Mendidik dengan Menyentuh Fitrah, Sebuah Metode Terbaik dari Alquran [Book Review]
TUGAS BOOK REVIEW Mata Kuliah Metodologi Tafsir Tarbawi Pengasuh Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA Oleh Teuku Zulkhairi [Mahasiswa...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/03/mendidik-dengan-menyentuh-fitrah-sebuah.html
TUGAS BOOK REVIEW
Mata Kuliah Metodologi Tafsir Tarbawi
Pengasuh Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA
Oleh Teuku Zulkhairi
[Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Islam PPs UIN Ar-Raniry]
BAB II
MANHAJ FITRAH
Manhaj Al-Qur’an dalam menyeru jiwa
manusia adalah manhaj Dzat Yang Maha Tahu tentang rahasianya, Maha Tahu tentang
hal-hal yang merusak dan memperbaikinya, Maha Melihat terhadap sisi-sisi
kekuatan dan kelemahannya. Allah Swt berfirman:
“Dan
rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala
isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang
kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Mahahalus lagi Maha
Mengetahui”.
[QS.
Al-Mulk: 13-14]
Tugas pertama Al-Qur’an dalam
mentarbiyah jiwa adalah mengembalikannya kepada fitrahnya yang murni dan
membersihkan jiwa tersebut dari berbagai kotoran dan noda karena milieu, khufat
atau taklid.
Dasar bagi fitrah ini adalah Tauhid
dimana jiwa mempunyai watak mengenal Rabb-nya, lalu terkadang ditutupi oleh Ghaflah (lalai), lingkungan dan taklid.
Sekalipun tertutupi, namun benih ma’rifah
(pengenalan) akan Rabbnya tetap ada dalam jiwa, sehingga tidak ada jalan lain
baginya kecuali dengan berlepas diri dari selubung yang menutupinya.
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu adam keturunan
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman),
"Bukankah Aku ini Tuhanmu"? Mereka menjawab, "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah
terhadap ini," atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya nenek
moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah
keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan
kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?” [QS. al-A’raf: 172-173]
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” [QS. ar-Rum:
30]
Dalil bagi fitrah ini adalah bahwa
manusia dengan tabiatnya merasa butuh kepada kekuatan tertentu, kepada
bimbingan dan ketenangan. Semua itu merupakan perasaan terdalam yang ada dalam
jiwa manusia. Maka setiap bentuk penghambaan dan pengkudusan kepada selain
Allah Swt tidak lain merupakan jalan untuk memenuhi tuntutan fitrah ini, hanya
saja jalan yang ditempuhnya salah dan
menyimpang, bukan jalan yang lurus (Sirathal
Mustaqiem].
Komunikasi penghambaan ini dirasakan
oleh manusia. Fitrah ini tampak begitu bersih dalam jiwanya ketika ia
membutuhkannya, yaitu di saat terkena musibah dan cobaan.
“Dan barang siapa yang buta
(hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan buta (pula) dan
lebih tersesat dari jalan (yang benar).” [QS.
al-Isra; 72]
- Tentang
Jagat Raya
Al-Qur’an
menyeru kita untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan di bumi,
dan menjadikan jagad raya sebagai objek untuk berfikir, sebagai buku ilmu
pengetahuan, dan sebagai bukti atas kesatuan system dan undang-undang. Ketika
mata qalbu kita terbuka untuk melihat sebagian hakikat alam, maka kita akan
merasakan bahwa ala mini berada dalam ketaraturan dan kerapian yang mutlak,
berada dalam keindahan dan keserasian yang mengagumkan.
Dr
Charles Stainmith berkata: “Dalam bidang spiritual akan terjadi
penemuan-penemuan spektakuler. Akan datang saat di mana manusia belajar bahwa
hal-hal yang bersifat materi tidak akan memberikan kebahagiaan, dan bahwa
hal-hal tersebut sedikit pengaruhnya dalam menjadikan laki-laki dan perempuan
mampu melahirkan karya cipta. Saat itu para ilmuan dunia akan merubah
pekerjaannya menjadi mengenal Allah dan shalat. Bilsa saat tersebut tiba, maka
seorang ilmuan dari satu generasi akan menyaksikan berbagai kemajuan yang lebih
banyak dari apa yang berhasil dicapai oleh empat generasi sebelumnya.[1]
Allah
Swt berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” [QS.
