Mengurangi Angka Kemiskinan untuk Merawat Perdamaian di Aceh
Oleh : Teuku Zulkhairi. Kemiskinan dimana saja selalu menjadi awal munculnya berbagai persoalan dalam tatanan kehidupan berbangsa d...
Harus diakui, pemberontakan panjang rakyat Aceh melawan pemerintah pusat disebabkan karena faktor ketidakadilan yang berimpilkasi pada meningkatnya angka kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Pemberontakan itu tidak hanya merugikan rakyat Aceh sendiri karena banyaknya korban-korban yang berjatuhan serta tersendatnya berbagai agenda pembangunan di Aceh, tapi juga pemerintah pusat yang harus berusaha ekstra memadamkan api pemberontakan tersebut dengan mengorbankan banyak anggaran dan sekaligus nyawa para prajurit, baik Polisi maupun TNI. Maka jelas bahwa kemiskinan merupakan ancaman bagi perdamaian dan integrasi bangsa.
Potret Kemiskinan Pascadamai
Kita bersyukur dengan adanya perjanjian damai (MoU) antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Pusat di Jakarta yang ditandatangani di Helsinki pada tahun 2005 yang lalu. Perdamaian itu adalah sebuah berkah yang sangat besar dari Allah Swt bagi rakyat Aceh. Namun yang harus diingat, bahwa usia perdamaian Aceh masih sangat belia. Jika dihitung, usia perdamaian Aceh pasca perjanjian damai tersebut baru berumur delapan tahun. Dengan umur yang sangat muda ini, potensi gagalnya proses perdamaian masih sangat terbuka. Maka perlu dicatat, bahwa perdamaian tersebut harus diisi dengan pembangunan dalam rangka mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Aceh karena dipahami bahwa kemiskinan adalah alasan utama terjadinya berbagai persoalan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai catatan, hasil Sensus Nasional Badan Pusat Statistik(BPS) pada tahun 2010 yang lalu telah merekam data perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Hasil sensus itu juga memetakan wilayah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah. Angka kemiskinan tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan sumber alam melimpah. Setelah Papua diperingkat pertama, Aceh berada diurutan ketujuh setelah Nusa Tenggara Barat (NTB).
Meskipun Pemerintah Aceh yang lalu dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf memprediksi angka kemiskinan di Aceh pada 2011 ini turun hingga 969.353 jiwa atau 19,57 persen dari angka dicapai tahun sebelumnya, menyusul peningkatan pembangunan dilakukannya. Persentase penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Aceh pada bulan September 2011 sebesar 19,48 persen. Angka ini menurun dibandingkan dengan Maret 2011 yaitu sebesar 19,57 persen. Selama periode Maret 2011-September 2011, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan menurun 0,66 persen (dari 13,69 persen menjadi 13,03 persen), ironisnya di daerah perdesaan ternyata meningkat 0,14 persen (dari 21,87 persen menjadi 22,01 persen). Dan lebih ironis lagi, daerah-daerah di Aceh yang angka kemiskinan masih banyak di antaranya, Kabupaten Aceh Utara (sebagai lokasi kilang PT Arun yang terkenal sebagai petro dollar), Simeulue, Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Timur.
Angka statistik kemiskinan menurut catatan BPS diatas bukanlah sesuatu yang menggembirakan, masih banyak warga miskin yang harus diberdayakan. Dan upaya mengurangi angka kemiskinan tersebut dengan sendirinya merupakan jawaban atas permasalahan yang terjadi di era pergolakan masyarakat Aceh melawan pemerintah pusat. Jika persoalan ini tidak terselesaikan, potensi munculnya benih-benih kekecewaan yang akan berimplikasi pada perlawanan babak selanjutnya antara rakyat Aceh versus pemerintah pusat akan menjadi sebuah konsekuensi yang sangat terbuka. Ini tentu sesuatu yang tidak kita inginkan.
