Jalan Tengah Polemik Islam Nusantara
Caption Opini di Harian Waspada, Agustus 2018 Oleh Teuku Zulkhairi Kalau kita simak berbagai penjelasan yang dikemukakan para pen...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2018/09/jalan-tengah-polemik-islam-nusantara.html
Caption Opini di Harian Waspada, Agustus 2018 |
Oleh Teuku Zulkhairi
Kalau kita simak berbagai penjelasan yang dikemukakan para pengusungnya, inti dari istilah ‘Islam Nusantara’ ini adalah Islam yang telah sekian lama diamalkan umat Islam di nusantara, penuh keindahan, kedamaian dan jauh dari konflik. Penjelasan semacam ini antara lain disampaikan ketua umum PBNU KH. Said Aqil Siradj dalam Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang. Said Aqil menjelaskan, "Islam nusantara bukan mazhab baru, firqah dan aliran baru. Islam nusantara menjadi ciri khas Islam-nya orang-orang nusantara, yaitu melebur secara harmonis dengan budaya nusantara, syarak, kearifan yang tak melanggar syarak, digunakan untuk dakwah Islam di nusantara", sebagaimana dilansir detik.com.
Di waktu yang lain, dilansir republika.co.id , Said Aqil mengatakan, “Berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang mudah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik, Islam Nusantara adalah Islam yang datang dan melebur dengan budaya Nusantara”. Penjelasan seperti ini, di satu sisi mendapatkan nilai jual yang tinggi karena pada saat yang sama kita menyaksikan kehancuran akibat peperangan yang terjadi di Timur Tengah. Walhasil, cita-cita sejumlah kalangan untuk mempromosikan keindahan pengamalan Islam (di) Nusantara ke level global menjadi sesuatu yang bisa dimengerti urgensitasnya.
Sebagai muslim yang lahir dan besar di Indonesia, kita semua merasakan indahnya bangunan keislaman di nusantara. Khususnya jika dibandingkan dengan keadaan umat Islam di Jazirah Arab hari ini yang kondisinya sangat memprihatinkan. Peperangan dan konflik yang terjadi di sana nampak semakin sulit untuk dihentikan.
Indahnya akhlak muslim dari nusantara sebenarnya juga diakui dan dipuji oleh umat Islam di Timur Tengah. Sebagai contoh, yang pernah pergi ke Tanah Suci, pasti akan bisa melihat indahnya akhlakul karimah muslim dari Nusantara, baik dari Indonesia, Malaysia, maupun Brunai Darussalam. Misalnya, meskipun bukan kesalahannya, namun orang Indonesia tetap akan lebih duluan meminta maaf jika bersenggolan dengan siapapun di jalan-jalan di tanah suci.
Dualisme interpretasi
Pertanyaan sekarang, mengapa terminologi “Islam Nusantara” ini kemudian menimbulkan pertikaian di tengah-tengah para ulama sendiri? Ini karena terjadi dualisme interpretasi. Jika interpretasi pertama dari ‘Islam Nusantara” adalah sebagaimana dikemukakan Said Aqil di atas, maka interpretasi kedua dari para ulama lainnya justru berbenturan dengan pandangan Said Aqil. Sejumlah ulama yang melihat secara kritis gagasan “Islam Nusantara” memberikan interpretasi dan penolakan yang logis.
Dari kalangan pesantren, kritik keras terhadap istilah “Islam Nusantara” antara lain datang dari KH. Muhammad Najih Maimoen, putra KH. Maimoen Zubir yang bisa kita baca di website Ponpes Al- Anwar. Beliau menulis: “Penggunaan istilah Islam Nusantara sebenarnya telah mengurangi bahkan merusak universalitas Islam. Pada dasarnya jika Islam dimaknai dengan hal partikular, maka justru mereduksi makna Islam itu sendiri sehingga istilah dan konsep Islam Nusantara menjadi sangat problematik”.
Pandangan terbaru terhadap “Islam Nusantara” datang dari MUI Sumatera Barat (Sumbar) seperti yang dimuat di berbagai media. Pada poin ketiga sikap MUI Sumbar yang ditandatangani Buya Gusrizal Gazahar selaku ketua, dijelaskan “Jika yang dimaksudkan dengan istilah "Islam Nusantara" adalah keramahan washatiyah ( proporsional dan pertengahan dalam keseimbangan dan keadilan), toleransi dan lainnya, itu bukan karakter khusus Islam di daerah tertentu tetapi adalah di antara mumayyizat ( keistimewaan) ajaran Islam yang sangat mendasar. Karena itu menghadirkan label "Nusantara" untuk Islam, hanya berpotensi mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah lain.”
Ini menandakan, para ulama yang menolak gagasan Islam Nusantara memiliki kekhawatiran akan munculnya perpecahan umat Islam.Dikhawatirkan akan memunculkan istilah-istilah lainnya, seperti “Islam Aceh”, “Islam Malaysia”, “Islam Kejawen”, ‘Islam Melayu”, “Islam Jawa”, “Islam Brunei” dan seterusnya. Akhirnya, Islam terkotak-kotak, sisi universalitasnya menjadi lentur, ruang geraknya menjadi sempit.
