SEDIH, pilu dan malu mendapati kabar tidak adanya syarat bisa baca Alquran dalam Qanun Wali Nanggroe yang disahkan pada Jumat (2/11) pekan lalu. Di tengah upaya membumikan Alquran dalam semua tatanan kehidupan di Aceh, namun upaya untuk mendisfungsikan Alquran justru datang dari lembaga wakil rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Upaya mendisfungsikan Alquran dalam Qanun Wali Nanggroe terlihat dari logika yang disampaikan Abdullah Saleh, seorang anggota DPRA dari Partai Aceh (PA), menjawab pertanyaan; Mengapa kriteria atau poin syarat mampu baca Alquran dalam Qanun Wali Nanggroe yang telah disahkan itu, tidak dicantumkan secara eksplisit?
Menurut Abdullah Saleh, poin syarat bisa baca Alquran bisa merendahkan wibawa, kharisma dan gezah sang Wali Nanggroe, sehingga tidak elok bagi Wali Nanggroe untuk dites baca Alquran di depan khalayak ramai. Tes baca Alquran cukup tersebut secara implisit saja (acehkita.com, 3/11/12).
Sangat menyesatkan
Logika berpikir sebagaimana tertangkap dari pernyataan Abdullah Saleh itu, dalam pandangan saya sangat menyesatkan. Karena posisi Alquran yang merupakan kitab suci dan petunjuk bagi seluruh umat manusia, sesungguhnya jauh lebih tinggi, lebih besar dan lebih penting dari sekadar menjaga wibawa calon Wali Nanggroe dengan segala kekuasaan dan tanggung jawab yang akan diembannya.
Dengan logika yang sehat, kita pasti bisa memahami bahwa hanya ketidaklulusan dalam tes ini saja yang akan merendahkan wibawa calon Wali Nanggroe, karena memang bisa baca Alquran adalah kriteria paling mendasar bagi seorang muslim sehingga seorang muslim yang mampu baca Alquran akan lebih diutamakan menjadi pemimpin bagi umat Islam ketimbang seorang calon pemimpin yang tidak memiliki kemampuan untuk baca Alquran.
Sebaliknya, kemampuan seorang calon pemimpin untuk baca Alquran justru akan meninggikan wibawa dan derajatnya, di sisi Allah swt maupun di hadapan manusia sebagaimana firmanNya dalam Alquran: “Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9).
Bahkan, dalam ayat yang lain Allah swt telah memperjelas dengan firmanNya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujadilah: 11).
Nah, apakah mungkin kita akan melihat Wali Nanggroe terpilih nanti yang kemampuan baca Alqurannya tidak diketahui khalayak ramai? Lalu, bagaimana mungkin wibawa itu akan muncul?
Alquran adalah sumber rujukan seorang muslim dalam menjalani kehidupan yang singkat ini. Dengan kemampuannya membaca Alquran, seorang muslim akan menjadi mudah untuk melakukan ibadah-ibadah lainnya, sehingga darinya bisa terpancar cahaya keimanan, cahaya Islam yang akan menerangi dirinya, keluarga dan atau rakyat yang dia pimpin.
Sebaliknya, ketidakmampuan seorang muslim untuk membaca Alquran menandakan akan sulit baginya untuk berinteraksi dengan Alquran secara langsung, dan apalagi untuk menerjemahkan isinya. Alhasil, syarat bisa baca Alquran bagi seorang pemimpin di level dan tingkatan manapun niscaya sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Lebih lagi, syarat mampu bisa Alquran saat ini sedang sangat digemakan dalam berbagai seleksi bagi siapapun yang berminat untuk mengemban amanah kepemimpinan di berbagai level dan tingkatan. Dan hal itu telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan masyarakat Aceh. Usaha seperti itu juga merupakan syi’ar menuju kehidupan Aceh yang lebih Islami sebagaimana pesan Allah dan RasulNya serta petuah para ulama.
