Mendidik dengan Menyentuh Fitrah, Sebuah Metode Terbaik dari Alquran [Book Review]

TUGAS BOOK REVIEW Mata Kuliah Metodologi Tafsir Tarbawi Pengasuh Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA Oleh Teuku Zulkhairi [Mahasiswa...

TUGAS BOOK REVIEW
Mata Kuliah Metodologi Tafsir Tarbawi
Pengasuh Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA

Oleh Teuku Zulkhairi
[Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Islam PPs UIN Ar-Raniry]



BAB II
MANHAJ FITRAH
           
Manhaj Al-Qur’an dalam menyeru jiwa manusia adalah manhaj Dzat Yang Maha Tahu tentang rahasianya, Maha Tahu tentang hal-hal yang merusak dan memperbaikinya, Maha Melihat terhadap sisi-sisi kekuatan dan kelemahannya. Allah Swt berfirman:

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui”.  [QS. Al-Mulk: 13-14]

            Tugas pertama Al-Qur’an dalam mentarbiyah jiwa adalah mengembalikannya kepada fitrahnya yang murni dan membersihkan jiwa tersebut dari berbagai kotoran dan noda karena milieu, khufat atau taklid.

            Dasar bagi fitrah ini adalah Tauhid dimana jiwa mempunyai watak mengenal Rabb-nya, lalu terkadang ditutupi oleh Ghaflah (lalai), lingkungan dan taklid. Sekalipun tertutupi, namun benih ma’rifah (pengenalan) akan Rabbnya tetap ada dalam jiwa, sehingga tidak ada jalan lain baginya kecuali dengan berlepas diri dari selubung yang menutupinya.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu"? Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini," atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?” [QS. al-A’raf: 172-173]
           
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. ar-Rum: 30]

Dalil bagi fitrah ini adalah bahwa manusia dengan tabiatnya merasa butuh kepada kekuatan tertentu, kepada bimbingan dan ketenangan. Semua itu merupakan perasaan terdalam yang ada dalam jiwa manusia. Maka setiap bentuk penghambaan dan pengkudusan kepada selain Allah Swt tidak lain merupakan jalan untuk memenuhi tuntutan fitrah ini, hanya saja jalan yang ditempuhnya salah dan  menyimpang, bukan jalan yang lurus (Sirathal Mustaqiem].

Komunikasi penghambaan ini dirasakan oleh manusia. Fitrah ini tampak begitu bersih dalam jiwanya ketika ia membutuhkannya, yaitu di saat terkena musibah dan cobaan.

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” [QS. al-Isra; 72]



  1. Tentang Jagat Raya

Al-Qur’an menyeru kita untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan di bumi, dan menjadikan jagad raya sebagai objek untuk berfikir, sebagai buku ilmu pengetahuan, dan sebagai bukti atas kesatuan system dan undang-undang. Ketika mata qalbu kita terbuka untuk melihat sebagian hakikat alam, maka kita akan merasakan bahwa ala mini berada dalam ketaraturan dan kerapian yang mutlak, berada dalam keindahan dan keserasian yang mengagumkan.

Dr Charles Stainmith berkata: “Dalam bidang spiritual akan terjadi penemuan-penemuan spektakuler. Akan datang saat di mana manusia belajar bahwa hal-hal yang bersifat materi tidak akan memberikan kebahagiaan, dan bahwa hal-hal tersebut sedikit pengaruhnya dalam menjadikan laki-laki dan perempuan mampu melahirkan karya cipta. Saat itu para ilmuan dunia akan merubah pekerjaannya menjadi mengenal Allah dan shalat. Bilsa saat tersebut tiba, maka seorang ilmuan dari satu generasi akan menyaksikan berbagai kemajuan yang lebih banyak dari apa yang berhasil dicapai oleh empat generasi sebelumnya.[1] 

Allah Swt berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” [QS. Fushilat: 53]


BAB III
MANHAJ MA’RIFATULLAH
(Mengenal Allah Swt)

Manhaj Al-Qur’an dalam mentarbiyah tegak di atas dasar iman terhadap hakikat keesaan Ilah yang disembah (Allah Swt), terhadap kesatuan dalam alam, terhadap kesatuan system dan undang-undang yang meliputi seluruh apa yang ada di jagad raya ini, dan terhadap kesatuan dari sebuah kekuatan yang darinya terbit dan kepadanya tunduk system dan undang-undang itu.

