Pentingnya “Ahlul Hilli wal ‘Aqdi”

Oleh Teuku Zulkhairi Sistem demokrasi pada dasarnya memang membuka peluang bagi terealisasinya berbagai agenda perubahan. Namun demik...


Oleh Teuku Zulkhairi
Sistem demokrasi pada dasarnya memang membuka peluang bagi terealisasinya berbagai agenda perubahan. Namun demikian, sistem ini juga membuka kesempatan menuju kehancuran bagi negara yang mengadopsinya. Banyak negara di dunia terbukti gagal menerapkan sistem demokrasi ini dengan baik. Misalnya seperti Indonesia yang pentas demokrasinya selalu diliputi oleh hingar bingar eksistensi para kaum materialis dan oportunistik yang menjadikan demokrasi sebagai panggung pertunjukan kebobrokan mereka.
Karena alasan demokrasi, siapa saja dianggap layak menempati pos-pos penting asalkan sanggup menguasai panggung demokrasi. Maka tidak heran jika kemudian mereka mencoba melakukan apa saja untuk menjadi pemenang di pentas demokrasi. Kecurangan, manipulasi, dan bahkan penghilangan nyawa manusia dianggap sebagai sesuatu yang sah. Setelah mereka menguasai panggung demokrasi dan tampil sebagai pemenang, dengan alasan mereka adalah produk-produk demokrasi, berbagai pekerjaan yang menghancurkan negeri ini pun mudah saja dijalankan dan dilestarikan. Kepentingan-kepentingan rakyat terus terabaikan dan kehancuran di berbagai tatanan kehidupan terus mendera bangsa ini. Akhirnya, negara gagal menjamin hak-hak rakyat. Hak untuk berbhineka tunggal ika, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hingga hak menikmati hidup bisa lebih baik Demokrasi seperti ini, meminjam istilah Tgk.H.Yusuf A Wahab, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Bireuen (2012), sebagai demokrasi yang “kebablasan dan lepas kendali”.
Realitasnya demokrasi Indonesia memang dikuasai oleh para pemodal, bukan kaum idelis dan moralis. Memang ada satu dua produk demokrasi yang bersungguh-sungguh bekerja demi bangsa Indonesia, mengeluarkan rakyatnya dari jurang kepapaan, tapi bisa dicatat bahwa jumlah mereka sangat sedikit. Dalam setiap perdebatan wacana hak menyatakan pendapat di parlemen, misalnya dalam kasus hak angket mafia pajak, kasus century, dan sebagainya, suara-suara yang memihak rakyat dikalahkan saat voting pengambilan keputusan. Kepentingan rakyat dipasung demi menjaga kewibawaan pihak penguasa. Potret demokrasi lepas kendali membawa Indonesia menjadi negara yang gagal. Kasus tindak pidana korupsi, penipuan, pembunuhan dan berbagai tindak pidana lainnya terus saja dilestarikan. Alhasil, rakyat pun terus dalam kenestapaan panjangnya.
Paradoks demokrasi
Demokrasi yang berlaku di Aceh merupakan bagian dari tatanan demokrasi Indonesia yang semenjak diterapkan di era reformasi, faktanya terbukti gagal membawa bangsa ini menuju kesejahteraan. Meminjam istilah Rizal Ramli(2010), “demokrasi di negara kita telah berubah wujud dari sekedar demokrasi prosedural menjadi demokrasi kriminal”. Kondisi demokrasi di Aceh realitasnya telah bablas karena tidak berdiri diatas fondasi moralitas. Perubahan yang terjadi justru ke arah yang lebih berbahaya. Demokrasi bukan saja gagal melahirkan elit-elit yang pro kepentingan rakyat, tapi justru melahirkan elit-elit kriminalis yang demi tujuan meraih kekuasaan nyawa manusia tidak segan-segan dihilangkan.
Dengan realitas seperti ini, demokrasi seperti seharusnya sudah sangat layak dikembalikan diatas bangunan moral. Lantas bagaimana caranya mewujudkan demokrasi bermoral, apakah harus berpijak ke demokrasi Eropa, Amerika, Iran atau Turki?. Sebagai sebuah bangsa yang pernah menjadi bangsa besar nomor lima diantara bangsa-bangsa tersebesar di dunia, Aceh seharusnya memiliki demokrasi yang berbeda dengan bangsa-bangsa itu. Demokrasi di Aceh tidak mungkin akan berhasil jika meniru model demokrasi Eropa dan Amerika yang nilai-nilai moralitas mereka berlandaskan pada rasionalitas terlepas dari realitas beberapa bangsa Amerika dan Eropa berhasil dengan sistem tersebut. Sedangkan fondasi moralitas kita pada dasarnya berlandaskan pada moralitas yang sesuai dengan syari’at Allah meski saat ini fondasi ini telah ditanah dalam-dalam di perut bumi.