Revitalisasi Aset Kilang PT Arun
Dalam kondisi seperti ini, aset-aset yang dimiliki Aceh semestinya bisa direvitalisasi keberadaannya untuk menjadi salah satu solusi dalam menampung tenaga kerja lokal Aceh. Terbukanya lahan kerja baru bagi rakyat Aceh sedikit tidaknya akan mengurangi kekecewaan lama yang terpatri dalam jiwa mereka. Disamping itu, terbukanya lahan kerja baru ini pada akhirnya akan mengurangi angka kemiskinan dan sekaligus merawat perdamaian di Aceh. Idealnya, orang-orang yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi tentu saja akan hidup tentram dan jauh dari keinginan untuk berbuat kerusakan.
Maka, disinilah letak urgensitas revitalisasi aset-aset yang dimiliki Aceh. Dalam hal ini, revitalisasi tersebut misalnya dengan alih fungsi kilang PT Arun LNG sebagai salah satu aset terbesar Aceh (khususnya masyarakat Aceh Utara) untuk menjadi terminal gas di Aceh. PT Arun LNG yang dikabarkan akan berhenti beroperasi pasca tahun 2014 nanti, kita yakin jika nanti asetnya dimanfaatkan dengan baik maka akan memberikan dampak kemaslahatan luar biasa bagi masyarakat Aceh dengan catatan para pekerja di terminal gas nanti bisa diprioritaskan bagi pekerja lokal Aceh oleh Pertamina sebagai pihak yang diamanahkan untuk mengelola terminal gas tersebut nantinya.
Pengalihan fungsi kilang gas PT Arun akan berimplikasi pada pengurangan angka kemiskinan di Aceh karena diyakini akan menyedot banyak sekali tenaga kerja sebagaimana diakui oleh banyak tokoh masyarakat Aceh selama ini.
Bahkan, hebatnya, menurut pengakuan beberapa kalangan, fasilitas di PT Arun terutama pembangkit listrik, bila digunakan mampu menghasilkan 220 megawatt listrik yang akan mampu menjawab kebutuhan listrik di Aceh, bahkan konon kabarnya sanggup pula memenuhi kebutuhan listrik di Medan. Ini tentu sesuatu potensi yang luar biasa yang benar-benar harus mendapat perhatian pemerintah pusat. Selain itu, dikabarkan pula bahwa jika aset negara di PT Arun tidak dimanfaatkan, maka negara akan merugi Rp6,3 triliun, serta ditambah lagi dengan kerugian dari anggaran yang akan dikeluarkan lagi jika nanti terminal gas justru dibangun di Medan.
Kalau memang pemerintah pusat serius berpartisipasi merawat perdamaian di Aceh, momentum seperti ini harus dimanfaatkan dengan baik. Rakyat Aceh akan melihat sejauh mana keseriusan pemerintah pusat untuk terlibat dalam upaya mengurangi kemiskinan rakyat Aceh dengan memanfaatkan potensi yang sudah tersedia seperti halnya kilang gas PT Arun LNG ini. Kita berharap agar pemerintah pusat segera memastikan proses alih fungsi Kilang PT Arun menjadi Terminal Gas pasca berakhirnya kontrak penjualan LNG pada 2014 nanti. Pemerintah pusat tidak boleh mengulangi kegagalannya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat Aceh.
Pengalaman pahit dimasa lalu hendaknya menjadi pelajaran bagi para pengambil kebijakan saat ini untuk lebih cermat membaca persoalan sosial kemasyarakatan. Aset-aset Aceh yang memiliki potensi untuk mengurangi kemiskinan seharusnya benar-benar dimanfaatkan dalam upaya mengurangi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat Aceh demi meningkatkan kualitas perdamaian. Semoga!. ***
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Peneliti di Forum Peneliti Aceh (FPA).
Tulisan ini telah dimuat di Harian Analisa. Link: http://www.analisadaily.com/mobile/read/?id=50954