Proyeksi Syari'at Islam Pasca-Pilkada

PROYEKSI SYARI'AT ISLAM PASCA-PILKADA Oleh Teuku Zulkhairi Tabloid Pikiran Merdeka, 20 Maret 2017 Pemilihan kepala daerah (Pilkada) d...

PROYEKSI SYARI'AT ISLAM PASCA-PILKADA

Oleh Teuku Zulkhairi
Tabloid Pikiran Merdeka, 20 Maret 2017

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh telah berlangsung. Pemimpin telah terpilih. Sekarang, tugas publik selanjutnya adalah bagaimana mengontrol jalannya pemerintahan, termasuk memastikan agar penegakan Syari’at Islam terus berjalan. Sebab, Syari’at Islam telah menjadi prioritas program semua kandidat Pilkada, termasuk yang memenangkan Pilkada.

Kenapa Syari’at Islam harus kita pastikan terus berjalan? Karena ia adalah kekuatan kita untuk bangkit.

Ada kalimat penting dari seorang ulama Aceh yang sangat membekas di pikiran saya untuk membaca konstalasi dan dinamika Pilkada di Aceh, beliau mengatakan: “Jangan sampai kita bertarung seperti di kandang macan. Yang menang dan yang kalah  sama-sama akan di makan macan”.

Penjelasan ulama ini membuka cakrawala saya bahwa saat ini kita sebagai umat Islam sedang menghadapi “perag global” vis a vis antara umat Islam dengan kekuatan yang memeranginya, baik sistem berbentuk kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme yang masuk dalam berbagai tatanan kehidupan dalam berbagai modelnya, maupun sindikat mafia narkoba internasional yang berusaha merusak generasi muda di Aceh dengan narkoba.

Kekuatan ini saat ini “begitu besar”, dimana sudah seharusnya kita merapatkan barisan mennghadapinya, demi keberlangsungan upaya kita umat Islam untuk mengembalikan peradaban Islam yang pernah berjaya.

Siapapun yang memenangkan Pilkada Aceh dan kabupaten lainnya akan kalah apabila kita kalah menghadapi kekuatan global kapitalisme ini.

Jadi tidak ada yang menang jika kita kalah dalam pertarungan global ini. Jika kita kalah dalam pertarungan global ini, maka yang menang akan “dimakan macan”, sedangkan yang kalah apalagi.

Saat ini kita menghadapi serbuan neo kolonialisme dalam berbagai bentuknya, yang kemudian juga merusak tatanan persatuan kita. Inilah sesungguhnya lawan kita.

Dalam bidang ekonomi, kita “terancam” oleh persaingan global ekonomi dunia yang akan berimbas tidak hanya bagi kita di Aceh, tapi juga bagi dunia Islam. Hampir semua yang kita gunakan adalah adalah produk dari luar, mainan anak-anak, telur, pakaian dan banyak lagi merupakan produk-produk luar yang menandakan Aceh begitu lemah dalam pertahanan ekonomi.

Di balik itu, kita juga menghadapi serbuan pemikiran saat dimana yang baik dikesankan menjadi buruk, dan yang buruk dikesankan menjadi baik. Umat Islam yang tertindas di berbagai belahan dunia didiamkan saja oleh dunia internasional, sementara yang menindas dipuja-puji sebagai pahlawan. Sungguh membingungkan kita.

Bahkan, saat ini umat Islam juga menghadapi gelombang Islamphobia yang semakin menjadi-jadi. Lalu, dimana posisi kita untuk terlibat membendung arus kerusakan tersebut?

Di level domestik, negara kita juga menghadapi persoalan yang tidak kalah pelik. Meminjam apa yang disampaikan Panglima TNI Gatot Nurmantyo beberapa bulan lalu di TV One, “saat ini kita ini kita menjadi icaran para kekuatan asing”. 

Ya, saat ini semua mengincar sumber daya alam Indonesia yang melimpah, yang pada akhirnya akan membuat kita menjadi budak-budak mereka di negeri kita sendiri.

Akhir-akhir ini, bangsa kita menghadapi persoalan yang berlipat-lipat. Sungguh berat. Ketidak adilan hukum dipampang dan semakin mencolok. Hutang negara yang semakin melejit yang akan terus menjadi beban anak-anak cucu kita kelak.

Di balik semua persoalan itu, sesungguhnya kita harus betul-betul bersyukur bahwa kita di Aceh umumnya hampir semua kandidat di masa kampanye berlomba-lomba menjadikan “Syari’at Islam” sebagai prioritas utama program dalam rencana kepemimpinan mereka.

