Titik Temu Intelektualisme Dayah dan Kampus Oleh Teuku Zulkhairi Tidak bisa dihindari jika sesekali waktu terjadi benturan pemiki...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2015/12/titik-temu-intelektualisme-dayah-dan.html
Titik Temu Intelektualisme
Dayah dan Kampus
Oleh Teuku Zulkhairi
Tidak bisa dihindari jika sesekali waktu terjadi benturan pemikiran antara kalangan dayah di Aceh dengan kalangan akademisi dari kampus (perguruan tinggi). Benturan ini terjadi misalnya bukan saja di ranah individual dan ruang-ruang kecil lainnya dalam struktur formasi kehidupan bermasyarakat, namun juga dalam ruang terbuka yang bisa disaksikan publik secara luas seperti di media massa, media sosial serta pada saat terjadinya berbagai momentum prosesi pengambilan kebijakan. Jika mau dipahami secara positif, benturan ini sejatinya tidak lain merupakan dialog peradaban yang memang tidak bisa dihindari, bahkan juga sebuah keharusan dalam upaya konstruksi ulang sebuah peradaban.
Dengan benturan ini, perkembangan keilmuan di dayah dan kampus akan menemukan arena ujian, proses seleksi dan uji publik dimana pendapat yang paling teruji akan diterima publik sebagai argumen umum serta dianggap sebagai pendapat mainstream (arus utama). Inilah keuntungan yang paling menggembirakan dari efek terjadinya benturan pemikiran dan keilmuan. Oleh sebab itu, dalam rangka mengawal geliat dialog peradaban ini, maka menjadi tugas semua kalangan untuk terus mencari titik temu antara intelektualisme dayah dan kampus sehingga benturan pemikiran tidak mengarah atau dimanfaatkan segelintir pihak untuk tujuan yang jauh dari kerangka peradaban dan nilai-nilai Islam.
Kalangan kampus yang cenderung dipersepsikan sebagai kaum modernis dan perkotaan sebenarnya saling terikat dan terkoneksi dengan kalangan dayah dijuluki sebagai kaum tradisional dan masyarakat desa. Kedua kutub ini sama-sama saling mengisi ruang peradaban dalam berbagai sudutnya. Keduanya memiliki kelebihan dan juga kekurangan masing-masing yang pada saatnya bisa saling menutupi.
Keunggulan dayah dan kampus
Di antara keunggulan sistem pendidikan di dayah adalah metode kajian turast (kitab klasik) dan kontemporer lainnya yang dilakukan secara tuntas. Satu kitab yang dipelajari akan dikaji sampai tuntas sehingga prosesi pengambilan ilmu berlangsung secara menyeluruh. Lebih dari itu, metode pembelajaran secara tallaqi yang diterapkan di dayah niscaya senantiasa mampu menjaga dan menghubungkan sanad atau silsilah keilmuan hingga ke para Sahabat dan Rasulullah Saw. Ini menjaga khazanah keilmuan Islam dari upaya-upaya distorsi sehingga Islam tetap dalam kerangka Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Mereka yang beranggapan kitab-kitab karya ulama klasik yang dikaji di dayah sebagai produk ulama abad pertengahan yang harus dikritisi sesungguhnya juga tidak bisa menunjukkan alasan yang mencerahkan untuk membenarkan anggapan tersebut selain hanya sekedar numpang keren dengan metode filsafat dekonstruksinya Jacques Derrida yang menyeru pada dekonstruksi, termasuk teks-teks karya para ulama dan kitab suci, sebuah metode yang tidak layak diikuti sepenuhnya oleh seorang pelajar Muslim yang dalam adab Islam selalu ditekankan untuk rendah hati di hadapan segudang karya hebat karya para ulama masa silam.
Apalagi, realitasnya kajian turast di dayah juga senantiasa memiliki koneksi dengan perkembangan zaman. Jikapun ada satu dua persoalan problematika dunia modern yang tidak ditemukan dalam kajian turast, maka ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa turast telah ketinggalan zaman. Sesuatu yang perlu disempurnakan bukan berarti sesuatu tersebut telah kehilangan nilai pentingnya.
Sementara itu, tentu saja banyak keunggulan dalam metode pendidikan di Perguruan Tinggi. Dalam proses pembelajaran misalnya, setiap masalah bisa dipecahkan dalam jangka waktu yang relatif cepat dengan cara penulisan makalah dengan membahas masalah terkait dari berbagai sudut pandang dan referensi. Metodologi penelitian yang dibangun juga telah cukup banyak menghasilkan produk-produk pemikiran yang bisa diakses publik serta sangat berguna dalam memecahkan berbagai persoalan kontemporer ummat dewasa ini.
Bahkan lebih dari itu, tercatat, Perguruan Tinggi semacam UIN Ar-Raniry merupakan dapurnya syari’at Islam di Aceh sejak hukum Islam dilegal formalkan pemerintah pusat. Regulasi syari’at Islam yang disusun para akademisi kampus umumnya sesuai dengan aspirasi dan keilmuan di dayah. Pada wacana Bank Aceh Syari’ah misalnya, regulasi bank Aceh Syari’ah yang disusun kalangan akademisi kemudian mendapat dukungan kalangan ulama dayah. Begitu juga saat penyusunan qanun-qanun syari’at Islam yang lain.
