Ulama Terbelah dalam Pilpres, Dimana Posisi Kita?
Dulu dalam Pilkada di Aceh para ulama juga berbeda pendapat. Ada yang dukung Irwandi, ada yang dukung Tarmizi A. Karim dan ada yang ...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2019/03/ulama-terbelah-dalam-pilpres-dimana.html
Dulu
dalam Pilkada di Aceh para ulama juga berbeda pendapat. Ada yang dukung
Irwandi, ada yang dukung Tarmizi A. Karim dan ada yang mendukung Muallem. Dan
itu suatu hal yang wajar dan tentu sah-sah saja.
Dan
ada juga yg tidak mendukung siapapun dg alasan-alasan tertentu. Semua mesti
kita hormati walaupun sepenuhnya tidak sesuai dg pengetahuan yang kita miliki.
Yang
salah adalah siapa saja yang mencaci karena sesungguhnya pada akhirnya akhlak
lah yang menjadi ukuran. Adapun akhlak orang-orang yang baik maka dia sebisa
mungkin tidak akan berkata buruk, bukan hanya kepada ulama. Tapi juga kepada
siapa saja.
Dan
kini dalam Pilpres para ulama kembali berbeda pendapat dalam hal dukungan
kontestan Pilpres. Ada yang dukung Paslon 01, ada yang ke Paslon 02.
Dan
menurut saya hal itu juga wajar dan tentu sah-sah saja.Juga ada ulama yg tdk
mendukung Paslon mana pun. Juga wajar saja. Setiap mereka tentu punya alasan
masing-masing.
Di
berbagai belahan dunia juga seperti itu. Dalam berbagai prosesi politik, para
ulama kerab terbelah. Sekali lagi, hal itu wajar dan biasa saja.
Lalu
dimana posisi kita?
Dalam
masalah fiqh, jika para ulama berbeda pendapat dalam suatu masalah, ada ulama
pendapatnya A, ulama lain lagi B misalnya, maka kita dianjurkan mengikuti
pendapat yang paling kuat. A, atau B? Bukan begitu ?
Pengarang
kitab bisanya memberi keterangan yang mana pendapat yang paling kuat di antara
dua atau beberapa pendapat dan untuk itu bisa kita ikuti yang paling kuat ini.
Lalu
bagaimana dalam masalah Pilpres? Persoalan silang pendapat para ulama dalam
Pilpres memang berbeda dengan khilafiyah ulama dalam masalah fiqh. Karena dalam
masalah fiqh terdapat pengarang kitab yang akan menjelaskan mana pendapat yang
paling kuat berdasarkan atas kajian beliau terhadap dalil-dalil.
Jadi
dimana posisi ideal kita dalam Pilpres atau Pilkada ? Ikut ulama yang mendukung
Paslon A atau Paslon B? Jika kita tanya pada ulama yang mendukung Paslon A,
maka pasti beliau akan meminta kita mendukung Paslon A. Jika kita tanya kepada
ulama yang mendukung Paslon B, maka pasti beliau akan meminta kita mendukung
Paslon B.
Pada
titik ini, ketika terjadi silang pendapat antar para ulama, maka untuk thalibul
'ilmi (penuntut ilmu) akan diminta untuk mengkaji secara mendalam referensi
dari Islam. Jadi dia tdk boleh puas hanya mengikuti pendapat A, atau B. Jadi
ini bagian dari upaya memfungsikan akal sehat yang memang ditekankan dalam
Islam.
Ketika
dihadapkan pada dua pilihan buruk misalnya, maka Islam memberikan kita qaidah
berfikir untuk "Mengambil yang lebih ringan di antara dua mudharat".
Jadi
di antara dua paslon Capres Cawapres yang muncul, tugas kita adalah mengkaji
yang mana yang paling sedikit mudharatnya untuk agama dan bangsa.
Kaidah
berfikir lainnya untuk menilai adalah "Kenali seseorang melalui
teman-teman dekatnya". Ini cara para ulama shalaf dalam menilai orang.
Jadi tugas kita adalah menilai siapa teman-teman dekat atau orang-orang yang
disekeliingnya. Seberapa jauh mereka pro kepentingan bangsa dan Islam. Caranya
perhatikan track record atau rekam jejak.
Sudah
cukup? Belum.
Jika
mengacu kepada argumen Islam, maka kepemimpinan ideal itu harus adil. Jadi
silahkan cek dan teliti siapa yang paling bisa diharapkan untuk berlaku adil.
Adil dalam penyelenggaran hukum dan keadilan dalam hal-hal lainnya.
Lebih
dari itu, Islam juga sangat membenci perilaku dusta, ingkar janji dan khianat
atas amanah. Terdapat hadist Rasulullah Saw tentang ini. Bunyinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda, ‘Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.’” (HR Bukhari)
Jadi
tugas kita adalah meneliti siapa yang kira-kira jauh dari perilaku itu. Dan jgn
lupa untuk terus memanjatkan do'a kepada Allah Swt agar diberikan petunjuk
untuk dapat melihat kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai
kebatilan. Bunyi do'anya: Allahumma arinal haqqa haqqa, warzuqna ittibaa'ah. Wa
arinal baathila baathilan warzuqna ijtinaabah.
Nah
setelah itu, insya Allah hati kita akan lebih tenang untuk mengikuti ulama A,
atau ulama B. Bukankah Islam mencintai orang-orang yang mau berfikir?
Alfaqir
Teuku
Zulkhairi