Kunci Meraih Ilmu (Pesan bagi mahasiswa baru)
Kunci Meraih Ilmu dalam Perspektif Islam (Pesan bagi mahasiswa baru) Oleh Teuku Zulkhairi Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguru...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2018/09/kunci-meraih-ilmu-pesan-bagi-mahasiswa.html
Kunci
Meraih Ilmu
dalam
Perspektif Islam
(Pesan
bagi mahasiswa baru)
Oleh Teuku Zulkhairi
Dosen
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Kampus-kampus negeri saat ini sedang memberikan pengenalan
budaya akademik dan kemahasiswaan bagi ribuan mahasiswa barunya. Dari
Darussalam, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry misalnya kedatangan 5.472
mahasiswa dan mahasiswi baru yang akan menuntut ilmu di berbagai fakultas dan
jurusan. Sementara Universitas Syiah Kuala menerima kehadiran 5.965 mahasiswa
baru. Selain itu, juga ada Unimal, IAIN Langsa, IAIN Malikussaleh, STAIN Gajah
Puteh, STAIN Tgk Dirundeng dan seterusnya yang juga menerima kehadiran belasan
ribu mahasiswa baru. Begitu juga kampus-kampus swasta lainnya di seluruh Aceh
yang juga pastinya akan menerima begitu banyak mahasiswa baru.
Kita tidak ragu bahwa tekad mereka menjadi mahasiswa atau
mahasiswi sepenuhnya adalah untuk menuntut ilmu. Peribahasa mengatakan, “banyak
ilmu makin maju”. Peribahasa lain berbunyi: “Dengan ilmu jadi mudah. Dengan
seni jadi indah. Dengan agama jadi terarah”. Imam Syafi’i mengatakan, “Siapa
yang ingin bahagia hidupnya di dunia, maka hendaklah dengan ilmu. Siapa yang
ingin bahagia hidupnya di akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Dan siapa yang
ingin bahagia di dunia dan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu’. Jadi, ilmu
adalah kunci. Ilmu akan mengangkat derajat pemiliknya di hadapan Allah Swt.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran
surat Al-Mujadilah ayat 11: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Maka
dalam rekaman sejarah, peradaban Islam dipenuhi oleh catatan yang
mengesankan tentang perkembangan keilmuan. Peradaban Islam mampu memberikan
pencerahan bagi umat manusia di permukaan bumi ini yang dibuktikan dengan
berbagai karya para ilmuan Muslim yang memberi manfaat
besar bagi umat manusia. Bahkan
karya-karya para intelektual muslim menjadi fondasi
utama
ilmu pengetahuan Barat modern. Ketika Barat masih dalam kegelapan,
umat Islam di Andalusia telah menjadi mercusuar dalam lapangan ilmu dan
peradaban.
Jika
kita membaca catatan sejarah, maka kita akan mendapatkan pemahaman bahwa modal
utama umat Islam di era kejayaannya adalah iman dan ilmu. Dengan iman dan ilmu
itulah mereka diberikan kejayaan oleh Allah. Jadi, ilmu harus seiring sejalan
dengan iman. Jika ilmu kita maknai ringkas sebagai usaha mencari pengetahuan,
maka iman adalah berkaitan dengan keyakinan kita terhadap enam rukunnya yang
disampaikan oleh Jibril kepada Rasulullah Saw untuk diberitahukan kepada kita
umatnya. Dan iman yang memiliki enam rukunnya sebagaimana dipahami secara
istilah bukan hanya memada diucapkan dengan lisan saja, tapi juga dibenarkan
dengan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
Jadi, iman menuntut bukti serius kepada setiap
pribadi muslim, yaitu kesedian untuk menjalankan Syari’at Islam sebagai
konsekuensi dari iman. Maka seseorang yang beriman akan menjalankan perintah Allah
dan tinggalkan larangan-laranganNya. Ia juga akan menjadikan Rasul sebagai
teladan hidupnya dan seterusnya. Jadi, iman yang betul akan memberikan kekuatan
yang dahsyat bagi setiap muslim. Dan inilah pandangan hidup Islam yang mesti
dipahami oleh setiap penuntut ilmu. Bahwa upaya menuntut ilmu tidak boleh lepas
dari iman.
Menurut
Hamid Fahmi Zarkasyi, (2010: 68), jika substansi peradaban Islam adalah
pandangan hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat
pandangan hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting
khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum
terpelajarnya yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang
secara individual akan menjadi decision maker.