Titik temu
Suatu ketika saya mendengar seorang dosen menuturkan, “Seandainya dayah mampu menjawab semua persoalan keummatan maka tidak perlu ada kampus”. Dan pada waktu lain saat mendengar Teungku dayah mengatakan, “sekiranya kampus bisa menjawab semua problematika ummat, maka dayah tidak penting lagi dipertahankan”. Kedua pernyataan ini sesungguhnya tanpa disadari merupakan pembuktian yang nyata adanya titik temu antara intelektualisme dayah dan kampus. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain karena sama-sama memiliki kekurangan dan sama-sama pula memiliki kelebihan.
Namun demikian, titik temu paling atraktif antara intelektualisme dayah dan kampus akan terjadi jika intelektualisme dan segenap kelebihan di dayah terintegrasi dalam pendidikan kampus, dan sebaliknya kelebihan dan metodologi pembelajaran di kampus bisa ditransfer ke dayah-dayah, setidaknya pada dayah-dayah setara Ma’had ‘Aly, tentu dengan tetap mengikuti sistematika keilmuan dasar yang dikembangkan dunia pendidikan dayah sejauh ini.
Kita bersyukur bahwa sejauh ini cukup banyak kalangan dayah yang telah belajar di Perguruan Tinggi serta juga cukup banyak kalangan kampus yang bisa memahami dunia keilmuan di dayah secara baik dan adil, juga banyak intelektual kampus alumnus pendidikan dayah. Munculnya kelompok ini idealnya bisa menjadi jembatan dua peradaban keilmuan di Aceh, antara dayah dan kampus sehingga ke depan kita akan menyaksikan lahirnya sebuah peradaban ideal, munculnya penemuan-penemuan baru yang memberi kemaslahatan untuk kemanusiaan dan turut membantu mengantarkan masyarakat Aceh menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kendatipun demikian, cita-cita mulia seperti ini bukanlah tanpa kendala. Problem utama yang akan tetap muncul adalah jika individu-individu di salah satu dari kedua kutub pendidikan ini tidak mau menyadari dan mengakui kelebihan sistem pendidikan di kutub lain. Inilah yang barangkali persoalan besar bagi ummat sekaligus penyakit yang akan menggerogoti upaya kebangkitan peradaban Aceh. Itu sebab, para ulama Shalafussalih dari kalangan umat Islam senantiasa menyeru para Thalibul ‘Ilmu (penuntut ilmu) untuk tawadhu’, rendah hati dan saling menghargai.
Bahkan, seorang yang berilmu diibaratkan pula dengan tamsilan padi yang jika semakin berisi maka ia semakin menunduk. Inilah yang seharusnya dijaga sehingga jika ada kekurangan dari sistem pendidikan di dayah, maka disampaikan dengan bahasa kasih sayang dan perasaan rendah hati.
Lebih dari itu, sekiranya mampu memberikan solusi konkrit yang bukan hanya pada tataran ide dan gagasan semata, maka hal itu sangatlah dianjurkan. Cukup banyak dayah di Aceh yang telah membuka diri untuk “dipeluk” para intelektual kampus. Misalnya, jika seseorang menawarkan bahwa di dayah harus diajarkan bahasa Inggris dan Arab aktif. Maka baginya dituntut untuk bukan hanya memberi ide, namun juga dituntut perannya untuk mewujudkan gagasan itu, termasuk peran ikhlas secara individu. Aceh butuh intelektual dengan tipical action, bukan sekedar intelektual teoritis.
Begitu juga sebaliknya, sekiranya ada kekurangan dalam sistem pendidikan di kampus, maka marilah ini dipandang sebagai persoalan umat secara umum sehingga guru-guru dan ulama di kampus tidak diposisikan sebagai lawan, apalagi musuh yang harus dicaci. Bukankah Islam mengajarkan kita tentang al-adabu fauqal ‘ilmu, bahwa adab itu di atas ilmu? Dan bukankah di antara Muslim itu terikat dengan apa yang disebut Rasulullah Saw sebagai “Islam itu seperti tubuh yang satu”?
Jadi, antara dayah dan kampus memiliki titik temu yang sama, baik pada tujuan (al-ghayah) maupun pada tantangan yang dihadapi. Pada konteks tujuan misalnya bagaimana mengembalikan peradaban Islam yang ditopang tradisi keilmuan di Aceh khususnya dan dunia Islam umumnya. Sementara titik temu dalam konteks tantangan yang sama-sama dihadapi, yaitu bahwa upaya mengembalikan peradaban ini akan senantiasa mendapat tantangan dan serangan Ghazwul Fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam yang dimulai sejak pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Usmani, baik upaya pemurtadan dengan alasan-alasan ilmiah, virus-virus sekulerisme, liberalisme, pluralisme agama, inkar sunnah yang berbuah keragu-raguan dalam menjalankan ajaran Ilsam serta menghadirkan mental inferior(perasaan rendah diri) di hadapan peradaban Barat yang hegemonik, hingga persoalan-persoalan level kebijakan publik dan politik yang sudah semestinya dan seharusnya terintegrasi di dalamnya nilai-nilai Islam yang Humanisme Islam (insaniyah) dan terkoneksi dengan peraturan ilahi (rabbaniyah). Walalhu a’lam bishawab.
Penulis adalah alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Ranniry. Bekerja sebagai Pengembang Kerjasama di Bidang PD Pontren Kanwil Kemenag Prov. Aceh. Email:abu.erbakan@gmail.com.
Dimuat di Harian Serambi Indonesia. Link: http://aceh.tribunnews.com/2015/11/27/intelektualisme-dayah-dan-kampus