Revitalisasi Kemitraan Masyarakat-Sekolah [Upaya Mencegah ‘Kenakalan Pelajar’]
Revitalisasi Kemitraan Masyarakat-Sekolah (Upaya Mencegah ‘Kenakalan Pelajar’ ) Oleh Teuku Zulkhairi, MA Alumnus Program Studi...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/08/revitalisasi-kemitraan-masyarakat_14.html
Revitalisasi Kemitraan Masyarakat-Sekolah
(Upaya Mencegah ‘Kenakalan Pelajar’)
Oleh Teuku Zulkhairi, MA
Alumnus Program Studi Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry.
Pengembang Kerja Sama Bidang PD Pontren Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh
Kasus penikaman terhadap pelajar, Muhammad Rivaldi, seorang pelajar yang ditikam pelajar lainnya sebagaimana diberitakan harian Serambi Indonesia (28/7), sungguh begitu menyesakkan dada kita. Betapa pelajar kita telah dihinggapi kenakalan yang sungguh kronis. Sebelumnya, masih segar dalam ingatan kita kasus tawuran antar siswa di Banda Aceh yang melibatkan siswa MAN Model dengan siswa dari SMA 12 Banda Aceh (inilah.com, 5/2011).
Berikutnya, tawuran antar siswa SMA 12 dengan siswa MAN Model kembali terjadi pada tahun 2013 hanya oleh sebab yang sangat kecil (medanbisnis.com, 11/10/2013). Di luar Banda Aceh, pertengahan bulan Mei lalu tawuran kembali terjadi antar ratusan siswa dari SMKN 1 Bireuen dengan siswa dari SMAN 2 dari kabupaten yang sama, (Serambi Indonesia, 18/5/2014). Bahkan, kenakalan yang telah menjadi tradisi tahunan siswa-siswi di Aceh adalah merayakan kelulusan Ujian Nasional (UN) secara hura-hura seperti coret-coret seragam sekolah, konvoi urakan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai pendidikan dan syari’at Islam yang berlaku di Aceh.
Ini membuktikan, masyarakat kita bukan hanya terkesan kurang peduli pada persoalan-persoalan besar terkait kenakalan remaja, namun justru terkesan membiarkan. Buktinya, upaya-upaya antisipatif dan preventif masih kurang dilakukan sehingga kenakalan terus saja terjadi. Inilah suatu ironisme besar tentang telah keluarnya masyarakat dari peran dan partisipasinya untuk terlibat dalam pendidikan. Apakah fenomena ini akan terus kita biarkan?
Sementara itu, jelas bahwa kenakalan pelajar akan berpangaruh pada menurunnya kualitas pendidikan. Sebab, pendidikan itu sendiri bertujuan menciptakan peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia (akhlakul fadhilah) (M. Athiyah Al- Abrasyi: 1970). Artinya, jelas bahwa kenakalan siswa adalah kegagalan pendidikan, dan kegagalan pendidikan adalah konsekuensi logis dari kurangnya peran dan partisipasi masyarakat. Ajaran Islam sendiri sebenarnya menitik beratkan tanggung jawab pendidikan yang paling utama adalah pada lembaga keluarga sebagai bagian utama dari sistem bermasyarakat.
Oleh sebab itu, fenomena terjadinya kenakalan pelajar sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari berbagai elemen masyarakat. Apalagi, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah kita juga semakin giat mensosialisasikan pendidikan karakter dimana tujuannya tidak lain adalah melahirkan generasi yang berakhlak, tidak nakal.
Berkurangnya pasrtisipasi masyarakat
Di satu sisi, kenakalan siswa memang memiliki keterkaitan yang sangat jelas dengan peran lembaga pendidikan. Kenakalan siswa lahir sebagai konsekuensi logis dan efek langsung dari kurang berfungsinya lembaga pendidikan dalam melakukan transfer kerpibadian (transfer of personality). Namun, secara tidak langsung, kegagalan lembaga pendidikan ini adalah akibat dari berkurangnya partisipasi masyarakat dalam menyukseskan tujuan dan agenda pendidikan. Sebab, jika peran dan partisipasi masyarakat berjalan maksimal, maka lembaga pendidikan pun akan bisa berperan secara all outdalam mendidik para pelajar menjadi ‘generasi tercerahkan’ yang shalih secara pribadi maupun juga secara sosial.