Juga dilandasi oleh prinsip kesatuan bangsa-bangsa yang mengimani agama ini, kesatuan mansya’ (awal kelahiran) dan mashir (akhir kehidupan) yang merupakan kesatuan universal yang menjadi dasar akidah dalam al-Qur’an. Suatu kesatuan yang menetapkan makna Wahdaniyat (keesaan Allah Swt)secara sempurna dan membingkai hubungan antara manusia dengan Rabb-nya, dengan alam dan seluruh isinya.

Iman terhadap kesatuan yyang menjadi prinsip utama ini adalah jalan bagi bangkitnya kekuatan jiwa yang tersembunyi untuk melepaskan diri dari keinginan-keinginan nafsunya, dan mengalahkan faktor-faktor yang melemahkannya menuju keluhuran.

Wahdaniyat Allah Swt merupakan fitrah yang harus diberikan definisinya yang jelas. Dan jiwa juga harus mengetahui Rabb-nya dengan shahih, yaitu dengan mengenal asma-Nya, sifat-sifatNya, dan af’al (perbuatan)-Nya. Dengan begitu, jiwa pun menjadi tenteram bila berada di dekatNya, seraya menyembahNya berdasarkan ilmu, cinta dan keyakinan.

Untuk menuju pengatahun (ma’rifat) tentang Rabb-nya seperti ini, maka Al-Qur’an telah memenuhinya secara optimal, yaitu dengan memberikan penjelasan secara lengkap dan syamil (menyeluruh). Maka langkah awal Al-Qur’an dengan menetapkan Wahdaniyatullah yang murni yang tidak dihinggapi oleh keraguan atau kesamaran, serta menafikan dengan tegas dan pasti akan segala sesuatu yang mengandung kemusyrikan.

Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” [QS. al-Ikhlas: 1-4]


  1. Logika Kekuatan dan Pertolongan
Pertolongan bagi orang mukmin merupakan hakikat kehidupan dan sunnah Allah yang kekal. Allah Swt membela para mujahid di jalan-Nya, member mereka petunjuk ke jalan yang benar, dan menolong orang-orang yang beriman yang terjun dalam pertempuran demi membela yang haq, seberapapun kekuatan dan jumlah mereka.

Maka mereka adalah gambaran dari kekuatan Allah, pertolongan dan bantuanNya. Terkadang Allah Swt menunda pertolonganNya untuk suatu hikmah yang diinginkanNya sehingga yang tampak adalah kekalahan; adakalanya haq kalah dan bathil menang.

Dalam logika al-Qur’an, semua itu merupakan potret – potret kemenangan yang hikmahnya tidak diketahui oleh manusia. Dan orang mukmin sendiri tidak dituntut hasil, tetapi mereka dituntut untuk berjalan di atas manhaj al-Qur’an dan perintah-perintahNya, dan sesudah itu kemenangan adalah urusan Allah Swt. Allah berbuat sesuai kehendakNya.

"Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." [QS. Muhammad: 7]  

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [QS. Al-Anfal: 17]


  1. Hakikat Hidup
Keberadaan manusia di dunia ini tidaklah terjadi secara kebetulan, melainkan Rabb-nya telah menciptakannya dan telah meniupkan ruh-Nya padanya.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.[QS. AL-Hijr: 28-29]
  1. Tujuan Hidup

Allah Swt telah menentukan system dan undang-undang yang mengatur keberadaan manusia di dunia, juga menetapkan tujuannya yang jelas dan tegas, yang sekaligus mengingat dirinya dengan undang-undang kehidupan. Allah Swt berfirman:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembak-Ku(56) Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” [QS. Adz-Dzariyat: 56-57]

Dengan pemahaman seperti ini maka hidup menjadi ibadah yang berkesinambungan. Ketika seseorang mempersepsi hidupnya seperti ini, maka ia akan menjadikan seluruh hidupnya hanya untuk Allah Swt. Amal perbuatan dan ucapannya adalah shalat dan tasbih. Persepsi yang sama juga mencakup dirinya, bangsa dirinya, dan bumi tempat tinggalnya, sehingga ia melihat seluruh bentangan hidup ini dan segala hal yang ada di alam dunia ini sebagai mihrab yang seluruhnya mengarah bersama dia kepada Allah Swt dengan do’a, ibadah, dan tasbih (penyucian terhadap Allah Swt).

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” [QS. Al-Isra’: 44]

Dengan persepsi seperti ini maka akan terwujudlah risalah kekhalifahan manusia di muka bumi. Allah Swt berfirman: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [QS. al-Baqarah: 30].

