Mengawal Syari’at Islam (Tugas Besar Santri Aceh)

Oleh Teuku Zulkhairi           Kendati sudah puluhan qanun Syari’at Islam dilahirkan legislatif dan eksekutif, namun cita-cita menu...

Oleh Teuku Zulkhairi

          Kendati sudah puluhan qanun Syari’at Islam dilahirkan legislatif dan eksekutif, namun cita-cita menuju penerapan Syari’at Islam secara kaffah di Aceh tidak serta merta akan terwujud secara otomatis. Qanun-qanun itu hanya akan menjadi lembaran-lembaran aturan yang tidak berfungsi sekiranya elemen sipil tidak bergerak secara sinergi, simultan dan massif dalam melakukan fungsi kontrol dan dalam upaya advokasi agar eksekutif dengan segenap jajarannya konsisten memberlakukan qanun-qanun tersebut secara implementatif.

          Baik qanun-qanun yang berbasis syari’at Islam maupun qanun-qanun konvensional  Aceh lainnya yang telah disahkan dan diberlakukan, sesungguhnya memuat model Aceh impian sekiranya pasal-pasal dalam qanun tersebut mampu diimplementasikan secara baik. Jika kita membaca pasal per pasal, ayat per ayat berbagai qanun yang telah disahkan, maka realitas Aceh yang kita saksikan saat ini akan sangat berbanding lurus dengan harapan “Aceh baru versi qanun”. Beberapa pasal-pasal dan atau ayat-ayat dalam qanun-qanun syari’at Islam belum terimplementasikan secara baik.

          Realitas ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, tidak adanya keseriusan dari jajaran birokrasi pemerintah. Program implementasi qanun-qanun syari’at Islam sepertinya masih dipandang pada sebatas program kerja biasa sebagaimana program kerja-kerja lainnya yang orientasi akhirnya adalah sekedar menjalankan program. Plus, ditambah dengan tidak adanya dorongan yang kuat dari pucuk kekuasaan eksekutif. Lebih dari itu, penting untuk diteliti tentang sejauh mana konsistensi birokrasi pemerintah membuat program-program kerja yang berpedomen secara konsisten pada qanun-qanun syari’at Islam.

Kedua, adanya qanun-qanun syari’at Islam yang terkendala proses implementasinya harus diakui disebabkan karena lemahnya kontrol elemen sipil. Padahal, salah satu peran yang harus dilakukan organisasi sipil adalah mengawasi birokasi agar berjalan sesuai koridor hukum. 

Maka di sini, peran dan kontribusi kalangan dayah dan santrinya sungguh sangat diharapkan berbagai kalangan. Dengan kekuatannya yang sangat dominan di Aceh, kalangan dayah dengan para santrinya bisa terus mengawal qanun-qanun syari’at Islam, seperti Qanun Jinayat dan Acara Jinayah yang telah disahkan dan mulai diberlakukan agar terus berjalan di atas jalurnya, agar jangan sampai hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas karena jika ini terjadi maka sungguh akan memberikan presden buruk bagi upaya penegakan syari’at Islam di Aceh. Dan yang lebih sakit, jika “tajam ke bawah dan tumpul ke atas” ini terjadi maka kita akan menjadi bahan tertawaan dunia, dan yang perihnya lagi mungkin akan memunculkan banyak gelombang penolakan terhadap qanun ini.

Maka bisa disimpulkan, bahwa tugas besar kalangan dayah terhadap qanun ini adalah memastikan agar isinya diterapkan serta diterapkan secara berkeadilan. Dua-duanya sangat penting agar cita-cita kita menjadikan Qanun Jinayat sebagai pengawal peradaban Islami di Aceh akan terwujud. Kit jugaa berharap agar publik Aceh bisa mengawal perjalanan qanun ini agar betul-betul bisa menjadi pengawal peradaban Aceh yang Islami. Jangan sampai terjadi seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak mengenai akan tajamnya qanun ini ke bawah serta akan tumpul ke atas. Ini harus kita antisipasi sejak dini, agar qanun ini berlaku kepada siapapun yang jika melanggar. Tidak ada perbedaan status siapapun di mata hukum hatta anak seorang raja sekalipun.

Dalam konteks ini, Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan organisasi santri lainnya seperti Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD), dan RASSA (Rabithah Alumni Pesantren) sebaggai organisasi santri dayah tradisional  dan Komite Alumni Pesantren (KAPA) sebagai organisasi santri alumni pesantren modern, hendaknya bisa berperan dalam berbagai ruang menuju implementasi syari’at Islam secara menyeluruh. Sebagai sebuah organisasi pelajar berbasis dayah, gerakan santri dayah ini dianggap memiliki kepantasan untuk terlibat dalam penguatan dan advokasi syari’at Islam. Komunitas dayah, sebagaimana dikatakan Syahrizal Abbas (SuaraDarussalam.com, 2013), “memiliki kekuatan moral yang kuat dengan komunitasnya yang besar”.

