Peduli Syariat, Wartawan Tidak Independen? [Tulisan Tahun 2012]

Oleh Teuku Zulkhairi Secara umum, hadirnya Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Aceh yang dideklarasikan beberapa hari lalu...

Oleh Teuku Zulkhairi
Secara umum, hadirnya Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Aceh yang dideklarasikan beberapa hari lalu melahirkan dua model respon. Pertama, sebagian pihak menganggap para jurnalis yang tergabung dalam KWPSI sudah tidak independen lagi. Ini bisa kita baca dalam beberapa pemberitaan di media online. Kedua, sebagian lagi memberi dukungan, baik dukungan total maupun dukungan secara kritis. 
Mereka yang mendukung ini karena melihat ide ini sebagai sesuatu yang sangat baik di tengah sedikitnya dukungan dari media massa dalam membangun opini publik yang positif terhadap syari’at Islam pasca 11 tahun syari’at Islam diterapkan di Aceh.
Ragam respon ini setidaknya dengan memperhatikan jalannya diskusi-diskusi di dunia maya serta berita di media massa. Salah satu dukungan misalnya disampaikan oleh wakil ketua MPU Aceh Tgk H.Faisal Ali, yang menyampaikan apresiasi terhadap kesadaran kalangan jurnalis untuk ikut bersama-sama mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat deklarasi KWPSI beberapa waktu lalu (Serambi Indonesia, Jumat, 14 Desember 2012). Mereka yang mendukung berharap agar kehadiran kaukus ini tidak temporer berdasarkan suatu kepentingan saja, tapi betul-betul atas rasa keprihatinan atas buruknya suguhan berita tentang syari’at selama ini dan agar berupaya memperbaikinya.
Syari'at Islam dalam Opini negatif jurnalis
Suguhan berita secara negatif ini menyebabkan usaha penerapan syari’at Islam di Aceh selama ini menghadapi dilema serius, bahkan berpotensi “gagal”. Hal ini misalnya diakui oleh pakar Komunikasi IAIN Ar-Raniry, Dr A.Rani Usman yang juga Dekan Fakultas Dakwah dalam workshop “Membangun Etika Penulisan Pemberitaan Syariat Islam di Aceh” di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh beberapa waktu lalu, “Kita (media) asyik memberitakan Syariat Islam di Aceh yang negatif-negatif saja, sehingga image kita (Aceh) jelek di mata luar,”. Selain itu, “Pemberitaan Syariat Islam yang dilakukan media selama ini hanya cendurung pada peristiwa semata, seperti cambuk, razia busana, penangkapan pelaku mesum dan aliran sesat. Seharusnya media juga perlu menggali cerita di balik berita sehingga menghasilkan berita yang konprehensif dan berimbang” (Sumber: voa-islam.com, Jumat 30/11/2012).
Kalau kita mencoba menganalisa lebih jauh tentang etika pemberitaan yang menyebabkan opini dan berita tentang syari’at Islam cenderung negatif, maka kita akan menemukan sebuah hal yang ironis bahwa pelanggar syari’at Islam selama ini cenderung dicitrakan sebagai “korban”. Padahal, menurut Wakil Redaktur Serambi Indonesia Asnawi Kumar “pelaku pelanggaran Syariat Islam itu bukan korban”(The Globe Journal, Jumat (30/11/2012). Ini sebenarnya persoalan utama pada baik baik atau buruknya citra implementasi syari’at Islam di Aceh dewasa ini, bahwa sebagian kalangan jurnalis cenderung berparadigma bahwa pelanggar syari’at Islam (yang diuangkapkan oleh stakeholders syari’at Islam) itu sebagai “korban”. Seolah, syari’at Islam itu melanggar HAM. Padahal, syari’at Islam di Aceh sifatnya konstitusional.
Menakar “independesi” jurnalis
Saat isu pembentukan KWPSI ini bergema di awal-awal sebelum deklarasi, Kantor Berita Radio 68-H Jakarta langsung mempertanyakan independensi jurnalis di Aceh. Salah satu kutipan berita ini memuat statmen ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh Maimun Saleh yang mempertanyakan independensi yang dijunjung para wartawan. "Ketika mereka menyebut diri mereka penyebut pembela Syariat Islam, berarti yah sudah tidak independen. Independen kan tidak kiri tidak kanan, esensi dari jurnalisme”(Atjehpost.com, Kamis, 11 Oktober 2012).
