke publik Aceh dan dunia.

 Upaya pembusukan
Adanya proses pembusukan syariat Islam bukanlah sebuah prasangka negatif. Kita masih ingat ketika BBC Indonesia beberapa waktu lalu memuat sebuah berita dengan judul “Sebagian umat Kristen di Aceh tidak bisa gelar misa di gereja”. Salah satu kutipan dari berita ini adalah Menurut Nico, perayaan Natal ini berbeda dengan tahun lalu. “Tahun ini sifatnya lebih mencekam begitu takut juga sih, tiba-tiba nanti ada orang atau apa gitu”.

Berita ini mencoba memaksa opininya bahwa Aceh tidak aman bagi nonmuslim dan syariat Islam telah melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) umat Kristiani.Padahal, hingga berakhirnya upacara Natal tidak ada gangguan apapun dari umat Islam di Aceh.

Amannya Aceh juga diakui oleh para pendeta sendiri. Misalnya pendeta HKBP Amrin Sihotang S.Th, mengatakan “Semua berjalan lancar tanpa ada isu-isu miring menerpa jemaat. Sampai saat ini tidak ada hambatan apa pun dalam melakukan persiapan sebagaimana dikutip oleh The Globe Journal.

Begitu juga, pengakuan Tata Laksana Natal Gereja Katolik Hati Kudus, R Nainggolan. “Aceh menjadi contoh untuk kerukunan umat beragama, meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, tapi masyarakat di sini masih menghargai perbedaan antaragama,” ujarnya.

Contoh lain, saat kasus penghinaan Islam yang dilakukan oleh Mirza Alfath di akun Facebook-nya beberapa waktu lalu. Pada surat pembaca tentang yang saya tulis memuat bukti-bukti nyata adanya penghinaan agama yang dilakukan oleh Mirza Alfath. Bukti adalah bukti yang paling ringan. Namun, opini yang kemudian dibangun oleh beberapa kalangan justru bertolak belakang dengan penyebab awal Mirza Alfath dituduh menghina Islam sehingga disyahadatkan kembali oleh Ulama di Lhokseumawe.

Opini yang dibangun kemudian, bahwa penyebab Mirza Alfath ini dituduh telah menghina Islam adalah karena Mirza Alfath mengkritisi syariat Islam di Aceh. Sebuah media massa Nasional pun mengutip opini pembusukan ini sehingga opini yang terbangun ke dunia luar dalam kasus ini, bahwa syariat Islam di Aceh mengekang kebebasan berekpresi. Karena penghinaan terhadap agama meskipun di dunia maya tidak pernah bisa dibenarkan dalam sistem yuridis Indonesia.

Contoh terbaru adalah laporan Kontras Aceh lewat Koordinatornya, Destika Gilang Lestari dalam laporannya yang dimuat di Kompas.com dengan judul “Kasus Kekerasan Berbasis Syariat Meningkat di Aceh” Kamis (3/1/2013). Laporan ini memasukkan tindakan memandikan dan menikahkan pelaku maksiat oleh warga sebagai kekerasan berbasis syariat. Padahal, tanpa syariat Islam aksi warga semacam itu dipastikan tetap akan terjadi karena merasa wilayah mereka telah dicemari.

 Legal formal
Aksi warga semacam itu adalah hukum adat, tidak ada sangkut pautnya dengan Syariat Islam. Lalu, mengapa syariat Islam yang dikambing hitamkan? Kontras berharap agar proses penegakan hukum bisa berjalan dan warga tidak main hakim sendiri. Namun, mereka juga memasukkan Hukuman Cambuk di Aceh sebagai kekerasan berbasis syariat. Padahal hukuman ini adalah legal formal dan dibenarkan oleh hukum kita di Aceh. Dengan kata lain, hukuman ini jelas sekali bukan aksi main hakim sendiri oleh warga.

Contoh-contoh di atas adalah bukti kecil atas realitas adanya pembusukan syariat Islam yang dilakukan secara sistematis. Ini sebenarnya tantangan terberat proses implementasi syariat Islam di Aceh selain kurangnya keseriusan dan keteladanan pemerintah. Wallahu a’lam bishshawab.

* Teuku Zulkhairi, MA, Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email: abu.erbakan@gmail.com


Dimuat di Harian Serambi Indonesia. Link: http://aceh.tribunnews.com/2013/01/18/pembusukan-syariat-islam

Related

Syari'at Islam di Aceh 2015964697864046799

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item