Dalam perspektif Islam, peran dan tanggung jawab pendidikan pertama sekali berada di pundak keluarga, khususnya sang ayah. Maka dalam Alquran Allah Swt misalnya mengisahkan tentang bagaimana upaya Luqmanul Hakim mendidik anaknya agar tidak menyekutukan Allah Swt sembari memperkenalkan bahwa Syaithan itu adalah musuh yang nyata.
Partisipasi masyarakat, kewajiban Islam
Urgensitas peran dan partisipasi masyarakat dalam mengelola pendidikan misalnya terbaca dari firman Allah Swt,“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…”(QS. Al Hujurat 10). Selain itu, juga ayat berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah, dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS at-Tahrim: 6).
Jadi, dalam Islam masyarakat itu merupakan sebuah bangunan persaudaraan yang saling terikat satu sama lain. Saling mengingatkan, saling menasehati, saling menjaga, saling menjunjung tinggi nilai persaudaraan, saling memberi contoh sehingga terbentuklah tatanan masyarakat yang rukun, damai dan bertaqwa. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Islam juga memandang bahwa sebuah masyarakat yang dijiwai nilai-nilai Islam harus berperan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Inilah kesadaran yang harus digugah dari masyarakat kita.
Menurut Zakiah Drajat (1994), “masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Setiap masyarakat mempunyai cita-cita, peraturan-peraturan dan system kekuasaan tertentu”. Sampai di sini, maka kita melihat bahwa revitaliasi peran masyarakat dalam mencegah ‘kenakalan pelajar’ adalah sebuah keniscayaan mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masyarakat harus menjadi bagian paling strategis dalam membantu lembaga pendidikan meraih target pendidikan yang dicita-citakan.
Sejatinya, diskursus seputar urgensitas peran serta masyarakat dalam pendidikan sebenarnya bukanlah suatu ide yang baru. Berbagai gagasan dan rumusan terkait peran ideal masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah telah disusun oleh banyak pakar. Bahkan, Undang-Undang sendiri sebenarnya telah mengatur dengan sangat jelas perihal peran vital masyarakat dalam pendidikan.
Sebagai contoh, Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 BAB IV yang menegaskan bahwasannya “pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga”. Peran serta masyarakat dalam pendidikan ini meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
Sementara itu, dalam GBHN (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978), berkenan dengan pendidikan dikemukakan antara lain sebagai berikut: “Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah”.
Namun, yang menjadi persoalan selama ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat Aceh dalam berperan serta dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, kita di Aceh masih sangat sedikit kelompok, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan yang betul-betul aktif dalam melakukan upaya-upaya advokasi pendidikan. Jikapun itu, secara kuantitas jumlanya masih sangat sedikit. Lebih dari itu, kita juga kekurangan pengamat pendidikan, yang banyak adalah para pelaku, sehingga apa yang menjadi problema akut dalam dunia pendidikan di Aceh tidak mendapatkan porsi bahasan atau juga kritikan yang memadai yang kemudian diharapkan menjadi bahan evaluasi oleh lembaga pendidikan.
Beberapa tawaran alternstif,
Beberapa alternatif solusi menuju kemitraan Sekolah-Masyarakat, misalnya seperti ditawarkan Ali Imron (Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: 2002) tentang bagaimana mewujudkan peran serta masyarakat dalam menyukseskan agenda-agenda pendidikan. Meskipun terkesan sedikit “radikal”, tawaran alternatif berikut ini nampaknya perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di Aceh, khususnya apabila kita menimbang situasi dunia pendidikan yang sedang kronis, khususnya dalam mencegah terjadinya kenakalan di kalangan pelajar Aceh.
