Revitalisasi Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pedalaman Aceh [Tulisan Lomba PWI 2016]
Revitalisasi Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pedalaman Aceh Oleh Teuku Zulkhairi Berbicara tentan...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2018/10/revitalisasi-zakat-dalam-pengentasan.html
Revitalisasi Zakat dalam Pengentasan
Kemiskinan Masyarakat Pedalaman Aceh
Oleh Teuku Zulkhairi
Berbicara tentang solusi pemberdayaan masyarakat
miskin dan pengembangan kawasan pedalaman yang didominasi warga miskin, maka
kita tidak bisa menepis peran penting dari zakat. Dalam Islam, pemberantasan
kemiskinan dilembagakan dalam salah satu rukunnya, yaitu zakat (Abdurrachman
Qadir: 2001). Zakat merupakan instrument orsinil dalam sistem ekonomi Islam,
sekaligus jawaban Islam terhadap problem kemiskinan yang mendera umat Islam.
Peran penting zakat seperti ini telah dibuktikan prakteknya di masa-masa
kejayaan Islam. Maka dalam upaya pengentasan kemiskinan - termasuk pembangunan
kawasan pedalaman Aceh - zakat harus
berfungsi sebagai solusi atas persoalan masyarakat miskin di pedalaman Aceh.
Tidak maksimalnya pengelolaan zakat di Aceh
membuat masyarakat miskin terus bertambah yang umumnya berada di wilayah
pedalaman Aceh sehingga pembangunan Aceh menjadi timpang. Realitas kemiskinan
di Aceh menunjukkan fakta yang memprihatinkan. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS), penduduk miskin Aceh pada posisi Maret 2015 mencapai 851.000
orang atau bertambah 14.000 orang dibanding posisi September 2014. Data yang
dirilis secara periodik oleh BPS Aceh mencatat jumlah penduduk miskin di
provinsi ini pada posisi Maret 2015 mencapai 851.000 orang atau 17,08 persen.
Artinya, bertambah sebanyak 14.000 orang bila dibandingkan dengan September
2014 yang jumlahnya 837.000 orang atau 16,98 persen, sebagaimana dilaporkan Serambi
Indonesia (16/9/2015).
Data BPS tersebut
sekaligus menunjukkan problem pembangunan di kawasan pedalaman Aceh yang masih
bermasalah, karena penyumbang kemiskinan terbesar berasal dari kawasan
pedalaman. Padahal, kemiskinan
selalu saja menjadi dilema sebuah bangsa untuk bangkit dan maju. Kemiskinan
juga selalu menjadi kendala untuk merealisasikan ide-ide pembangunan yang
dicanangkan pemerintah. Intinya, kemiskinan menghalangi kebangkitan dan
kemajuan. Bagaimana mungkin bisa bangkit, padahal kemiskinan ini menghalangi
masyarakat untuk berfikir maju. Dalam teologi Islam sendiri juga dikatakan,
“kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran”. Kemiskinan juga akan berefek
sangat rawan pada meningkatnya kasus kekerasan dan kriminalitas di masyarakat.
Padahal, menurut keterangan kepala Baitul
Maal Aceh, Armiadi Musa, (Serambi
Indonesia, 2013), potensi zakat di Aceh sangat luar biasa jika mampu
dikelola secara massif akan bisa membiyai
sebesar Rp. 3,656,552 untuk setiap warga miskin setiap bulannya. Jumlah
ini melebihi target pemerintah Aceh yang pernah berjanji akan memberikan 1 Juta/KK
bagi warga miskin di Aceh, yang artinya akan bisa membantu menyelesaikan
berbagai problem yang mendera masyarakat pedalaman Aceh.
Potensi Besar Besar Zakat
Potensi zakat Aceh diperkirakan mencapai Rp
1,92 Trilyun, namun ternyata realisasi Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Aceh
tahun yang lalu (2012), baik Baitul Maal Aceh dan Baitul Maal Kabupaten/Kota
hanya 125 M saja atau 6,5 % (Serambi Indonesia, 2013). Dengan realisasi
yang seminim ini, bagaimana mungkin kita bisa berharap Baitul Maal bisa
terlibat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan pembangun masyarakat pedalaman
Aceh ? Sangat mustahil.
Padahal, secara yuridis pun, Qanun Nomor 10
Tahun 2007 tentang zakat dan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
secara nasional telah menjelaskan bahwa setiap perusahaan ataupun lembaga
usaha/jasa yang melakukan suatu pekerjaan itu wajib membayarkan zakatnya,
sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.
Dalam konteks Aceh, upaya-upaya menanggulangi
kemiskinan masyarakat pedalaman memang selayanya terus dikuatkan dalam rangka
memperkuat posisi Aceh serta khususnya sebagai aplikasi dari perintah agama,
bahwa Syari’at Islam yang diterapkan di Aceh sudah seharusnya mampu mengurangi
angka kemiskinan di Aceh dan kemudian membawa Aceh menjadi negeri yang makmur
dan sejahtera.