  1. Kesatuan Umat Beriman

Wahyu ditutup dengan al-Qur’an, risalah diakhiri dengan Islam, para Rasul dan Nabi ditutup dengan Muhammad Saw. Semua wahyu adalah satu, semua risalah adalah sama, semua aqidah adalah satu, umat pun satu, dari Nabi Adam sampai penutup para Rasul. Al-Qur’an telah mentarbiyah mukmin agar sensitif yang besar dan sangat prinsipil ini, yaitu fakta bahwa Anda adalah sebagai bagian dari umat mukmin yang satu.

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” [QS. Al-Anbiya’: 92]

  1. Hakikat Tempat Kembali
Manusia tidak diciptakan dalam keadaan main-main. Allah Swt berfirman:

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” [QS. Al-Mukminun: 115]

Bila penciptaan kita berasal dari Allah, maka begitu juga akhir kesudahan kita. Allah Swt berfirman: “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” [QS. Al-Anbiya’: 104]

Dalam mengemukakan dalil tentang masalah ini, Al-Qur’an tidak hanya menggunakan metode yang memberikan kepuasan pada akal, tetapi juga mengikuti uslub tarbiyah yang memadukan seruan terhadap akal (sehingga akal merasa puas) dengan seruan terhadap perasaan.

Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan.” [QS. Al-Hajj: 57]

            Dan Al-Qur’an juga juga menyatakan perihal adanya penghisaban. Maka tanpanya tarbiyah tidak akan berbuah, perilaku baik dan buruk dalam hidup tidak berlaku, pekik nurani individu tidak berfungsi, dan penugasan pun tidak ada artinya.

“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). [QS. An-Najm: 38-40]

Tarbiyah Iman dengan Manhaj Ma’rifatullah ini dapat mengantarkan masyarakat Madinah menggapai ufuk yang tinggi, sehingga mati syahid menjadi cita-cita mereka semua, kematian – bagi orang-orang mukmin saat itu – diyakininya sebagai kesempatan untuk berjumpa dengan Allah Swt sekaligus merupakan perpisahan menuju kehidupan yang sarat dengan kemuliaan dan kesenangan.

BAB 4
MANHAJ ILMU
           
            Manhaj ini merupakan perpanjangan dari manhaj Ma’rifatullah yang tegak di atas dasar hakikat kesatuan jagad raya yang sudah dijelaskan sebelumnya, yakni kesatuan ilah yang disembah, kesatuan system dan undang-undang, kesatuan asal kehidupan dan akhir kehidupan. Ia merupakan manhaj yang mampu menembus setiap tingkatan akal dan pemahaman karena ia menyeru akal dan pikirannya.
           
            Ia menjadikan alam ini sebuah buku yang dipelajari oleh fitrah yang sehat secara langsung, sehingga ia menjadi tenang dengan ayat (Allah) yang berhasil disibaknya, peirhal adanya kesatuan Pencipta dan Pengatur, kesatuan undang-undang dan ketetapan, kesatuan asal, dan akhir kehidupan.
           
            Di atas dasar keimanan terhadap kesatuan inilah, manhaj Ilmu dalam Al-Qur’an ditegakkan. Karena Iman adalah dinding yang menjaga ilmu dari penyimpangan dan mempertautkan ilmu denga sumbernya, sehingga ilmu tersebut dapat merealisasikan risalah kemanusiaan di bumi, dan tidak menjadi media untuk merusak dan menghancurkan, atau menjadi kenderaan bagi hawa nafsu.
            Ketika risalah Islam tampil menuntun manusia ke jalan yang lurus, maka ia memberi perhatian yang besar terhadap ilmu. Bahkan wahyunya yang pertama berisi perintah untuk membaca dan memuji kedudukan ilmu. Allah swt berfirman:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” [QS. Al-‘Alaq: 1-5].

Dan Allah Swt menurunkan Al-Qur’an untuk membimbing manusia mengenal undang-undang alam dan menjadi manhaj bagi mereka, yang mengantarkan mereka menuju kematangan dan jalan yang lurus.