Ahlul hilli wal ‘Aqdi
Demokrasi di Aceh harus dikembalikan diatas jalur moralitas sehingga bisa memproduksi eksekutif dan legislatif yang berdiri diatas pijakan moral. Maka dalam kontek ini, demokrasi Aceh sudah saatnya diterapkan diatas kontrol  “ahlul hilli wal ‘aqdi” sebagai pemegang hak veto agar demokrasi tidak menjadi bablas dan lepas kendali. Pentingnya peran sentral ulama dalam lembaga Ahlul hilli wal ‘aqdi ini merupakan kesimpulan setelah diskusi panjang kami dengan beberapa ulama di Aceh seperti Tgk.H.Yusuf A.Wahap yang pimpinan Dayah Babussalam Jeunieb.  Istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi ini banyak kita temui pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti Ahkam Sulthaniyah karya Imam Al-Mawardi dan Abu Ya’la al-Farra’. Secara bahasa, istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi terdiri atas tiga kata utama, yakni ahlu, halli, dan ‘aqdi. Kata pertama berarti orang yang berhak atau memiliki. Kata kedua, halli berarti pelepasan, penyesuaian, pemecahan, sedangkan ‘aqdi berarti pengikatan atau pembentukan. Dari pengertian secara bahasa tersebut, An-Najah menyimpulkan pengertian Ahlul Halli wal ‘Aqdi secara istilah sebagai orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem dalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu. Sedangkan, Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid III mengartikan Ahlul Halli wal Aqdi sebagai para penyelesai masalah dan kesepakatan.
Beberapa ulama lain mengartikannya sebagai lembaga legislatif. Tapi An-Nawawi mengartikan adalah para ulama, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat. Artinya, dalam lembaga Ahlul hilli wal ‘aqdi  ulama memiliki peran sentral dalam mengawali arah perubahan  bangsa.  Dengan demikian bisa dipahami bahwa Ahlul hilli wal ‘aqdi merupakan sebuah lembaga dimana para ulama dan para ilmuan memiliki otoritas untuk berkumpul dan bermusyawarah dalam rangka menentukan arah demokrasi yang dijalankan agar sesuai dengan prinsip Islam. Otoritas lembaga ini sejalan dengan pesan yang bisa dibaca dari hadits Muhammad Rasulullah Saw, bahwa “Tiang tegaknya dunia itu ada empat perkara yaitu, Pertama, ilmunya para ulama. Kedua, Pemerintahan yang adil. Ketiga, Kedermawanan orang-orang kaya. Dan keempat, Do’anya orang-orang fakir”.  Kalau tidak dengan ilmu para ulama maka binasalah orang-orang bodoh. Dan kalau tidak ada keadilan dari orang-orang yang memegang kekuasaan, niscaya manusia saling memakan manusia lain bagaikan serigala memakan domba. Begitu juga tanpa kedermawanan orang-orang kaya, maka binasalah orang-orang fakir. Dan jikalau tanpa doa orang-orang fakir, hancurlah langit dan bumi.
Hadist ini menyiratkan bahwa para ulama mesti terlibat secara penuh dalam arus perubahan dan perbaikan bangsa. Posisi ulama seharusnya tidak memada sebagaimana peran Majlis Ulama Indonesia(MUI) atau Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan kiprahnya seperti saat ini yang peran-perannya begitu terbatas, sehingga kebinasaan ‘orang-orang bodoh’ dalam praktik demokrasi kriminalistik menjadi tidak terelakkan. Lembaga ulama semacam ini terbukti tidak bisa berbuat banyak dihadapan praktik demokrasi prosedural yang tidak bermoral yang dijalankan oleh elit-elit bangsa ini. Maka, mestinya posisi ulama harus dikembalikan sebagai bagian dari sistem negara yang memiliki fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Rasulllah sebagai pilar pertama tegaknya dunia yang beradab. Ulama harus tampil sebagai pemegang hak veto dalam menjalankan sistem demokrasi. Sekarang, tinggal ulama sendiri yang bersedia mereposisikan perannya, ataukan mungkin sudah cukup hanya sekedar lembaga fatwa semata yang tidak memiliki efek perubahan yang besar bangsa ini. Wallahu a’lam bishshawab.


Related

Ruang Politik 3560722058452904288

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item