Membaca Hasrat Politik Islam Nusantara
Oleh Teuku Zulkhairi Diskursus tentang penetapan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara oleh Presiden Joko Widodo bebera...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2017/08/membaca-hasrat-politik-islam-nusantara.html
Oleh
Teuku Zulkhairi
Diskursus tentang penetapan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara oleh
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu sepertinya belum selesai didiskusikan.
Kebijakan ini sendiri juga mendapatkan penolakan dari kaum
intelektual-akademisi. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, sebab penetapan Barus
sebagai titik nol Islam Nusantara dilakukan tanpa kajian ilmiah-akademik yang
memadai sehingga cenderung “menistakan” tradisi akademik yang selama ini
dikembangkan dalam kajian sejarah di perguruan tinggi. Itu sebab, pakar sejarah
nasional, Prof. Azyumardi Azra dalam seminar Nasional yang diselenggaraan di
Pascasarajana UIN Ar-Raniry beberapa waktu lalu menyimpulkan, bahwa penetapan
Barus sebagai titik nol Islam Nusantara merupakan penyesatan sejarah (Serambi
Indonesia, 15 Mei 2017).
Azyumardi
Azra melihat diskursus soal ‘titik nol Islam Nusatara’ ini tidak bisa dilepaskan
dari kaidah-kaidah dan tradisi ilmiah. Bukti-bukti sejarah dan temuan para
pakar, sebagaimana kesimpulan dalam seminar Titik Nol Islam Nusantara di
Pascasarjana UIN Ar-Raniry, sama sekali tidak ada yang menyimpulkan Barus
sebagai titik nol (awal mula) Islamisasi Nusantara. Seluruh catatan para
sejarawan menempatkan Perlak dan Pasai sebagai titik nol Islam Nusantara
sebagaimana disampaikan Prof Azyumardi Azra dan Prof Farid Wajdi Ibrahim. Plus,
kemudian ditambah hasil temuan baru Dr Husaini Ibrahim dari Unsyiah yang
melihat Lamuri di Aceh Besar sebagai titik nol Islam Nusantara.
Oleh sebab itu, penetapan Barus, sebuah Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara sebagai Titik Nol Islam Nusantara oleh Presiden Jokowi mau tidak
mau harus dilihat dari kacamata ideologi politik. Artinya, kebijakan Jokowi
tersebut sarat dengan hasrat kepentingan politik rezim. Jadi, sampai disini,
rasanya kita sulit menolak fakta kepentingan politik semacam ini. Dengan
demikian, tulisan saudara Ramli Cibro (RC) di harian ini dengan judul
“Memetakan Narasi Islam Nusantara”(16 Mei 2017) yang “membenarkan” penetapan
Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara adalah patut dikritisi. Argumentasi
utama RC adalah melihatnya dari perspektif awal mula ekspansi ajaran teo-sufi
ke nusantara yang bersumber dari atau dikembangkan oleh Hamzah Fansuri.
RC bisa saja mengatakan diskursus titik nol Islam nusantara hanyalah sekedar
tranformasi pemikiran teo-sufi dan bukan diskursus historis sehingga justru
“sepakat” atas kebijakan Presiden Jokowi yang ahistoris, sebagaimana
disimpulkan Azyumardi Azra bahwa Barus bukan titik nol Islam Nusantara.
Alhasil, pemahaman RC seperti ini akan sangat rancu karena bagaimana mungkin
kaidah-kaidah sejarah dalam tradisi akademik-ilmiah harus dicabut dari sebuah
kebijakan bersejarah tentang sesuatu yang juga identik sepenuhnya dengan
sejarah penting masa lalu.
Pada titik ini, kesimpulan dari tulisan RC nampak seperti ingin “memaksa” bahwa
titik nol Islam Nusantara memang harus dari Barus meskipun harus menabrak
tradisi akademik-ilmiah. Apalagi, kesimpulan RC semacam ini juga diperkuat
dengan narasi RC bahwa “Islam Sufistik adalah Islam yang lebih mengedepankan
esensi dan substansi dari pada sekadar atribut, perangkat dan simbol semata”.
RC menyimpulkan model Islam inilah yang tersebar di nusantara.
Narasi parsial RC
seperti ini tentu patut ditanggapi. Sebab, Islam yang diterima di nusantara
bukanlah hanya esensi dan subtansi Islam, melainkan juga atribut, perangkat dan
juga sekaligus simbol. Sebab, Islam adalah perpaduan substansi dan juga simbol.
Dalam sejarah perkembangan Islam di nusantara, dengan sangat mudah kita akan
menemukan adanya perkembangan bahasa Arab dan Jawi (Arab-Melayu) sebagai simbol
penyebaran Islam. Bahkan, peran fundamental bahasa ini dalam Islamisasi
Nusantara ini dicatat oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai keberhasilan yang
mengalahkan pencapaian Hindu-Budha. Karena mereka berhasil mengangkat bahasa
Melayu menjadi bahasa persatuan di kepulauan Nusantara (al-Attas, Historical
Fact and Fiction, hal. xvi).
