Pentingnya “Ahlul Hilli wal ‘Aqdi”
Oleh Teuku Zulkhairi Sistem demokrasi pada dasarnya memang membuka peluang bagi terealisasinya berbagai agenda perubahan. Namun demik...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
Sistem
demokrasi pada dasarnya memang membuka peluang bagi terealisasinya berbagai
agenda perubahan. Namun demikian, sistem ini juga membuka kesempatan menuju
kehancuran bagi negara yang mengadopsinya. Banyak negara di dunia terbukti
gagal menerapkan sistem demokrasi ini dengan baik. Misalnya seperti Indonesia
yang pentas demokrasinya selalu diliputi oleh hingar bingar eksistensi para
kaum materialis dan oportunistik yang menjadikan demokrasi sebagai panggung
pertunjukan kebobrokan mereka.
Karena alasan demokrasi, siapa saja dianggap layak menempati pos-pos penting asalkan sanggup menguasai panggung demokrasi. Maka tidak heran jika kemudian mereka mencoba melakukan apa saja untuk menjadi pemenang di pentas demokrasi. Kecurangan, manipulasi, dan bahkan penghilangan nyawa manusia dianggap sebagai sesuatu yang sah. Setelah mereka menguasai panggung demokrasi dan tampil sebagai pemenang, dengan alasan mereka adalah produk-produk demokrasi, berbagai pekerjaan yang menghancurkan negeri ini pun mudah saja dijalankan dan dilestarikan. Kepentingan-kepentingan rakyat terus terabaikan dan kehancuran di berbagai tatanan kehidupan terus mendera bangsa ini. Akhirnya, negara gagal menjamin hak-hak rakyat. Hak untuk berbhineka tunggal ika, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hingga hak menikmati hidup bisa lebih baik Demokrasi seperti ini, meminjam istilah Tgk.H.Yusuf A Wahab, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Bireuen (2012), sebagai demokrasi yang “kebablasan dan lepas kendali”.
Karena alasan demokrasi, siapa saja dianggap layak menempati pos-pos penting asalkan sanggup menguasai panggung demokrasi. Maka tidak heran jika kemudian mereka mencoba melakukan apa saja untuk menjadi pemenang di pentas demokrasi. Kecurangan, manipulasi, dan bahkan penghilangan nyawa manusia dianggap sebagai sesuatu yang sah. Setelah mereka menguasai panggung demokrasi dan tampil sebagai pemenang, dengan alasan mereka adalah produk-produk demokrasi, berbagai pekerjaan yang menghancurkan negeri ini pun mudah saja dijalankan dan dilestarikan. Kepentingan-kepentingan rakyat terus terabaikan dan kehancuran di berbagai tatanan kehidupan terus mendera bangsa ini. Akhirnya, negara gagal menjamin hak-hak rakyat. Hak untuk berbhineka tunggal ika, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hingga hak menikmati hidup bisa lebih baik Demokrasi seperti ini, meminjam istilah Tgk.H.Yusuf A Wahab, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Bireuen (2012), sebagai demokrasi yang “kebablasan dan lepas kendali”.
Realitasnya
demokrasi Indonesia memang dikuasai oleh para pemodal, bukan kaum idelis dan
moralis. Memang ada satu dua produk demokrasi yang bersungguh-sungguh bekerja
demi bangsa Indonesia, mengeluarkan rakyatnya dari jurang kepapaan, tapi bisa
dicatat bahwa jumlah mereka sangat sedikit. Dalam setiap perdebatan wacana hak
menyatakan pendapat di parlemen, misalnya dalam kasus hak angket mafia pajak,
kasus century, dan sebagainya, suara-suara yang memihak rakyat dikalahkan saat
voting pengambilan keputusan. Kepentingan rakyat dipasung demi menjaga
kewibawaan pihak penguasa. Potret demokrasi lepas kendali membawa Indonesia
menjadi negara yang gagal. Kasus tindak pidana korupsi, penipuan, pembunuhan
dan berbagai tindak pidana lainnya terus saja dilestarikan. Alhasil, rakyat pun
terus dalam kenestapaan panjangnya.
Paradoks demokrasi
Demokrasi
yang berlaku di Aceh merupakan bagian dari tatanan demokrasi Indonesia yang
semenjak diterapkan di era reformasi, faktanya terbukti gagal membawa bangsa
ini menuju kesejahteraan. Meminjam istilah Rizal Ramli(2010), “demokrasi di
negara kita telah berubah wujud dari sekedar demokrasi prosedural menjadi
demokrasi kriminal”. Kondisi demokrasi di Aceh realitasnya telah bablas karena
tidak berdiri diatas fondasi moralitas. Perubahan yang terjadi justru ke arah
yang lebih berbahaya. Demokrasi bukan saja gagal melahirkan elit-elit yang pro
kepentingan rakyat, tapi justru melahirkan elit-elit kriminalis yang demi
tujuan meraih kekuasaan nyawa manusia tidak segan-segan dihilangkan.