Fushilat: 53]
BAB III
MANHAJ MA’RIFATULLAH
(Mengenal Allah Swt)
Manhaj Al-Qur’an dalam mentarbiyah tegak
di atas dasar iman terhadap hakikat keesaan Ilah yang disembah (Allah Swt),
terhadap kesatuan dalam alam, terhadap kesatuan system dan undang-undang yang
meliputi seluruh apa yang ada di jagad raya ini, dan terhadap kesatuan dari
sebuah kekuatan yang darinya terbit dan kepadanya tunduk system dan
undang-undang itu.
Juga dilandasi oleh prinsip kesatuan
bangsa-bangsa yang mengimani agama ini, kesatuan mansya’ (awal kelahiran) dan mashir
(akhir kehidupan) yang merupakan kesatuan universal yang menjadi dasar
akidah dalam al-Qur’an. Suatu kesatuan yang menetapkan makna Wahdaniyat (keesaan Allah Swt)secara
sempurna dan membingkai hubungan antara manusia dengan Rabb-nya, dengan alam
dan seluruh isinya.
Iman terhadap kesatuan yyang menjadi
prinsip utama ini adalah jalan bagi bangkitnya kekuatan jiwa yang tersembunyi
untuk melepaskan diri dari keinginan-keinginan nafsunya, dan mengalahkan
faktor-faktor yang melemahkannya menuju keluhuran.
Wahdaniyat
Allah
Swt merupakan fitrah yang harus diberikan definisinya yang jelas. Dan jiwa juga
harus mengetahui Rabb-nya dengan shahih, yaitu dengan mengenal asma-Nya,
sifat-sifatNya, dan af’al (perbuatan)-Nya.
Dengan begitu, jiwa pun menjadi tenteram bila berada di dekatNya, seraya
menyembahNya berdasarkan ilmu, cinta dan keyakinan.
Untuk menuju pengatahun (ma’rifat) tentang Rabb-nya seperti ini,
maka Al-Qur’an telah memenuhinya secara optimal, yaitu dengan memberikan
penjelasan secara lengkap dan syamil
(menyeluruh). Maka langkah awal
Al-Qur’an dengan menetapkan Wahdaniyatullah
yang murni yang tidak dihinggapi oleh keraguan atau kesamaran, serta
menafikan dengan tegas dan pasti akan segala sesuatu yang mengandung
kemusyrikan.
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia”
[QS. al-Ikhlas: 1-4]
- Logika
Kekuatan dan Pertolongan
Pertolongan
bagi orang mukmin merupakan hakikat kehidupan dan sunnah Allah yang kekal.
Allah Swt membela para mujahid di jalan-Nya, member mereka petunjuk ke jalan
yang benar, dan menolong orang-orang yang beriman yang terjun dalam pertempuran
demi membela yang haq, seberapapun kekuatan dan jumlah mereka.
Maka
mereka adalah gambaran dari kekuatan Allah, pertolongan dan bantuanNya.
Terkadang Allah Swt menunda pertolonganNya untuk suatu hikmah yang
diinginkanNya sehingga yang tampak adalah kekalahan; adakalanya haq kalah dan
bathil menang.
Dalam
logika al-Qur’an, semua itu merupakan potret – potret kemenangan yang hikmahnya
tidak diketahui oleh manusia. Dan orang mukmin sendiri tidak dituntut hasil,
tetapi mereka dituntut untuk berjalan di atas manhaj al-Qur’an dan
perintah-perintahNya, dan sesudah itu kemenangan adalah urusan Allah Swt. Allah
berbuat sesuai kehendakNya.
"Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." [QS. Muhammad: 7]
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat
demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”.
[QS. Al-Anfal: 17]
- Hakikat
Hidup
Keberadaan
manusia di dunia ini tidaklah terjadi secara kebetulan, melainkan Rabb-nya
telah menciptakannya dan telah meniupkan ruh-Nya padanya.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” [QS. AL-Hijr: 28-29]
- Tujuan
Hidup
Allah
Swt telah menentukan system dan undang-undang yang mengatur keberadaan manusia
di dunia, juga menetapkan tujuannya yang jelas dan tegas, yang sekaligus
mengingat dirinya dengan undang-undang kehidupan. Allah Swt berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembak-Ku(56) Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” [QS.
Adz-Dzariyat: 56-57]
Dengan
pemahaman seperti ini maka hidup menjadi ibadah yang berkesinambungan. Ketika
seseorang mempersepsi hidupnya seperti ini, maka ia akan menjadikan seluruh
hidupnya hanya untuk Allah Swt. Amal perbuatan dan ucapannya adalah shalat dan tasbih. Persepsi yang sama juga mencakup
dirinya, bangsa dirinya, dan bumi tempat tinggalnya, sehingga ia melihat
seluruh bentangan hidup ini dan segala hal yang ada di alam dunia ini sebagai
mihrab yang seluruhnya mengarah bersama dia kepada Allah Swt dengan do’a,
ibadah, dan tasbih (penyucian terhadap Allah Swt).
“Langit yang tujuh, bumi
dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti
tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” [QS. Al-Isra’: 44]
Dengan
persepsi seperti ini maka akan terwujudlah risalah kekhalifahan manusia di muka
bumi. Allah Swt berfirman: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau
hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan
darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia
berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
[QS. al-Baqarah: 30].
- Kesatuan
Umat Beriman
Wahyu
ditutup dengan al-Qur’an, risalah diakhiri dengan Islam, para Rasul dan Nabi
ditutup dengan Muhammad Saw. Semua wahyu adalah satu, semua risalah adalah
sama, semua aqidah adalah satu, umat pun satu, dari Nabi Adam sampai penutup
para Rasul. Al-Qur’an telah mentarbiyah mukmin agar sensitif yang besar dan
sangat prinsipil ini, yaitu fakta bahwa Anda adalah sebagai bagian dari umat
mukmin yang satu.
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama
kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” [QS. Al-Anbiya’: 92]
- Hakikat
Tempat Kembali
Manusia tidak
diciptakan dalam keadaan main-main. Allah Swt berfirman:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
[QS. Al-Mukminun: 115]
Bila penciptaan kita berasal dari Allah,
maka begitu juga akhir kesudahan kita. Allah Swt berfirman: “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit
sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang
pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.”
[QS. Al-Anbiya’: 104]
Dalam mengemukakan dalil tentang masalah
ini, Al-Qur’an tidak hanya menggunakan metode yang memberikan kepuasan pada
akal, tetapi juga mengikuti uslub tarbiyah
yang memadukan seruan terhadap akal (sehingga akal merasa puas) dengan seruan
terhadap perasaan.
“Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi
mereka azab yang menghinakan.” [QS.
Al-Hajj: 57]
Dan Al-Qur’an juga juga menyatakan
perihal adanya penghisaban. Maka tanpanya tarbiyah tidak akan berbuah, perilaku
baik dan buruk dalam hidup tidak berlaku, pekik nurani individu tidak
berfungsi, dan penugasan pun tidak ada artinya.
“(yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya. Dan
bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). [QS. An-Najm: 38-40]
Tarbiyah Iman dengan Manhaj Ma’rifatullah ini dapat mengantarkan
masyarakat Madinah menggapai ufuk yang tinggi, sehingga mati syahid menjadi
cita-cita mereka semua, kematian – bagi orang-orang mukmin saat itu –
diyakininya sebagai kesempatan untuk berjumpa dengan Allah Swt sekaligus
merupakan perpisahan menuju kehidupan yang sarat dengan kemuliaan dan
kesenangan.
