Redefinisi Nasionalisme Aceh
Oleh Teuku Zulkhairi - MENJELANG Pilkada Aceh 2012 lalu, SAYA pernah membaca sebuah kalimat yang cukup provokatif dan intimidatif saat ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2012/05/redefinisi-nasionalisme-aceh.html
Oleh Teuku Zulkhairi - MENJELANG Pilkada Aceh 2012 lalu, SAYA pernah membaca sebuah kalimat
yang cukup provokatif dan intimidatif saat kampanye salah satu Partai Lokal di Aceh,
dengan tulisan: “Selain Partai A, nyan mandum gob”. Dalam bahasa Indonesia
bisa dipahami jika maksud kalimat tersebut adalah bahwa “selain partai
tersebut, mereka bukan orang Aceh”. Saya mencoba memahami bahwa kalimat
tersebut adalah wujud dari adanya nasionalisme tingkat tinggi kelompok
tersebut. Tepatnya, nasionalisme keacehan yang membara.
Semangat seperti itu harus terus dipelihara dalam rangka menyukseskan berbagai agenda pembangunan bangsa dan agama. Semangat mencintai tanah air yang tinggi jika dikelola dengan baik akan menjadi sebuah kekuatan besar dalam mewujudkan perubahan. Tentu itu sebuah energi positif. Namun demikian, semangat ini harus senantiasa diluruskan agar tetap dalam jalur serta dijaga agar selalu sesuai dengan semangat dan prinsip Islam.
Semangat seperti itu harus terus dipelihara dalam rangka menyukseskan berbagai agenda pembangunan bangsa dan agama. Semangat mencintai tanah air yang tinggi jika dikelola dengan baik akan menjadi sebuah kekuatan besar dalam mewujudkan perubahan. Tentu itu sebuah energi positif. Namun demikian, semangat ini harus senantiasa diluruskan agar tetap dalam jalur serta dijaga agar selalu sesuai dengan semangat dan prinsip Islam.
Dalam kontek Aceh, jika nasionalisme keacehan oleh sebuah kelompok hanya dimaknai sebagai emosi individu atau publik di atas satu landasan persaudaraan teritorial, golongan (chauvistik), sejarah di mana golongan ini merasa lebih unggul, atau lebih Aceh dari kelompok atau lain yang berbeda demi target politis yang ingin dicapai. Maka nasionalisme semacam ini dipastikan akan menimbulkan perpecahan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme ke-Acehan semacam ini pada akhirnya juga menciptakan jurang dengan nasionalisme Islam yang dibangun atas dasar iman dan akidah.
Dalam sejarahnya, absennya keimanan dari rumusan nasionalisme di dunia Islam telah menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Alquran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal. Sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).
Nasionalisme berasal dari kata-kata nation yang berarti bangsa. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat-istiadat. Sedangkan dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk pada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam (Badri Yatim, 1999).
Sedangkan dari pendapat berbagai pakar lainnya, bisa disimpulkan bahwa nasionalisme secara konseptual memiliki makna yang beragam. Ada yang mengartikan nasionalisme sebagai (1) culturnation dan staatnation; (2) loyalitas (etnis dan nasional) dan keinginan menegakkan negara; (3) identitas budaya dan bahasa, dan sebagainya. Nasionalisme berbeda dengan Chauvisnisme (Fanatisme yang berlebihan).
Kembali pada kalimat yang intimidatif yang mengawali tulisan ini, hemat penulis, nasionalisme semacam ini termasuk ke dalam chauvistik karena merasa dirinyalah yang paling ‘Aceh’, paling berhak memimpin Aceh dan pada saat yang bersamaan mengangap kelompok lain sebagai ‘bukan orang Aceh’. Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar.
Spirit ini telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Dan dengan demikian nasionalisme semacam ini bisa disebut sebagai nasionalisme ala kaum jahiliyah. Karena dibangun tidak atas dasar nilai-nilai imam dan akidah. Dan ini tentu harus diluruskan. Bahwa nasionalisme Aceh harus dibangun atas bangunan iman dan akidah Islam. Nasionalisme yang dibangun atas nilai-nilai iman dan akidah tidak akan membuat seseorang merasa dirinya lebih hebat dari orang lain, paling Aceh, paling berhak memimpin Aceh.
Lebih-lebih, jika nasionalisme keacehan tersebut muncul dengan target politis yang jika tidak mengakomodir kepentingan Islam. Rasulullah memberikan peringatan keras bagi nasionalisme model ini: “Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada Ashabiyah (Chauvitisme), dan bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah, dan bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.” (HR. Abu Dawud).
Imam Hasan Al-Banna juga memberikan warning tegas terhadap prinsip nasionalisme seperti model yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Arah dan maksud para penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain, kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris: 1999).
Nasionalisme Islam sejatinya juga menghimpun nasionalisme keacehan. Sebab, cinta kepada tanah air juga merupakan ajaran Islam. Namun, cinta kepada tanah air ini jangan justru menjadikan kita sebagai umat Islam menjadi terpecah belah. Nasionalisme Islam berbasis pada iman dan akidah, bukan hanya geografis, partai, bahasa maupun etnis. Karenanya nasionalisme Islam bermakna luas, tidak sempit. Islam mendukung nasionalisme bila ia berdampak pada kemaslahatan ummat. Sedangkan unsur negatif dari nasionalisme (ekstrem) ditolak oleh Islam.
Ciri-ciri nasionalisme dalam pandangan Islam sesuai pemikiran Al-Banna, yakni: Pertama, bangga dengan penisbatan dalam hal nasionalisme dan sejarah, serta penapaktilasan salafusaleh oleh generasi muda. Kedua, skala prioritas perhatian nasionalisme pada lahirnya kebaikan untuk semua. Ketiga, memerangi kebanggaan atas etnis, kebangsaan, dan trandisi jahiliah. Keempat, fokus nasionalisme kita pada loyalitas yang utuh kepada Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman (Abdul Hamid Al-Ghazali, 200: 2001).
Jadi, nasionalisme Aceh adalah nasionalisme yang tidak chauvistik (ashabiyah) dan juga tidak menyebabkan masyarakat Aceh terkotak-kotak dengan pandangannya, merupakan nasionalisme yang mengikat semua manusia dengan ikatan akidah. Ikatan dan hubungan akidah lebih kokoh dibanding ikatan darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal ini bisa terjadi karena hubungan akidah memberikan kesempatan bagi semua bangsa tergabung dalam satu ikatan “umat Islam” yang manusiawi.
Note: Tulisan ini telah dimuat di harian serambi Indonesia. Lihat: http://aceh.tribunnews.com/2012/05/21/redefinisi-nasionalisme-aceh