Lalu, apakah kunci dari ilmu tersebut? Salah satunya adalah taqwa. Perhatikan janji
Allah Swt dalam Alquran surat al-Baqarah
ayat
282 : “…….dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Menurut Ibnu Katsir(Ibnu Katsir Jilid 1, terj. M. Abdul Ghoffar,: 725), “Allah
mengajarmu” di atas adalah seperti firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
furqan (QS Al-Anfaal: 29). Furqan adalah petunjuk yang dapat
membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dapat juga diartikan sebagai
pertolongan.
Jadi, penggalan ayat “Allah
mengajarmu”, bermakna bahwa jika kita bertaqwa kepada Allah, maka Ia akan
memberi kita ilmu yang dengan ilmu itu kita dapat membedakan antara yang haq
dan yang bathil. Dan itulah ilmu dalam Islam, yaitu ilmu yang memadukan
antara dimensi akhirat dengan dimensi duniawi. Permahaman semacam ini
menegaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah keniscayaan.
Ayat pada ujung surat al-Baqarah di
atas menegaskan bahwa salah satu kunci mendapatkan ilmu adalah ‘takwa’.
Sementara esensi dari takwa adalah “menjalankan segala perintah Allah Swt dan
menjauhi segala laranganNya”. Jadi, taqwa adalah syarat untuk memperoleh
ilmu. Dan takwa itu tidak lain adalah menjalankan Syari’at Islam sebagai
konsekuensi dari iman. Maka, syarat utama diperolehnya ilmu adalah dengan
taqwa, sementara taqwa akan muncul dengan implementasi Syari`at Islam, baik
syari’ah yang menjadi domain negara, seperti Jinayah, Zakat, Haji, Hudud,
Ekonomi Islam, jihad dan sebagainya. Begitu juga syari’at yang menyangkut
persoalan individual, seperti Shalat sehari semalam lima waktu, ibadah jum’at,
sedekah, dan seterusnya. Jadi, penerapan Syari`at Islam oleh negara maupun oleh
individual muslim akan membentuk karakter taqwa yang pada akhirnya akan
memancarkan cahaya ilmu dari Allah Swt sebagai Pencipta Alam Semesta.
Bagi
diri kita pribadi, ilmu yang berkah akan terhalang sekiranya kita bermaksiat
kepada Allah Swt, tidak menjalankan Syari`at Islam, atau
melanggar hukum-hukum Syari’ah, baik dalam konteks kenegaraan maupun
pada level individual. Sebab, Ilmu adalah cahaya Allah, dan cahaya tersebut
tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat, baik maksiat pribadi maupun maupun
di level negara dengan cara meninggalkan Syari’at Islam. Imam Syafi’i dalam kitab I’anatuth Thalibin karya
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi mengatakan: “Saya pernah mengadukan kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku. Lalu beliau menunjuki saya untuk
meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan saya bahwa ilmu adalah cahaya
Allah. Dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pelaku maksiat.”
(juzuk 2 hal: 190).
Jadi, sangat erat
kaitannya antara ilmu dengan Syari`at Islam, dimana ilmu yang diberkahi Allah
Swt lahir dari ketaqwaan seorang muslim, sementara ketaqwaan muncul dengan
menjalankan seluruh Syari`at Islam. Pada
dasarnya suatu ilmu tidak boleh dipisahkan dari Islam, sebab Islam datangnya
dari Allah, dan bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui. Ilmu yang berkah
adalah ilmu yang pemiliknya mampu melihat keagungan Allah Swt dan lalu membuat
si pemilik ilmu tersebut bertafakkur dan bersyukur, lalu ia menjadi seorang
hamba Allah yang patuh atas aturan-aturan Allah Swt dan meninggalkan segala laranganNya.
Dengan kata lain yaitu menjalankan segala ketentuan Syari`at Islam dan
meninggalkan apa saja yang bertentangan dengan Syari`at Islam.
Setelah
kita bertafakkur, sesungguhnya Allah Swt sebagai Zat Yang Maha
Mengetahui, Dia menghendaki kita menggunakan ilmu yang diberikannya untuk
selalu mengagungkanNya, sebab memang ilmu tersebut berasal dariNya. Pesan-pesan
semacam ini hanya mampu ditangkap oleh Muslim, yang mau bertafakkur. Itulah
yang dilakukan oleh generasi terdahulu yang di tangan mereka Islam memimpin
peradaban. Jika Syari`at Islam menjadi gaya hidup (way of life) umat
Islam di era kejayaan peradaban Islam, maka ilmu adalah obsesi mereka dalam
menata bumi sesuai fungsi manusia sebagai khalifah di atas permukaan bumi. Wallahu
a’lam bishshawab.