BAB 4
MANHAJ ILMU
Manhaj ini merupakan perpanjangan
dari manhaj Ma’rifatullah yang tegak di atas dasar hakikat kesatuan jagad raya
yang sudah dijelaskan sebelumnya, yakni kesatuan ilah yang disembah, kesatuan
system dan undang-undang, kesatuan asal kehidupan dan akhir kehidupan. Ia
merupakan manhaj yang mampu menembus setiap tingkatan akal dan pemahaman karena
ia menyeru akal dan pikirannya.
Ia menjadikan alam ini sebuah buku
yang dipelajari oleh fitrah yang sehat secara langsung, sehingga ia menjadi
tenang dengan ayat (Allah) yang berhasil disibaknya, peirhal adanya kesatuan
Pencipta dan Pengatur, kesatuan undang-undang dan ketetapan, kesatuan asal, dan
akhir kehidupan.
Di atas dasar keimanan terhadap
kesatuan inilah, manhaj Ilmu dalam Al-Qur’an ditegakkan. Karena Iman adalah
dinding yang menjaga ilmu dari penyimpangan dan mempertautkan ilmu denga
sumbernya, sehingga ilmu tersebut dapat merealisasikan risalah kemanusiaan di
bumi, dan tidak menjadi media untuk merusak dan menghancurkan, atau menjadi
kenderaan bagi hawa nafsu.
Ketika risalah Islam tampil menuntun
manusia ke jalan yang lurus, maka ia memberi perhatian yang besar terhadap
ilmu. Bahkan wahyunya yang pertama berisi perintah untuk membaca dan memuji
kedudukan ilmu. Allah swt berfirman:
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” [QS.
Al-‘Alaq: 1-5].
Dan Allah
Swt menurunkan Al-Qur’an untuk membimbing manusia mengenal undang-undang alam
dan menjadi manhaj bagi mereka, yang mengantarkan mereka menuju kematangan dan
jalan yang lurus.
“Dan
sesungguhnya Kami telah mendaangkan sebuah kitab (Alquran) kepada mereka yang
sudah kami jelaskan atas dasar ilmu Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. “ [QS. Al-A’raf: 52]
- Maksud Ilmu dalam Al-Qur’an
- Manhaj Yang Realistis
- Buah dari Manhaj Ilmu Al-Qur’an
- Akibat dari Penyimpangan Ilmu
BAB 5
MANHAJ PEMIKIRAN
- Al-Qur’an
Memerdekakan Akal
Risalah-risalah
terdahulu dalam dakwahnya mengandalkan mukjizat yang dapat disaksikan secara
langsung oleh manusia untuk menarik mereka pada keimanan. Lalu datang Al-Qur’an
dengan manhaj baru yang sesuai dengan kesempurnaan dan akal sehat yang
diinginkan manusia, yaitu manhaj yang merangsang penalaran dan pemikiran, tidak
mengandalkan pemaksaan atau mukjizat, dan terlepas dari setiap ikatan.
Allah
Swt berfirman:
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi
Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan
karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah kami
berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mu`jizat) yang dapat dilihat,
tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda
itu melainkan untuk menakuti. [QS. Al-Isra’: 59]
- Al-Qur’an Memerangi Hawa Nafsu dan Taklid
- Seruan
Al-Qur’an Menalar dan Berfikir
Al-Qur’an
membebaskan akal yang terbelenggu oleh berbagai praduga dan khurafat,
terpenjara oleh aqidah yang rusak dan tidak dapat berkembang di bumi. Al-Qur’an
mengeluarkannya dari keterpurukan dan menyerunya untuk berfikir dan merenungi
ciptaan Allah yang sangat indah, baik di langit maupun di bumi. Al-Qur’an
menjadikan alam sebagai objek bagi akal untuk berfikir, bertadabbur dan
mengambil pelajaran.