Pertama, menawarkan sanksi atas masyarakat yang tidak mau berpartisipasi. Sanksi demikian dapat berupa hukuman, denda, dan karugian-kerugian yang harus diderita oleh si pelanggar. Kedua, Menawarkan hadiah kepada mereka yang mau berpartisipasi. Hadiah yang demikian berdasarkan kuantitas dan tingkatan atau derajat partisipasinya. Ketiga,Melakukan persuasi kepada masyarakat dalam kebijaksanaan yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan masyarakat sendiri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Keempat, menghimbau masyarakat untuk turut berpartisipasi melalui serangkaian kegiatan. Kelima, Mengaitkan partisipasi masyarakat dengan layanan birokrasi yang lebih baik. Keenam, Menggunakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang mempunyai khalayak banyak untuk ikut serta dalam kebijaksanaan, agar masyarakat kebanyakan yang menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta dalam kebijaksanaan yang diimplementasikan.
Selain beberapa tawaran alternatif di atas, hal bisa dilakukan adalah menyelenggarakan pertemuan rutin pihak lembaga pendidikan dengan masyarakat dan pihak orang tua siswa. Pertemuan itu diharapkan menjadi ajang penyampaian segala progress peserta didik kepada orang tua khususnya dan masyarakat umumnya. Paling tidak, sekali dalam seminggu harus ada pertemuan pihak lembaga pendidikan dengan orang tua peserta didik. Pertemuan rutin ini, selain menjadi ajang penyampaian laporan perkembangan peserta didik, juga bisa menjadi momentum para orang tua untuk belajar sebagaimana gagasan pendidikan holistik religius yang mencita-citakan lembaga pendidikan menjadi ajang pembelajaran bagi semua kalangan.
Dalam amatan penulis, hal ini telah dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan Islam swasta di Banda Aceh seperti PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Bait Qurani Saleh Rahmany di Banda Aceh. Di tempat ini, dalam penelusuran penulis orang tua benar-benar diarahkan untuk betul-betul peduli pada perkembangan pendidikan anak dan proses pembelajarannya. Bahkan, orang tua yang tidak mau mengikuti pengajian pekanan akan mendapat Punishment atau hukuman dari sekolah yaitu dengan membayar sejumlah uang. Dan persyaratan ini harus ditanda tangani sejak di awal orang tua ingin memasukkan anaknya ke PAUD tersebut. Alasannya, banyak orang tua yang beralasan anaknya tidak mau mengaji di rumah, padahal ia sendiri yang tidak bisa atau tidak bagus mengajinya. Jadi, sangat tepat apa yang dilakukan PAUD di atas dalam rangka memaksimalkan peran orang tua dalam pendidikan anak.
Akhirnya, dengan memaksimalkan peran serta dan partisipasi masyarakat, kita berharap agar kasus-kasus kenakalan pelajar tidak terjadi lagi di bumi Aceh. Apalagi, status Aceh yang sedang menerapkan syari’at Islam sehingga sepatutnya benar-benar menuntut kita untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai tempat yang bisa memanusiakan manusia. Lebih dari itu, dengan memaksimalkan partisipasi masyarakat dan menggugah kesadaran mereka, maka fungsi lembaga keluarga sebagai lembaga pendidikan paling awal juga akan terbentuk.
Diharapkan, para orang tua tidak akan melepaskan anaknya ke lembaga pendidikan seperti “anak panah yang keluar dari busurnya”. Mereka (seharusnya) akan merasakan bahwa beban dan peran paling utama dalam mendidik anak-anak adalah di pundak mereka, sebagaimana ajaran Islam mengajarkan demikian. Dan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses pendidikan, masyarakat diharapkan paham bahwa penyelenggaraan pendidikan akan sukses apabila masyarakat seluruhnya telah ikut berpartisipasi. Wallahu a’lam bishshawab.
Tulisan ini dimuat di Harian Rakyat Aceh. Edisi 14 Agustus 2015