Sekularisasi Pendidikan Aceh? [Tulisan tahun 2014]

Oleh Teuku Zulkhairi SAYA berkesempatan menghadiri rapat revisi Qanun Pendidikan Aceh No.5 Tahun 2008 di DPRA, pada Selasa (10/6/2014) ...

Oleh Teuku Zulkhairi
SAYA berkesempatan menghadiri rapat revisi Qanun Pendidikan Aceh No.5 Tahun 2008 di DPRA, pada Selasa (10/6/2014) lalu. Selain beberapa anggota DPRA, hadir juga beberapa anggota tim ahli revisi Qanun Pendidikan, para stakeholder, baik MPD, BPPD, Dinas Pendidikan, Kementerian Agama, Kobar GB dan lain-lain. Ketika itu, yang dibahas adalah Bab VIII yang berbicara tentang kurikulum. Dalam amatan saya, draft qanun versi revisi yang dibahas terdapat beberapa poin krusial dan urgen dari Qanun No.5 Tahun 2008 itu, ternyata justru telah dipangkas dan dihapus oleh tim revisi.
Pasal 35 ayat (1) Qanun No.5 Tahun 2008 berbunyi: “Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar isi nasional dan muatan lokal yang dilaksanakan secara Islami”, pada draft qanun versi revisi kata-kata “dilaksanakan secara Islami” telah dihilangkan. Sehingga bunyinya menjadi “Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar pendidikan Aceh.” Sementara, ayat (2) yang berbunyi: “Kurikulum yang dilaksanakan secara islami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seluruh proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah”, pada versi draft revisi juga dihapus sama sekali.
Penghapusan kata atau kalimat sebagaimana tersebut di atas dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Qanun No.5 Tahun 2008 itu, tentu sangat mengejutkan karena di saat berbagai pihak terus berjuang melakukan integrasi nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan Nasional, kita justru menjauhkan Islam dari kurikulum. Tindakan ini bukan saja mengarah pada sikap phobia terhadap Islam karena mencoba menggagalkan agenda integrasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan proses pembelajaran, namun juga melawan UUPA yang mengamanatkan agar pendidikan Aceh diterapkan secara Islami.
Tindakan tersebut bukan saja mengarahkan pendidikan Aceh menjadi sekuler, tetapi juga kontraproduktif dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah, yang mengisyaratkan kepada kita mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis, yang termasuk pula di dalamnya berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan.
 Dianggap gagal
Apalagi, jika kita menilik Pasal 339 UU No.20 Tahun 2033 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia mengarahkan warganya kepada kehidupan yang beragama, bukan menjadi sekuler. Dikotomi agama-pendidikan selama ini telah membuat negeri ini diliputi berbagai problematika yang sistemik karena lembaga pendidikan dianggap gagal melahirkan manusia yang shalih secara pribadi dan secara sosial. Ini sejalan dengan kebutuhan Aceh yang sedang berjuang menyukseskan penerapan syariat Islam.
Seperti dijelaskan di atas, pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita di Aceh berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan yang mengakomodir aspirasi dan kearifan lokal Aceh, khususnya syariat Islam. Pada intinya, UU tersebut memberi wewenang perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik menjadi lebih desentralistik

Artinya, usaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam Qanun Pendidikan Aceh khususnya dalam kurikulum pendidikan pada dasarnya sama sekali tidak bertentangan dengan pemerintah pusat yang memang telah memposisikan Aceh sebagai daerah istimewa dalam banyak hal. Tokoh pendidikan Indonesia, HAR Tilaar (2002) bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurut Tilaar, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa.
Maka, integrasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan proses pembelajaran di Aceh khususnya merupakan suatu pilihan yang mendesak yang dipayungi UU Sisdiknas Pasal 339 dan UUPA. Harapan kita, integrasi ini akan menjadikan pendidikan Aceh lebih bersifat menyeluruh (integral-holistik). Apalagi, Aceh sedang menerapkan syariat Islam sehingga Pendidikan di Aceh sudah seharusnya menyokong sepenuhnya agenda penerapan syariat Islam ini berlangsung sukses.
Berhasil atau tidaknya penerapan syariat Islam di Aceh, tentu juga sangat ditentukan oleh lembaga pendidikan. Gagasan integrasi nilai-nilai Islami dalam kurikulum dan proses pembelajaran harus diakui merupakan suatu kebutuhan yang harus dijalankan sebagai pedoman pendidikan di Aceh, mengingat pendidikan kita selama ini dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (baca: sekuler) yang menyebabkan terjadinya dikotomi ilmu, karena nilai-nilai Islam dijauhkan dari pendidikan umum.
Wacana integrasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan seluruh proses pendidikan sebenarnya bukan isu baru, telah banyak pakar pendidikan yang merumuskan berbagai konsep integrasi pendidikan. Jadi, tekad mengintgerasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum pendidikan di Aceh tidak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang asing dan baru. Bahkan, ini justru merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini di tengah berbagai fenomena kegagalan lembaga pendidikan dalam memperbaiki kerusakan di negeri ini.
 Tidak terkejut
Atas dasar ini, dinamika perkembangan terkini tentang proses revisi qanun pendidikan di DPRA harus menjadi perhatian semua kalangan di Aceh, khususnya para pihak yang selama ini konsisten berjuang melakukan integrasi ajaran Islam dalam kurikulum dan proses pembelajaran di lembaga pendidikan, baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, guru besar, ulama, santri, guru, pemerhati pendidikan dan seterusnya. Apa yang penulis ingin sampaikan menjadi penting agar kita tidak terkejut, dimana “pergolakan-pergolakan” di kemudian hari menjadi tidak berfungsi lagi.
Penolakan atas permohonan saya agar kalimat itu tidak dipangkas, misalnya, datang dari Jamaluddin T Muku dengan alasan bahwa produk-produk regulasi pendidikan Aceh tidak boleh lari dari pakem pendidikan Nasional. Alasan lain yang dikemukakan saat itu karena dianggap bahwa Standar Pendidikan Aceh (SPA) sudah “Islami”. Padahal, kalau kita lihat pada Bab Ketentuan Umum ayat (19), tertulis: “Standar Pendidikan Aceh adalah kriteria minimal berdasarkan standar Nasional pendidikan ditambah kekhususan dan keistimewaan Aceh.” Tidak ada kata Islami. Sementara anggota DPRA lainnya, T Husin Banta beralasan bahwa kalimat itu harus dipangkas karena di Aceh bukan hanya orang Islam, tapi juga ada agama lain. Bagi saya, alasan terakhir ini paling jujur walaupun sesungguhnya tersirat agenda diskriminasi mayoritas (umat Islam) yang amat jelas.
Kesempatan saya memberi pandangan dibatasi waktu, padahal saat itu saya ingin sampaikan bahwa adanya minoritas agama lain di Aceh bukan alasan mengebiri hak-hak mayoritas. Seharusnya, biarkan saja kalimat “dilaksanakan secara Islami” dalam ayat (1) dan pertahankan juga ayat (2), dengan catatan bahwa ayat itu hanya berlaku bagi umat Islam. Sementara yang non Islam jalankan saja sesuai dengan ketentuan nasional dan agama mereka sendiri. Kalau begini kan lebih adil? Keharusan kita menghormati agama lain, bukan berarti kita harus menjadi sekuler. Wallahu a’lam bishshawab.

* Teuku Zulkhairi, MA., Alumnus Program Studi Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Saat ini bertugas di Kanwil Kemenag Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com

sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/07/02/sekularisasi-pendidikan-aceh?page=3

Related

Pendidikan 6109208371495794501

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item