Kepada
akal, Al-Qur’an menjelaskan tentang keokohan dan keindahan alam, juga tentang
kesatuan dan system yang menjadi landasan baginya, yang semua itu menjadi bukti
perihal adanya Dzat Yang Maha Kuasa di balik segala sesuatu. Allah Swt
berfirman:
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa
tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan
menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang
ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan
menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya
semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan.
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami
melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang
rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berfikir. [QS.
Ar-Ra’du: 2-4]
- Sejarah dan Manjah Berfikir
- Hak Berijtihad (Berpendapat)
- Hasil dari
Pemikiran Islam
Al-Qur’an
telah membuka lembaran baru sejarah pemikiran umat manusia. Ia – dengan manhaj
ini – mendorong akal untuk berfikir dan menentang keras kebekuan dan taklid.
Dan sebagai buah dari Tarbiyah ini, maka peradaban Islam tampil di atas fondasi
pemikiran yang benar, dimana ilmu pengetahuan yang dikandungnya berkaitan erat
dengan alam dan kehidupan, serta tidak terpisah dari keimanan dan kebenaran.
Maka
hasilnya pun jelas dan real, membuahkan kemajuan dalam kehidupan, menjadikan
umat manusia berpengetahuan, mampu melahirkan berbagai penemuan, dan bisa
mengolah bumi ini dengan baik. Kemajuan yang telah dicapai oleh Sains modern
pun tidak lain karena tegak di atas dasar pemikiran Islam, karena sains modern
tersebut memulainya dari tempat dimana orang-orang Islam sudah lebih dahulu
menemukannya.
Roger
Bacon dan Francis Bacon yang dikenal di Eropa pun pada dasarnya tidak lebih
dari seorang pembawa ilmu dan metode keIslaman ke dunia Masehi-Eropa. Ia tidak
jemu-jemu untuk mengatakan dengan terus terang bahwa mempelajari bahasa Arab
dan ilmu-ilmunya merupakan satu-satunya jalan untuk menuju ilmu pengetahuan yang
sebenarnya, polemik dan perdebatan tentang siapakah peletak dasar metode
empirisme itu merupakan bagian dari upaya untuk melakukan perubahan besar bagi
dasar perdaban Eropa.
Dan
metode empiris milik orang-orang Arab pada masa Bacon itu telah tersebar secara
luas dan banyak orang di penjuru Eropa dengan tekun. Darimana Roger Bacon
mengambil ilmu-ilmu itu? Tidak lain adalah dari Universitas-Universitas Islam
di Andalusia. Pasal ke lima dari bukunya Cepus
Majus yang ditulisnya khusus untuk membahas tentang optical sebenarnya
merupakan salinan dari buku Manazhir
karya Ibnu al-Haisami.[2]
KOMENTAR PENULIS
[REVIEWER]
Yang membedakan antara buku ini
dengan buku-buku pendidikan Islam lain yang sejenisnya adalah pada kemampuan
penulis buku ini yang mampu mengaitkan antara ayat-ayat Tarbiyah (pendidikan) dalam Al-Qur’an yang dengannya Rasulullah Saw
mampu mentarbiyah para Sahabat sehingga menjadi generasi terbaik sepanjang
sejarah. Bahkan, sebelum masuk dalam inti bahasan, penulis buku ini lebih
dahulu menceritakan kisah agung para Sahabat yang dididik langsung oleh
Rasulullah Saw dengan metode Qur’ani (pendekatan Al-Qur’ani). Ini menandakan,
prosesi tarbiyah (pendidikan) yang dijalankan oleh Rasulullah Saw telah
menunjukkan kenerhasilan yang nyata dan produk yang konkrit.
Generasi Shalafusshalih di kalangan
umat Islam adalah suri teladan paripurna tentang sebuah umat yang ideal yang
totalitas hidupnya telah dipersembahkan untuk Islam, sebuah karakter manusia
yang sejatinya beginilah produk yang diharapkan lahir dari proses pendidikan
Islam (at-Tarbiyah al-Islamiyah).