Dengan
realitas seperti ini, demokrasi seperti seharusnya sudah sangat layak
dikembalikan diatas bangunan moral. Lantas bagaimana caranya mewujudkan
demokrasi bermoral, apakah harus berpijak ke demokrasi Eropa, Amerika, Iran
atau Turki?. Sebagai sebuah bangsa yang pernah menjadi bangsa besar nomor lima
diantara bangsa-bangsa tersebesar di dunia, Aceh seharusnya memiliki demokrasi
yang berbeda dengan bangsa-bangsa itu. Demokrasi di Aceh tidak mungkin akan
berhasil jika meniru model demokrasi Eropa dan Amerika yang nilai-nilai
moralitas mereka berlandaskan pada rasionalitas terlepas dari realitas beberapa
bangsa Amerika dan Eropa berhasil dengan sistem tersebut. Sedangkan fondasi
moralitas kita pada dasarnya berlandaskan pada moralitas yang sesuai dengan
syari’at Allah meski saat ini fondasi ini telah ditanah dalam-dalam di perut
bumi.
Ahlul hilli wal ‘Aqdi
Demokrasi
di Aceh harus dikembalikan diatas jalur moralitas sehingga bisa memproduksi
eksekutif dan legislatif yang berdiri diatas pijakan moral. Maka dalam kontek
ini, demokrasi Aceh sudah saatnya diterapkan diatas kontrol “ahlul
hilli wal ‘aqdi” sebagai pemegang hak veto agar demokrasi tidak menjadi
bablas dan lepas kendali. Pentingnya peran sentral ulama dalam lembaga Ahlul
hilli wal ‘aqdi ini merupakan
kesimpulan setelah diskusi panjang kami dengan beberapa ulama di Aceh seperti
Tgk.H.Yusuf A.Wahap yang pimpinan Dayah Babussalam Jeunieb. Istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi ini banyak kita temui pada buku-buku siyasah
syar’iyyah, seperti Ahkam Sulthaniyah karya Imam Al-Mawardi dan
Abu Ya’la al-Farra’. Secara bahasa, istilah Ahlul
Halli wal ‘Aqdi terdiri atas tiga kata utama, yakni ahlu, halli, dan ‘aqdi. Kata pertama berarti orang yang
berhak atau memiliki. Kata kedua, halli
berarti pelepasan, penyesuaian, pemecahan, sedangkan ‘aqdi berarti pengikatan atau pembentukan. Dari pengertian secara
bahasa tersebut, An-Najah menyimpulkan pengertian Ahlul Halli wal ‘Aqdi secara istilah sebagai orang-orang yang
berhak membentuk suatu sistem dalam sebuah negara dan membubarkannya kembali
jika dipandang perlu. Sedangkan, Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatwa-Fatwa
Kontemporer Jilid III mengartikan Ahlul
Halli wal Aqdi sebagai para penyelesai masalah dan kesepakatan.
Beberapa
ulama lain mengartikannya sebagai lembaga legislatif. Tapi An-Nawawi mengartikan adalah para ulama, para pemuka
masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan
rakyat. Artinya, dalam lembaga Ahlul hilli wal ‘aqdi ulama
memiliki peran sentral dalam mengawali arah perubahan bangsa. Dengan
demikian bisa dipahami bahwa Ahlul hilli wal ‘aqdi merupakan sebuah
lembaga dimana para ulama dan para ilmuan memiliki otoritas untuk berkumpul dan
bermusyawarah dalam rangka menentukan arah demokrasi yang dijalankan agar sesuai
dengan prinsip Islam. Otoritas lembaga ini sejalan dengan pesan yang bisa
dibaca dari hadits Muhammad Rasulullah Saw, bahwa “Tiang tegaknya dunia itu ada
empat perkara yaitu, Pertama, ilmunya para ulama. Kedua,
Pemerintahan yang adil. Ketiga, Kedermawanan orang-orang kaya. Dan keempat,
Do’anya orang-orang fakir”. Kalau tidak dengan ilmu para
ulama maka binasalah orang-orang bodoh. Dan kalau tidak ada keadilan dari
orang-orang yang memegang kekuasaan, niscaya manusia saling memakan manusia
lain bagaikan serigala memakan domba. Begitu juga tanpa kedermawanan
orang-orang kaya, maka binasalah orang-orang fakir. Dan jikalau tanpa doa
orang-orang fakir, hancurlah langit dan bumi.
Hadist
ini menyiratkan bahwa para ulama mesti terlibat secara penuh dalam arus
perubahan dan perbaikan bangsa. Posisi ulama seharusnya tidak memada
sebagaimana peran Majlis Ulama Indonesia(MUI) atau Majlis Permusyawaratan Ulama
(MPU) Aceh dengan kiprahnya seperti saat ini yang peran-perannya begitu
terbatas, sehingga kebinasaan ‘orang-orang bodoh’ dalam praktik demokrasi
kriminalistik menjadi tidak terelakkan. Lembaga ulama semacam ini terbukti
tidak bisa berbuat banyak dihadapan praktik demokrasi prosedural yang tidak
bermoral yang dijalankan oleh elit-elit bangsa ini. Maka, mestinya posisi ulama
harus dikembalikan sebagai bagian dari sistem negara yang memiliki fungsi
sebagaimana dijelaskan oleh Rasulllah sebagai pilar pertama tegaknya dunia yang
beradab. Ulama harus tampil sebagai pemegang hak veto dalam menjalankan sistem
demokrasi. Sekarang, tinggal ulama sendiri yang bersedia mereposisikan
perannya, ataukan mungkin sudah cukup hanya sekedar lembaga fatwa semata yang
tidak memiliki efek perubahan yang besar bangsa ini. Wallahu a’lam
bishshawab.