Mendukung Syari'at Islam, Bagai Katak Dalam Tempurung?
Oleh Teuku Zulkhairi Saya tertarik mengkaji penggunaan kata-kata “Katak dalam Tempurung”, khususnya karena kata-kata ini sering dikel...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/01/bagai-katak-dalam-tempurung.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
Saya tertarik
mengkaji penggunaan kata-kata “Katak dalam Tempurung”, khususnya karena
kata-kata ini sering dikeluarkan sebagian kalangan untuk menjudge orang-orang atau
pendapat orang yang dianggap berbeda dari pandangan mainstream dunia.
Penggunaan kata-kata “jangan seperti katak
dalam tempurung“ nampaknya dilatar belakangi oleh karena adanya anggapan bahwa
warga dunia harus menyatu dalam budaya dunia yang kosmos.
Kita diharapkan
menanggalkan segala identitas diri dan local wisdom kita menuju budaya kosmos
agar kita menyatu dengan warga dunia. Kita tidak boleh berbeda dengan keinginan
warga dunia, dengan budaya yang sedang trendi di berbagai belahan dunia,
khususnya di benua Eropa dan Amerika. Jika kita berbeda, maka kita adalah
seperti “katak dalam tempurung”.
Nalar saya mencoba
berfikir, bagaimana budaya dunia yang disebut kosmopolit ini lahir? Siapa yang melahirkannya, siapa yang
berwewenang memberikan mandat dan siapa yang diberikan mandat untuk menetapkan
standar nilai “budaya kosmos” yang mesti diikuti warga dunia seluruhnya?
Sejauh bacaan saya,
setiap peradaban dunia dan nilai-nilai yang dibangunnya lahir memiliki ciri
khas yang berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Misal,
bagaimana peradaban Hindu berkembang dimana India berada di belakang peradaban
ini. Atau bagaimana peradaban Budha eksis dimana China salah satu penyokongnya.
Atau juga, eksistensi peradaban Kristen dan Yahudi dimana negara-negara Eropa
dan Amerika sebagai fondasinya. Juga Rusia dengan ajaran komunisnya. Bahkan
juga, saya dengar Jepang itu merupakan negara yang sangat kuat merawat tradisi
dan falsafah leluhur bangsanya.
Antara satu peradaban
dengan peradaban lainnya ini saling berbeda baik nilai maupun fondasinya, dan
mereka saling memperkuat peradaban masing-masing, bahkan juga melakukan
kompetisi menjadi yang paling unggul dalam percaturan peradaban dunia.
Lalu, yang dianggap
sebagai standar nilai budaya kosmos yang mesti kita orang Aceh-Islam ikuti adalah
peradaban yang mana? Mengapa kita mesti menyatu dengan budaya dunia yang dianggap
kosmopolit itu di saat dunia itu sendiri memiliki peradaban yang beraneka
ragam?
Mengapa kita tidak
berani mencoba berbeda dari peradaban mainstream dunia untuk kemudian kita
bangkit dengan peradaban kita sendiri?
Bukankah dengan demikian maka kita akan memberikan warna baru dalam
tatanan dunia yang plural? Mengapakah dunia harus takut jika kita berbeda
dengan mereka?
Kalau begitu,
jelaslah bahwa dunia yang kosmopolit itu tidak dibangun oleh satu warna, tapi
aneka warna. Nah, jika warga di sebuah negara melebur dalam salah satu
peradaban dunia dari beberapa peradaban yang sudah ada di atas, bukankah mereka
tetap saja tidak bisa menjadi warga dunia yang menyatu dengan dunia yang
kosmos?
Lalu, sampai kapan
kita akan menyebut “katak dalam tempurung” saat melihat ada orang Aceh yang
sedang mencoba berbeda dengan ragam peradaban dunia lainnya?
Sekian
sumber foto: http://igock.blogspot.com/2012/12/bagai-katak-dalam-tempurung.html