Bahkan, tidak sedikit kalangan akademisi yang menyebut bahwa dayah adalah benteng terakhir penerapan Syari’at Islam di Aceh. Jika benteng-benteng lain telah runtuh, harapan terakhir masyarakat Aceh ada pada dayah. Hal ini sangat wajar mengingat dayah secara konsisten memperkuat syari’at Islam secara kultural. Dayah dengan segenap komunitasnya telah menjadi lembaga pendidikan yang sangat sulit dilepaskan dari dinamika Aceh modern maupun Aceh di masa silam.

Oleh sebab itu, ke depan, salah satu agenda penting dan mendesak yang harus dilaksanakan RTA adalah memperkuat kiprahnya secara menyeluruh dan dalam jangka waktu yang panjang, khususnya bidang advokasi syari’at Islam. Secara internal, RTA, RASSA, KAPA, dan ISAD dinantikan perannya dalam menyatukan seluruh elemen pelajar dayah di Aceh, baik dayah modern maupun dayah salafiah (tradisional).

Sementara secara ekseternal, dalam konteks upaya menuju penerapan syari’at Islam secara kaffah, salah satu peran yang harus dimainkan oleh para santri adalah dengan melibatkan diri dalam dalam proses taqnin (legislasi) oleh legislatif. Tentu ada jalan di jalur ini. Santri dayah dengan segenap organisasinya harus sigap memantau setiap proses penyusunan qanun-qanun dan memberi masukan atas setiap proses pembahasan dan penyusunan qanun tersebut. Jangan sampai para santri terlewatkan pada setiap proses pembahasan qanun yang dilakukan legislatif dan eksekutif.
Organisasi-organisasi santri dayah yang selama ini konsen melakukan studi turast (klasik) khazanah keilmuan Islam, mesti terus mengkampanyekan Maqashid Syari’ah (orientasi syari’at) sehingga konsepsi Islam dengan segala orientasi kemashlahatannya mampu dipahami oleh umat Islam secara luas khususnya dan dunia pada umumnya. 
Upaya merealisasikan Maqashid Syari’iyah harus menjadi landasan yang kuat atas setiap regulasi yang dibuat, serta pada saat yang sama juga mampu membuat manusia condrong dan loyal kepada Islam dan tidak meragukannya.  Intinya, para santri dayah dengan segenap organisasinya harus terus berjuang memberikan masukan agar setiap proses pembangunan Aceh berlandaskan konsepsi Islam sehingga Aceh berjaya bersama Islam. Sebagai ajaran yang syamil (universal dan menyeluruh) dan mutakamil (saling menyempurnakan), Islam memang harus menjadi fondasi pembangunan Aceh oleh sebab mayoritas masyarakat Aceh adalah Muslim.

Peran lainnya adalah upaya advokasi syari’at Islam. Ini merupakan sisi lemah berikut dari kiprah santri dayah dengan segenap organisasinya selama ini. Idealnya, gerakan santri dayah harus mampu mengevaluasi tentang sejauh mana proses implementasi qanun-qanun syari’at Islam di Aceh dewasa ini. Puluhan qanun berbasis syari’at Islam telah diterapkan di Aceh, sejauh mana butir-butir qanun itu telah diimplementasikan eksekutif?
Salah satu tindakan yang bisa diambil para santri dalam konteks ini adalah membentuk suatu tim advokasi syari’at Islam yang akan membangun kordinasi dengan legislatif dan lembaga-lembaga advokasi sipil seperti Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dalam upaya melakukan peran kontrol atas kebijakan eksekutif. Melalui tahapan ini, para santri bisa dibekali dengan pengetahuan proses advokasi agar tindakan yang kelak akan dilakukan berjalan sesuai koridor hukum.

Dengan penguatan kiprah para santri dalam upaya advokasi syari’at Islam di Aceh, kita berharap agar eksekutif konsisten membangun Aceh berdasarkan qanun-qanun syari’at Islam yang telah diberlakukan sehingga mimpi kita menyaksikan Aceh yang baldatun thaybatun qa rabbun ghafur suatu saat akan menjadi kenyataan.  Sesungguhnya, sebagai umat Islam dan rakyat Aceh, kita mewakili warisan peradaban besar.
Kita punya garis peradaban yang berbeda dari bangsa Barat. Sebagai umat Islam, Islam yang kita anut adalah agama yang universal yang mengatur segala tatanan kehidupan, termasuk di persoalan Jinayah tentu saja. Tujuan dari setiap garis perdaban Islam yang bersendikan Alquran dan hadis sesungguhnya meliputi dua kehidupan,  yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Secara konsepsional, ketika ajaran Islam kita jadikan sebagai referensi dalam kehidupan dunia, maka kita telah menyelamatkan kehidupan akhirat.

Teuku Zulkhairi, MA
Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Bekerja di Bidang PD Pontren Kanwil Kemenag Prov. Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com

Dimuat di Harian Serambi Indonesia

Related

Syari'at Islam di Aceh 4886923338156267011

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item