Juga seperti
dijabarkan oleh T.A. Sakti dalam artikelnya “Bahasa Melayu Pasai, Akar Tunjang
Bahasa Nasional Indonesia” (Serambi Indonesia, 19/5 2013), bahwa “bahasa
Melayu Pasai berkembang pada masa Kerajaan Samudra Pasai (1250-1524 M).
Kerajaan ini amat berperan dalam penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah
Asia Tenggara, seperti Melaka dan Jawa. Bersamaan berkembangnya agama Islam itu
tersebar pula bahasa Melayu Pasai di wilayah tersebut melalui kitab-kitab
pelajaran agama Islam yang menggunakan bahasa Melayu Pasai sebagai
pengantarnya”.
Selain bahasa sebagai
simbol penyebaran Islam, juga terdapat atribut dan perangkat lainnya, seperti
masjid, kalender hijriah (penanggalan Islam), batu nisan dan sebagainya yang ke
semua atribut atau simbol ini berperan maksimal dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Maka dengan demikian, penetapan Barus sebagai titik Nol Islam
Nusantara bukan saja mengangkangi kaidah-kaidah dan tradisi ilmiah-akademik,
melainkan juga akan terbantahkan meskipun kita melihat posisi Barus dari
perspektif ekspansi ajaran teo-sufisme sebagaimana dikehendaki RC. Apalagi,
ajaran Sufi yang berkembang di nusantara pun sebenarnya cukup beragam, seragam
perpaduan berbagai pola dan metode islamisasi yang dijalankan para ulama saat
itu.
Hasrat politik
Kita kembali ke fokus
utama tulisan ini, sesungguhnya aroma hasrat dan kepentingan politik dalam
penetapan Barus sebagai titik Nol Islam Nusantara sama sekali tidak bisa
dihindari. Apalagi, saat meresmikan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara,
dengan sangat jelas Presiden Jokowi mendorong agar agama dipisahkan dari
politik. Mencermati terjadi gesekan-gesekan dalam kecil Pilkada, Presiden
meminta tidak ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama. "Dipisah
betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," kata
Jokowi, kompas.com,
(24 Maret 2017).
Meskipun setelah muncul protes dari banyak tokoh Islam lalu kemudian Presiden
Jokowi meralat pidatonya ini pada keterangan berikutnya, namun yang jelas,
aroma kepentingan politik dalam menetapkan Barus sebagai titik nol Islam
nusantara sudah terlanjut terbaca dengan baik oleh publik. Apalagi, saat itu
juga sedang berlangsung proses suksesi Pilkada di Jakarta, dimana partai
politik yang menaungi Presiden Jokowi, yaitu PDIP, merupakan partai utama yang
mengusung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Dan Ahok lalu banyak disorot umat
Islam dengan melakukan demonstrasi besar-besaran karena terbukti melakukan
penistaan agama Islam.
Sangat sulit diingkari bahwa kebijakan Presiden Jokowi
terkait Barus tidak terkait dengan kepentingan politik, baik untuk skala
Ibukota dan wilayah lainnya, atau bahkan juga untuk kepentingan Pilpres pada
2019 nanti. Kesimpulan bacaan saya seperti ini kemudian semakin meyakinkan saya
setelah mendengar pemaparan para narasumber pada seminar nasional di
Pascasarjana UIN Ar-Raniry beberapa waktu lalu, dimana disimpulkan bahwa ada
kepentingan ideologi politik dalam kebijakan Barus sebagai titik nol Islam
Nusantara.
Kebijakan tersirat
yang terbaca, umat Islam hendak diarahkan untuk tidak menempatkan Islam sebagai
parameter dalam mengambil kesimpulan dan kebijakan politik, sehingga
partai-partai sekuler semakin mudah meraih kekuasaan di republik ini yang
berakibat Islam dan kaum muslimin semakin terpinggirkan. Disini, Barus hendak
dijadikan sebagai landasan historis dan referensi “gerakan politik tanpa agama”
dengan mencoba menyandarkan pemikiran tersebut ke teo-sufisme yang berkembang di
Barus saat itu, meskipun sandaran itu juga tidak tepat.
Jika Barus dulu
adalah bagian dari Aceh, maka harus dipahami bahwa sejarah ideologi politik
Aceh adalah tercermin dalam kitab Mir’atutullab karya Syiah Kuala yang
mengintegrasikan Islam dan politik. Dan dimasa Syiah Kuala (sebagai Qadhi
Malikul ‘Adil) Aceh menjadi “kiblat” peradaban muslim Melayu. Wallahu
a’lam bishshawab.
Penulis adalah Mahasiswa Program
Doktoral Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Alumnus Dayah Babussalam
Matangkuli Aceh Utara. Email: abu.erbakan@gmail.com.
Dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 10 Agustus 2017. Link: http://aceh.tribunnews.com/2017/08/10/membaca-hasrat-politik-islam-nusantara