Padahal, ajaran Islam bersifat universal. Nilai-nilai Islam akan menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamiin) jika bisa diamalkan secara baik dalam setiap dimensi kehidupan, oleh siapapun, dimana pun dan kapan pun. Islam adalah ajaran yang universal yang akan memberikan efek keindahan jika diamalkan oleh siapapun, kapanpun dan dimana pun.
Vis a vis dengan Islam Arab?
Dari kedua interpretasi di atas, kita bisa menangkap adanya perbedaan pendapat yang tajam di kalangan ulama sendiri yang berpotensi memicu perpecahan. Dan perbedaan yang tajam ini nampaknya akan sangat sulit dicarikan titik temunya. Apalagi, istilah “Islam Nusantara” dalam pemasarannya kadangkala tidak jarang juga dibenturkan dengan terminologi lainnya yang dibangun pada saat yang sama, yaitu ‘Islam Arab”. Seolah, Islam Nusantara itu vis a vis Islam Arab, saling berhadap-hadapan.
Kenapa bisa sama-sama Islam (Arab dan Nusantara), tapi harus dibenturkan? Jika dikatakan bahwa yang ditolak adalah “budaya Arab”, maka siapapun dengan mudah akan memahami bahwa pada dasarnya Islam sendiri tidak akan menerima budaya Arab jika bertentangan dengan Islam. Kalau dikatakan bahwa yang ditolak dari Arab adalah aliran wahabinya, maka kita telah memahami Arab secara tidak adil. Sebab, tidak seluruh Arab identik dengan wahabi. Umat Islam justru tidak bisa dipisahkan dari “Arab”, karena Alquran bahasa Arab, kitab-kitab di pesantren tertulis bahasa Arab, azan dalam bahasa Arab dan seterusnya.
Oleh sebab itu, dalam pernyataan sikapnya, MUI Sumbar juga menyebut, “Jika dimaksudkan dengan "Islam Nusantara" adalah Islam yang toleran, tidak radikal kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah sekarang, maka sikap ini mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu sikap radikal dan tindakan kekerasan. Ini merupakan penzhaliman terhadap Islam dan pandangan yang dangkal terhadap konflik Timur Tengah”.
Dari penjelasan MUI Sumbar ini, kita dapat menangkap upaya untuk memilah-milah masalah yang berkaitan dengan Arab, sekaligus mengajak kita untuk memahami persoalan Arab dan Islamnya secara baik. Bahwa konflik di Arab - seperti di Palestina- tidaklah menggambarkan sisi buruk umat Islam di Arab yang vis a vis Islam Nusantara. Jadi bukan berarti sesuatu yang berbau Arab adalah salah. Jika ada yang salah dengan Arab, maka itu tidak mewakili Islam. Sebagaimana, jika ada yang salah dengan muslim nusantara, maka itu juga tidak mewakili Islam. Kalau ajaran Islam diamalkan secara baik, maka baik orang nusantara maupun orang Arab pasti akan baik. Intinya, jika muslim nusantara atau Arab berbuat baik sesuai tuntunan Islam, maka dia telah mengamalkan Islam.
Solusi kecil
Di hadapan benturan interpretasi ini, lalu bagaimana jalan keluarnya? Sepertinya, mengambil jalan tengah adalah hal yang bijak. Pertama, katakanlah “Islam di Nusantara”, bukan “Islam Nusantara”. Terminologi “Islam di Nusantara” akan terhindari dari bias interpretasi, sekaligus memuat visi memperkenalkan keindahan Islam di Nusantara yang dicita-citakan banyak pihak. Kedua, tempatkan ‘Islam Arab’ secara proporsional dalam diskursus ‘Islam Nusantara’. Bahwa Islam Nusantara tidak vis a vis Islam Arab. Bukankah Islam di Nusantara datang dari Arab?
Sekiranya “benturan interpretasi” ini sudah selesai, maka kita berharap umat Islam di nusantara akan kompak dan berjuang bersama menginternasionalisasikan model yang baik dari implementasi ajaran Islam di nusantara ke dunia global. Tapi jika tidak selesai, maka bukan saja kita akan gagal berkontribusi bagi dunia, malahan kita akan melihat perpecahan di tengah muslim nusantara sendiri, bahkan di tengah-tengah ulama sendiri seperti yang sedang kita saksikan. Wallahu a’lam bishshawab.
Teuku Zulkhairi, alumnus Pondok Pesantren Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. email abu.erbakan@gmail.com.
salut, sangat membantu saya dlm khazanah wawasan ilmuan. analisa bagus. diharapkan bisa menjadi penyejuk di kala umat kehilangan panglima atau kebinggungan mengikuti panglima yg sebenarnya panglima.
BalasHapus