Saya mencoba memahami bagaimana bentuk “independensi” yang dikehendaki oleh dewan pers di Indonesia. Dalam merespon hadirnya KWPSI ini, di akhir berita tersebut memuat statement wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti: Wartawan itu harusnya bentuk dukungannya dengan memberi kritik. Itulah bentuk dukungan wartawan profesional kan?”. Jadi, menurut mereka, kalau sikap jurnalis itu peduli kepada syari’at, maka sikap itu tidak independen, sementara sikap mengkritisi syari’at Islam itu adalah independen. Cara pandang seperti ini akan mengiring manusia untuk benci kepada syari’at Islam. Faktanya, kritikan yang disampaikan selama ini justru menyudukan syari’at. Seperti kritikan Majalah Tempo beberapa waktu lalu terkait bunuh diri seorang remaja putri di Langsa. Majalah Tempo mengarahkan serangannya ke Aceh, bahwa bunuh diri putri disebabkan penerapan syari’at Islam (Lihat: Tempo,edisi Senin, 17 September 2012). Pada titik ini, kita berharap agar kritik terhadap syari’at itu konstruktif dan solutif. Tanpa keduanya, setiap kritikan hanya akan memperburuk image syari’at Islam.
Dari berbagai kamus dijelaskan, bahwa Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Intinya, independen itu tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi tertentu. Falsafah berfikir seperti ini sesungguhnya mengandung nilai positif jika diterapkan dengan penuh kejujuran. Seperti yang diungkapkan oleh Dr A.Rani Usman di atas, bahwa pemberitaan Syariat Islam di Aceh selama ini cenderung pada peristiwa semata. Padahal, seharusnya media dan para jurnalis juga perlu menggali cerita di balik berita sehingga menghasilkan berita yang komprehensif dan berimbang agar bisa disebut independen.
Namun, jika pemberitaannya tentang syari’at Islam cenderung hanya mengkritisi, maka bagaimana mungkin sikap ini kita sebut independen? Independensi seperti ini tidak pernah menguntungkan syari’at, bahkan cenderung akan terus menghambatnya. Bagaimana tidak, jika opini tentang syari’at selalu diberitakan negatif, maka sampai kapankah umat akan tulis mencintai dan merindukan syari’at Islam? Dengan falsafah independensi seperti ini, maka akan sangat berlebihan jika masyarakat Aceh berharap agar kalangan jurnalis turut peduli dan membela penerapan syari’at Islam di Aceh.
Padahal, dalam perspektif Islam sendiri, siapapun yang mengaku muslim maka dia harus mengemban misi dakwah agama. Menjadi wartawan, bukan berarti saat itu tugas untuk menyampaikan dakwah sudah hilang dari pundaknya. Bahkan, akan menjadi sebuah pekerjaan yang sangat mulia jika dengan profesinya sebagai jurnalis, seorang muslim bisa mengiring manusia untuk mencintai Islam dan menjauh dari nilai-nilai kebebasan. Dalam Islam, tidak ada istilah seperti yang dipopulerkan kalangan perguruan tinggi Islam kepada para mahasiswa agar :menyimpan“akidah” di luar ruang kuliah jika mau belajar Islam di perguruan tinggi”. Jurnalis di Barat pun hingga detik ini pun belum bisa membuktikan independensi mereka kecuali sedikit di antara mereka. Jadi untuk apa kita mengikuti keinginan mereka untuk jauh dari agama kita sementara mereka sendiri sudah jelas juga memperjuangkan keyakinan dan kepentingan mereka sendiri?
Terakhir, bagi saya, munculnya KWPSI di Aceh merupakan sebuah keniscayaan zaman. Secara sosial politik, kehadiran KWPSI ini adalah bagian dari trend manusia modern yang ingin kembali hidup dalam cahaya Islam. Dewasa ini, seruan-seruan untuk kembali dalam aturan Islam kian tidak bisa dibendung lagi. Bukan saja misalnya seruan agar umat Islam kembali dalam sistem kekhalifahan Islam yang akan mempersatukan umat Islam di seluruh dunia dan menguatkannya di tengah semakin jelasnya kebobrokan sistem demokrasi, tapi juga seruan agar semua sistem dalam masyarakat Islam mengacu pada konsepsi Islam, tentu saja termasuk pada ranah jurnalisme ini. 
Kita do’akan agar kehadiran KWPSI ini menjadi awal bagi lahir dan menguatnya jurnalisme Islami yang akan mengiring umat Islam menuju ridha dan rahmat Allah. Semoga KWPSI tidak merasa berat dengan harapan ini. Wallahu A’lam Bishshawab.

Note: tulisan ini dipost ulang agar filenya tidak hilang dan atau  tersimpan di blog.
Sebelumnya tahun 2012 telah di posting di kompasiana. Link: http://www.kompasiana.com/www.khairipanglima.blogspot.com/peduli-syariat-wartawan-tidak-independen_551b43dc813311627f9de6b0

Related

Paradigma Islam 8679177784144458773

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item