“Dan sesungguhnya Kami telah mendaangkan sebuah kitab (Alquran) kepada mereka yang sudah kami jelaskan atas dasar ilmu Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. “ [QS. Al-A’raf: 52]

  1. Maksud Ilmu dalam Al-Qur’an
  2. Manhaj Yang Realistis
  3. Buah dari Manhaj Ilmu Al-Qur’an
  4. Akibat dari Penyimpangan Ilmu

BAB 5
MANHAJ PEMIKIRAN

  1. Al-Qur’an Memerdekakan Akal
Risalah-risalah terdahulu dalam dakwahnya mengandalkan mukjizat yang dapat disaksikan secara langsung oleh manusia untuk menarik mereka pada keimanan. Lalu datang Al-Qur’an dengan manhaj baru yang sesuai dengan kesempurnaan dan akal sehat yang diinginkan manusia, yaitu manhaj yang merangsang penalaran dan pemikiran, tidak mengandalkan pemaksaan atau mukjizat, dan terlepas dari setiap ikatan.

Allah Swt berfirman:
Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mu`jizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.  [QS. Al-Isra’: 59]

  1. Al-Qur’an Memerangi Hawa Nafsu dan Taklid
  2. Seruan Al-Qur’an Menalar dan Berfikir
Al-Qur’an membebaskan akal yang terbelenggu oleh berbagai praduga dan khurafat, terpenjara oleh aqidah yang rusak dan tidak dapat berkembang di bumi. Al-Qur’an mengeluarkannya dari keterpurukan dan menyerunya untuk berfikir dan merenungi ciptaan Allah yang sangat indah, baik di langit maupun di bumi. Al-Qur’an menjadikan alam sebagai objek bagi akal untuk berfikir, bertadabbur dan mengambil pelajaran.

Kepada akal, Al-Qur’an menjelaskan tentang keokohan dan keindahan alam, juga tentang kesatuan dan system yang menjadi landasan baginya, yang semua itu menjadi bukti perihal adanya Dzat Yang Maha Kuasa di balik segala sesuatu. Allah Swt berfirman:

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. [QS. Ar-Ra’du: 2-4]

  1. Sejarah dan Manjah Berfikir
  2. Hak Berijtihad (Berpendapat)

  1. Hasil dari Pemikiran Islam

Al-Qur’an telah membuka lembaran baru sejarah pemikiran umat manusia. Ia – dengan manhaj ini – mendorong akal untuk berfikir dan menentang keras kebekuan dan taklid. Dan sebagai buah dari Tarbiyah ini, maka peradaban Islam tampil di atas fondasi pemikiran yang benar, dimana ilmu pengetahuan yang dikandungnya berkaitan erat dengan alam dan kehidupan, serta tidak terpisah dari keimanan dan kebenaran.

Maka hasilnya pun jelas dan real, membuahkan kemajuan dalam kehidupan, menjadikan umat manusia berpengetahuan, mampu melahirkan berbagai penemuan, dan bisa mengolah bumi ini dengan baik. Kemajuan yang telah dicapai oleh Sains modern pun tidak lain karena tegak di atas dasar pemikiran Islam, karena sains modern tersebut memulainya dari tempat dimana orang-orang Islam sudah lebih dahulu menemukannya.

Roger Bacon dan Francis Bacon yang dikenal di Eropa pun pada dasarnya tidak lebih dari seorang pembawa ilmu dan metode keIslaman ke dunia Masehi-Eropa. Ia tidak jemu-jemu untuk mengatakan dengan terus terang bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmunya merupakan satu-satunya jalan untuk menuju ilmu pengetahuan yang sebenarnya, polemik dan perdebatan tentang siapakah peletak dasar metode empirisme itu merupakan bagian dari upaya untuk melakukan perubahan besar bagi dasar perdaban Eropa.

Dan metode empiris milik orang-orang Arab pada masa Bacon itu telah tersebar secara luas dan banyak orang di penjuru Eropa dengan tekun. Darimana Roger Bacon mengambil ilmu-ilmu itu? Tidak lain adalah dari Universitas-Universitas Islam di Andalusia. Pasal ke lima dari bukunya Cepus Majus yang ditulisnya khusus untuk membahas tentang optical sebenarnya merupakan salinan dari buku Manazhir karya Ibnu al-Haisami.[2]


KOMENTAR PENULIS [REVIEWER]

            Yang membedakan antara buku ini dengan buku-buku pendidikan Islam lain yang sejenisnya adalah pada kemampuan penulis buku ini yang mampu mengaitkan antara ayat-ayat Tarbiyah (pendidikan) dalam Al-Qur’an yang dengannya Rasulullah Saw mampu mentarbiyah para Sahabat sehingga menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah. Bahkan, sebelum masuk dalam inti bahasan, penulis buku ini lebih dahulu menceritakan kisah agung para Sahabat yang dididik langsung oleh Rasulullah Saw dengan metode Qur’ani (pendekatan Al-Qur’ani). Ini menandakan, prosesi tarbiyah (pendidikan) yang dijalankan oleh Rasulullah Saw telah menunjukkan kenerhasilan yang nyata dan produk yang konkrit.