Harus melek Alquran
Di samping itu, adanya syarat mampu baca Alquran dalam berbagai seleksi untuk menduduki sebuah jabatan atau untuk lulus dalam sebuah ujian, akan memberikan sebuah stimulus besar dalam upaya “memberantas” buta huruf/melek Alquran di Aceh.
Dengan menyadari bahwa seseorang tidak mungkin akan bisa lulus dalam sebuah ujian atau menduduki suatu jabatan jika tidak mampu baca Alquran, maka ia akan mempersiapkan diri sedini mungkin. Persiapan-persiapan itu akan mendekatkannya kepada Alquran yang akan membantunya menuju kehidupan Islami, kehidupan yang damai, harmonis.
Adanya tes mampu baca Alquran dalam setiap seleksi kepemimpinan selama ini membuktikan bahwa kita telah maju beberapa langkah dalam hal revitalisasi Alquran dan Hadits sebagai sumber hukum, landasan bergerak dan alasan menuju kebangkitan. Maka, menganggap poin syarat bisa baca Alquran dan di tes di depan publik bisa merendahkan derajat sang calon Wali Nanggroe bisa disebut sebagai upaya untuk kembali ke masa ‘kegelapan’.
Kita berharap statemen Abdullah Saleh tersebut tidak mewaliki Partai Aceh (PA) sebagai sebuah organisasi. Sebab, kepercayaan yang diberikan rakyat Aceh kepada para wakilnya dari PA mewakili segenap harapan terbesar rakyat Aceh sejak beberapa dekade silam. Keberadaan para wakil rakyat dari PA di DPRA mewakil semangat revolusioner dan kerinduan rakyat Aceh untuk kembali ke masa kejayaan. Bahkan, saya bisa menyamai kepemimpinan Partai Aceh di Aceh hampir “setara” fenomenalnya dengan kekuasaan yang diberikan rakyat Mesir kepada Partai Keadilan dan Pembebasan yang lahir dari gerakan perlawanan Ikhwanul Muslimin.
Obsesi utama rakyat Mesir memilih para wakil rakyat dari Ikhwanul Muslimin untuk duduk di legislatif dan eksekutif adalah karena perasaan kerinduan mereka untuk hidup dalam naungan Islam serta terbebas dari berbagai bentuk penindasan dan tirani rezim yang oportunis pimpinan Husni Mubarak yang resistensi terhadap hukum Allah di bumi Mesir.
Di era Husni Mubarak, bahkan kampanye dengan menggunakan slogan “Islam adalah solusi” pun dilarang keras, para aktivis Islam banyak yang ditangkap dan disiksa hal mana yang kemudian melahirkan revolusi rakyat Mesir yang menggulingkan Husni Mubarak dari kursi kekuasaannya.
Harus masuk qanun
Dalam konteks Partai Aceh yang kita anggap sebagai kekuasaan yang lahir pascakonflik, partai ini telah melakukan beberapa kemajuan dalam hal membentuk kehidupan Aceh yang lebih Islami. Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, sebagaimana kita ketahui telah menunjukkan keinginan kerasnya untuk memberantas korupsi di Aceh.
Di samping itu, Wakil Gubernur Aceh yang juga pimpinan Partai Aceh, Muzakir Manaf, di awal kepemimpinannya juga telah melemparkan sebuah wacana yang sangat indah dan urgen, yaitu melakukan pembangunan Aceh yang berbasiskan akhlak dan moralitas, serta akan menjadikan para ulama sebagai pelita dalam membangun Aceh.
Jadi, di bawah kepemimpinan baru Aceh kita telah maju beberapa langkah, sehingga tidak mungkin harus mundur kembali. Tes mampu baca Alquran di hadapan publik, harus harus dicantumkan secara eksplisit dalam Qanun Wali Nanggroe, serta harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Semoga!
* Teuku Zulkhairi, MA, Penulis adalah Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Link: http://aceh.tribunnews.com/2012/11/06/alquran-dan-wibawa-wali-nanggroe