Coba perhatikan saja kampanye  di iklan koran-koran lokal Aceh, hampir semua menjadi Syari’at Islam sebagai prioritas utama program mereka jika terpilih, atau setidaknya tetap merupakan salah satu program unggulan.

Di masa kampanye, para kandidat konsisten membangun branding sebagai kandidat yang peduli syari’at Islam dan juga didukung oleh para ulama. Bahkan, yang lebih membahagiakan, para kandidat Pilkada juga dikelilingi orang-orang yang pro Syari’at Islam.

Mari kita bandingkan dengan daerah-daerah lain di luar Aceh. Sangat sedikit yang menjadikan Islam sebagai tema sentral agenda kepemimpinan. Oleh sebab itu, umat Islam tidak perlu bersusah payah lagi untuk menyadarkan para pemimpin atau calon pemimpinnya untuk berjuang implementasikan Syari’at Islam.

Sebab, siapa saja yang tidak memiliki visi ke arah itu, maka mereka pasti akan ditinggalkan. Sungguh ini adalah kemenangan yang sangat nyata bagi masyarakat.

Tinggal masyarakat ke depan bagaimana agar betul-betul menjalankan perannya sebagai pengawas dan pengontrol bagi jalannya Syari’at Islam oleh pemerintah, berdasarkan amanah regulasi yang telah dibuat oleh legislatif dan eksekutif.

Kita tetap berharap bahwa isu Syari’at Islam ke depan akan semakin membesar, dan akan betul-betul menjadi prioritas setiap kepemimpinan.

Aceh yang maju di bawah bingkai Syari’at Islam akan berlawanan dengan tatanan dunia baru yang merusak sendi-sendi kehudupan dan kemanusiaan. Oleh itu, kita berharap bahwa cita-cita Aceh yang maju harus dimulai meskipun dari hal-hal yang paling kecil dahulu sebelum kemudian kita bisa berIslam secara totalitas (kaffah).

Sebab, kaidah fiqh mengatakan, “Apa yang tidak dikerjakan semua, maka jangan ditinggalkan semuanya”. Mari kerjakan apa yang bisa untuk meneguhkan Islam sebagai soko guru dunia, harapan baru bagi peradaban dunia.

Teruskan upaya memakmurkan masjid, syi’ar dakwah, ekonomi Islam yang non ribawi, pendidikan Islam, dan sebagainya sehingga kita berharap agar Allah memberkahi negeri ini ketika kita telah berjalan di jalanNya.

Meskipun Aceh adalah wilayah yang kecil dari luasnya teritorial republik ini, kita berharap akan bisa “memancarkan” cahaya Islam sehingga menjadi mercusuar yang akan menerangi Republik ini yang memang hampir kehilangan arah.

Kita berharap Aceh betul-betul berhasil menjadi kota yang cemerlang dengan peradaban Islamnya, sehingga mampu menarik perhatian dunia untuk mencintai Islam dan belajar kepada kita, seperti dulu di masa para endatu kita.

Indonesia sudah banyak belajar dari kita. Kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinisiasi dari Aceh, maka di Aceh namanya Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Kelahiran BAPPEDA yang juga berawal dari Aceh. Dan bahkan dulu juga Aceh adalah modal bagi republik ini.

Maka saat ini, kita harus memastikan agar Syari’at Islam di Aceh bisa berhasil lebih dulu sehingga bisa menjadi model bagi provinsi lainnya di Indonesia.

Sebab, kita tidak ragu bahwa Syari’at Islam yang kaffah adalah fondasi bagi peradaban. Seperti dijelaskan Daud Rasyid (2010),  setiap hukum produk Syari’ah dilandasi oleh alasan (‘illah/reason) “merealisaskan kemaslahatan” (tahqiq al-mashalih). Inilah salah satu keistimewaan Syarî`at Islam yang tidak dimiliki oleh sistem hukum lainnya.

Dan sebagaimana juga disampikan Prof Al Yasa’ Abubakar(2006), “Penegakan Syari`at Islam setidaknya diharapkan dapat terwujud antara lain; masyarakat Aceh dapat mengeleminir minuman keras, Narkoba, perjudian, pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, korupsi dan berbagai sifat negatif lainnya sampai ke tingkat yang paling rendah, bahkan untuk menghapusnya”.

Atas dasar ini, kita berharap perjuangan menuju implementasi Syari’at Islam secara kaffah terus berlanjut sampai hari kiamat, siapapun yang memimpin Aceh. semoga.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Sekjend PW Badan Koordinasi Mubaligh Indoensia (Bakomubin) Prov. Aceh. Email abu.erbakan@gmail.com

Related

Syari'at Islam di Aceh 7539832093641648559

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item