Dalam setiap bahasan, penulis buku ini
mampu memberikan contoh-contoh konkrit yang pernah diimplementasikan oleh para
generasi awal di kalangan Shalafusshalih
hingga generasi emas berikutnya, bahkan juga mampu menjelaskan dimana letak
kerapuhan pendidikan Barat yang gersang akan nilai-nilai yang transcendental.
Lebih dari itu, penempatan Manhaj
Fitrah dan Manjah Ma’rifatullah dalam bab-bab awal kajian buku ini telah mampu
menyusun kerangka dasar yang prinsipil tentang arah dan substansi pendidikan
Islam dalam perspektif Al-Qur’an.
Manhaj Fitrah yang digunakan Al-Qur’an
dalam mentarbiyah mampu mengetuk hati terdalam setiap jiwa manusia untuk
mengakui ke-Esaan Allah Swt serta kelemahan dirinya yang dengannya kemudian
seorang manusia akan berjalan di atas permukaan bumi dengan segala ketundukan
dan kepatuhan atas titah Allah dan RasulNya, serta menggunakan setiap pemberian
Allah Swt seperti akal menjadi energi untuk melakukan berbagai kebaikan dan perubahan.
Kemudian penjelasan Manhaj Ma’rifatullah
mampu menuntun manusia yang mau berfikir tentang Zat Yang Maha Tinggi yang
dengan modal ini seseorang akan senantiasa dituntun dalam jalan Islam. Sebab,
Manhaj Ma’rifatullah sesungguhnya mampu meyakinkan hati dan akal manusia
tentang wujud Dzat Yang Maha Agung. Penjelasan berikutnya pada Bab-bab yang
lain sangat dilandasi oleh Manhaj Fitrah dan Ma’rifatullah ini. Dari persoalan
ilmu hingga bagaimana parameter dalam mengukur kebenaran yang berlandaskan aqidah
yang kuat dan sahih.
Oleh sebab itu, buku ini telah
menyajikan sebuah pendekatan atau metode yang konkrit tentang bagaimana proses Tarbiyah (pendidikan) Islam yang diawali
dengan penyentuhan fitrah kemanusiaan, lalu pengenalan terhadap Dzat Allah Swt
(Ma’rifatullah) lewat berbagai alam ciptaanNya. Dari sini kemudian lahirlah
produk pendidikan yang diharapkan, seperti model-model manusia mulia yang
pernah dibentuk (takwim) oleh
Rasululla Saw, atau lebih jauh dari itu yaitu contoh lahirnya peradaban Islam
yang mewarnai dunia dengan dasar aqidah yang kokoh yang dengannya mampu
memberikan efek perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan.
Satu-satunya kekurangan buku ini adalah
karena buku asli berjudul Minhajul-Qur’an
fit-Tarbiyah ini diterbitkan tanpa kejelasan tempat dan tahun.
[1] Dr Charles Stainmith adalah
fisikawan dan astronom Inggris (1882-1944). Dikutip dari buku Allahu wal-‘Ilmu al-Hadist oleh Abdur
Razzaq Nauval.
[2] Lihat Makinng of Humanity karya
Privolt yang dikutip oleh Dr Muhammad Iqbal dalam bukunya Tajdid at-Tafki
al-Islami fi al-Islam, terj. Abbas Mahmud halaman 148.
TUGAS BOOK
REVIEW
Mata Kuliah Metodologi Tafsir Tarbawi
Pengasuh Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA
Oleh Teuku Zulkhairi
[Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Islam PPs UIN
Ar-Raniry]
Nama Buku:
Manhaj Tarbiyah,
Metode Pembinaan dalam Al-Qur’an
Penerjemah: Nabhani Idris, Lc
Penerbit
Robbani Press, Jakarta, 2003
Penulis Muhammad
Syadid
Judul Buku Asli:
Minhajul-Qur’an fit-Tarbiyah
Penerbit: Darut-Tauzi’ wan-Nasyr al-Islamiyah (Tanpa
Tempat, Tanpa Tahun)
Tanpa Profil dan Biografi