Belum Dimaksimalkan
Namun faktanya, agenda membangun Aceh
selama ini menunjukkan pemerintah Aceh belum memaksimalkan potensi zakat yang
dibuktikan dengan masih lemahnya regulasi zakat. Realitasnya, pemerintah masih
hanya mengandalkan dana-dana seperti DAU, DAK, Otsus, dana bagi hasil migas,
dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor
fund), dan dana reintegrasi.
Ini tentu sangat ironis. Tidak adanya
maksimaliasi potensi zakat sangat besar kemungkinannya menjadi penyebab
gagalnya semua proyek pengentasan kemiskinan di Aceh selama ini. Kondisi ini
berbanding lurus dengan visi politik pemimpin Aceh dibawah kepemimpinan Zaini
Abdullah – Muzakkir Manaf yang sejak masa kampanye mereka memiliki visi untuk
mengentaskan kemiskinan di Aceh. Artinya, pemerintah Aceh dalam hal ini
memiliki tugas besar bagaimana memperbaiki posisi atau peringkat kemiskinan di
Aceh dengan cara melakukan berbagai terobosan yang solutif dalam rangka
mencapai tujuan tersebut.
Di balik itu, dengan memaksimalkan potensi
zakat untuk pengentasan kemiskinan di kawasan pedalaman Aceh, kita akan
membuktikan bahwa pengentasan kemiskinan di Aceh juga menjadi agenda syari’at
Islam yang selama ini cenderung dipahami hanya sebagai “peraturan hukum
menghukum”.
Dari berbagai usaha dan upaya pemerintah
Aceh dalam menanggulangi kemiskinan, potensi zakat masih jauh dari perhatian
yang maksimal yang dibuktikan dengan minimnya pengerahan political wiil
pemerintah dalam mencapai target pengumpulan zakat secara maksimal.
Memperkuat Regulasi Zakat
Sampai disini, ternyata persoalannya adalah
karena pemerintah Aceh belum melihat secara serius potensi zakat ini. Hingga
hari ini, Pemerintah Aceh, baik eksekutif maupun legislatif belum terlihat
usaha mereka untuk menggalang secara penuh kekuatan dan bargaining
politik (Political Will) untuk mencapai target pengumpulan zakat secara
massif (dari segala lini). Padahal, Islam sudah menjelaskan kepada kita bahwa
zakat gunanya adalah untuk mengentaskan kemiskinan. Zakat ini juga merupakan
rukun Islam ke tiga setelah Syahadat dan Shalat.
Pertama, Qanun Baitul Mal hingga tahun 2015 lalu juga belum
selesai dibahas Baitul Mal sehingga sampai saat ini (tahun 2016) memperumit
kerja Badan Pelaksana (Bapel) Baitul Mal dalam menyalurkan dana zakat dan
infaq. Padahal, sesuai ketentuan syari’ah, zakat harus disalutkan di awal
tahun. Karena Qanun belum dibahas dan disahkan, maka anggaran zakat mesti
mengikuti mekanisme APBA.
Oleh sebab itu, tidak heran jika ulama
Aceh, Tgk Daud Hasbi mendesak agar Qanun Baitul Mal segera dibahas legislative
(Acehxpress.com, 19 Mei 2016 ).
Harapannya supaya status zakat jangan dijadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah
(PAD) murni, karena prosesnya sangat rumit, maka perlu diatur sebagai PAD
khusus yang tak perlu menunggu pengesahan DPRA. Jika tidak para amil zakat
menjadi serba salah. Ketika mereka melaksanakan sesuai syariat, justru mereka
malah terbentur dengan aturan keuangan negara. Untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, pemerintah didesak untuk mengawinkan beberapa regulasi yang ada salah
satunya menetapkan zakat sebagai PAD-SUS, zakat harus disimpan dalam rekening
khusus yang tidak boleh bercampur dengan PAD lain.
Dalam hal pengumpulan zakat dari orang kaya
untuk disalurkan kepada masyarakat miskin, tidak adanya regulasi zakat yang
kuat membuat upaya ini otomatis menjadi terhambat. Hingga hari ini
perusahaan-perusahaan dan usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan besar
lainnya di Aceh banyak yang tidak membayar zakat. Kondisi serupa juga tak jauh
berbeda dengan hotel-hotel di Aceh yang meskipun mereka maraup banyak
keuntungan dari kegiatan rutin yang dibuat oleh instansi-instansi pemerintah di
tempat mereka, tapi banyak mereka tidak mau membayar zakat. Begitu juga, banyak
orang kaya dan pegawai negeri dan serta kerja profesi lainnya yang meskipun
gaji mereka tinggi namun mereka masih berlindung pada “dalil khilafiyah” untuk
tidak membayar zakat profesi. Padahal, dalam Islam setiap harta tetap harus
disucikan dengan cara dikeluarkan zakatnya.