Generasi Shalafusshalih  di kalangan umat Islam adalah suri teladan paripurna tentang sebuah umat yang ideal yang totalitas hidupnya telah dipersembahkan untuk Islam, sebuah karakter manusia yang sejatinya beginilah produk yang diharapkan lahir dari proses pendidikan Islam (at-Tarbiyah al-Islamiyah).

Dalam setiap bahasan, penulis buku ini mampu memberikan contoh-contoh konkrit yang pernah diimplementasikan oleh para generasi awal di kalangan Shalafusshalih hingga generasi emas berikutnya, bahkan juga mampu menjelaskan dimana letak kerapuhan pendidikan Barat yang gersang akan nilai-nilai yang transcendental.

            Lebih dari itu, penempatan Manhaj Fitrah dan Manjah Ma’rifatullah dalam bab-bab awal kajian buku ini telah mampu menyusun kerangka dasar yang prinsipil tentang arah dan substansi pendidikan Islam dalam perspektif Al-Qur’an.

Manhaj Fitrah yang digunakan Al-Qur’an dalam mentarbiyah mampu mengetuk hati terdalam setiap jiwa manusia untuk mengakui ke-Esaan Allah Swt serta kelemahan dirinya yang dengannya kemudian seorang manusia akan berjalan di atas permukaan bumi dengan segala ketundukan dan kepatuhan atas titah Allah dan RasulNya, serta menggunakan setiap pemberian Allah Swt seperti akal menjadi energi untuk melakukan berbagai kebaikan dan perubahan.
Kemudian penjelasan Manhaj Ma’rifatullah mampu menuntun manusia yang mau berfikir tentang Zat Yang Maha Tinggi yang dengan modal ini seseorang akan senantiasa dituntun dalam jalan Islam. Sebab, Manhaj Ma’rifatullah sesungguhnya mampu meyakinkan hati dan akal manusia tentang wujud Dzat Yang Maha Agung. Penjelasan berikutnya pada Bab-bab yang lain sangat dilandasi oleh Manhaj Fitrah dan Ma’rifatullah ini. Dari persoalan ilmu hingga bagaimana parameter dalam mengukur kebenaran yang berlandaskan aqidah yang kuat dan sahih.  

Oleh sebab itu, buku ini telah menyajikan sebuah pendekatan atau metode yang konkrit tentang bagaimana proses Tarbiyah (pendidikan) Islam yang diawali dengan penyentuhan fitrah kemanusiaan, lalu pengenalan terhadap Dzat Allah Swt (Ma’rifatullah) lewat berbagai alam ciptaanNya. Dari sini kemudian lahirlah produk pendidikan yang diharapkan, seperti model-model manusia mulia yang pernah dibentuk (takwim) oleh Rasululla Saw, atau lebih jauh dari itu yaitu contoh lahirnya peradaban Islam yang mewarnai dunia dengan dasar aqidah yang kokoh yang dengannya mampu memberikan efek perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan.

Satu-satunya kekurangan buku ini adalah karena buku asli berjudul Minhajul-Qur’an fit-Tarbiyah ini diterbitkan tanpa kejelasan tempat dan tahun.



[1] Dr Charles Stainmith adalah fisikawan dan astronom Inggris (1882-1944). Dikutip dari buku Allahu wal-‘Ilmu al-Hadist oleh Abdur Razzaq Nauval.
[2] Lihat Makinng of Humanity karya Privolt yang dikutip oleh Dr Muhammad Iqbal dalam bukunya Tajdid at-Tafki al-Islami fi al-Islam, terj. Abbas Mahmud halaman 148.







TUGAS BOOK REVIEW
Mata Kuliah Metodologi Tafsir Tarbawi
Pengasuh Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA

Oleh Teuku Zulkhairi
[Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Islam PPs UIN Ar-Raniry]


Nama Buku:
Manhaj Tarbiyah, Metode Pembinaan dalam Al-Qur’an
Penerjemah: Nabhani Idris, Lc
Penerbit
Robbani Press, Jakarta, 2003

Penulis Muhammad Syadid
Judul Buku Asli: Minhajul-Qur’an fit-Tarbiyah
Penerbit: Darut-Tauzi’ wan-Nasyr al-Islamiyah (Tanpa Tempat, Tanpa Tahun)
Tanpa Profil dan Biografi

Related

Pendidikan 3465296214300421772

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item