Kita yakin bahwa kondisi ini pasti akan
berubah atau berakhir seandainya ada political will Pemerintah Aceh untuk
menggarap potensi zakat secara massif. Apalagi, pemerintah Aceh kita tahu
memiliki dukungan sipil dan juga kekuatan politik yang sangat dominan dan kuat
di lembaga legislatif sehingga sangat memungkinkan mendesak berbagai pihak yang
kontra zakat untuk menunaikan kewajibannya. Tentu saja, jawaban dari semua ini
adalah keharusan untuk memperkuat regulasi zakat di Aceh.
Regulasi zakat yang kuat dibuktikan dengan
adanya paksaan kepada orang-orang atau perusahaan dan usaha yang sudah wajib
mengeluarkan zakat untuk menunaikan kewajibannya ini sebagai sarana penyucian
harga sekaligus sebagai realisasi dan implementasi rukun Islam yang ke tiga.
Jika regulasi zakat ini bisa diperkuat,
maka regulasi ini insya Allah akan sangat membantu pemerintah Aceh dalam
mewujudkan janji-janji politiknya. Lebih dari itu, lex specialist Aceh
di mata pusat sebenarnya juga bisa dibuktikan oleh pemerintah Aceh dengan
membawa tawaran yang kompromis dan solutif bagi Aceh agar kepengelolaan pajak
di Aceh bisa dibagi. Misalnya dengan tawaran, pajak yang dipungut dari Aceh
misalnya agar tidak perlu semuanya dibawa ke Jakarta dan diatur di sana sebelum
kemudian dibagi lagi ke daerah-daerah. Pemerintah Aceh misalnya bisa meminta
pemerintah Pusat agar 50 persen atau lebih Pajak yang dipungut di Aceh bisa
dikelola oleh Baitul Maal untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat Aceh.
Dengan jalan seperti ini, lex specialist Aceh tidak lagi hanya digunakan
untuk simbol-simbol saja oleh Pemerintah Aceh. Tapi juga yang terkait langsung
dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh.
Dengan kuatnya regulasi zakat, maka kita
berharap akan semakin banyak zakat terkumpul sehingga semakin luas pula wilayah
penyalurannya yang mencakup berbagai kawasan pedalaman Aceh sehingga peran
zakat dalam pengentasan kemiskinan dan termasuk pembangunan masyarakat
pedalaman akan terwujud.
Selain memperkuat regulasi zakat di Aceh,
peran Baitul Maal di seluruh Aceh saat ini juga harus didiskusikan dan ditata
kembali dengan cara menghimpun berbagai ide-ide dan masukan konstruktif dari
berbagai kalangan. Kita berharap agar Baitul Mal sebagai pelaku di lapangan
dari regulasi yang dibuat pemerintah bisa mendapatkan kepercayaan
masyarakat (public trust). Baitul Mal hendaknya juga bisa responsive,
peka terhadap urusan masyarakat dan membantunya dengan cepat tanpa pengurusan
yang berbelit-belit dan elitis sehingga Baitul Maal betul-betul bisa merakyat
dan meraih kepercayaan segenap masyarakat Aceh.
Dengan penguatan regulasi zakat dan
pembenahan Baitul Maal di seluruh Aceh, kita yakin insya Allah kemiskinan di
kawasan pedalaman Aceh akan bisa dientaskan sesuai dengan fungsi zakat dalam
pemberdayaaan ummat dalam perspektif Islam. Wallahu a’lam bishshawab.
Berikutnya juara Lomba Foto dan Tulis SJI PWI Aceh 2016, dengan tema “Membangun Aceh Pedalaman”
Juara Lomba FOTO:
- Ahmad Ariska judul foto Irigasi Keberlanjutan Swasembada Pangan, lokasi Gayo Lues
- Ishak Mutiara (Membangun Harapan untuk Dapat Berlayar) lokakasi Pulo Aceh, Aceh Besar
- Mahyadi (Jembatan Darurat) lokasi Aceh Tengah
- Khalisuddin (Jalan eks KKA), lokasi Bener Meriah
- Zulkarnaini Masry (Belajar di Sekolah Darurat) lokasi Serempah, Aceh Tengah
Juara lomba TULIS
- Faiza Maulina dan Nauliyanti Yunita, judul Melalui Pasar, Wirausaha dan Pariwisata, bisa mengakses Akses Perekonomian Wilayah Pedalaman.
- Drs Muhammad Syukri, MPd (Kunci Membuka Akses Ekonomi di Wilayah Pedalaman)
- Vera Hastudi, MPd (Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat di Wilayah Pedalaman Aceh).
- Teuku Zulkhairi (Revitalisasi zakat dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pedalaman Aceh.
- Asti Uki Tari (Sistem Pengembangan Terpadu dan Keberlanjutan sebagai Solusi Pemerataan Pembangunan Daerah Pedalaman)