Tarawih 20 Rakaat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Muslim sedunia melakukan Thawaf di Baitullah, Masjidil Haram. Foto: teuku zulkhairi Oleh Teuku Zulkhairi Catatan Umrah bersama Is...

Muslim sedunia melakukan Thawaf di Baitullah, Masjidil Haram. Foto: teuku zulkhairi
Oleh Teuku Zulkhairi

Catatan Umrah bersama Istiqlah Travel  bulan Ramadhan lalu di Saudi Arabia. 


Semangat memperbanyak amalan sunat begitu terasa di dua kota suci umat Islam di Arab Saudi, yaitu Mekkah dan Madinah. Jika anda bertanya pada jamaah umrah atau jamaah haji, saya yakin pasti mereka akan menjawab hal yang sama. Barangkali tidak aneh mengingat dari sinilah Islam bermula disebarkan ke seluru penjuru dunia. 

Rasulullah Saw sendiri sangat membanggakan kota Mekkah dan Madinah. Bahkan dua kota ini digaransi oleh Rasulullah Saw tidak akan bisa dimasuki Dajjal dengan segenap fitnanya karena dikawal oleh para Malaikat di seluruh pintunya. Jadi, betapa berkahnya kota ini.

Salah satu semangat penduduk dua tanah suci dalam beramal sunat yaitu saat melakukan amalan shalat sunat tarawih. Sebagaimana halnya pada Masjid Nabawi di Madinah, di Masjidil Haram shalat tarawih juga dilakukan sebanyak 20 rakaat, ditambah shalat witir tiga rakaat. Bahkan di Masjid Nabawi ada yang tarawih sampai 36 rakaat.

Di Masjidil Haram, jamaah dari seluruh dunia nampak sangat antusias melaksanakan shalat tarawih hingga selesai. Buktinya tidak ada jamaah yang beranjak dari shaf shalat hingga witir siap dilaksanakan yang jumlah rakaat keseluruhan adalah 23. 

Nampaknya, janji Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa - shalat di Masjidil Nabawi lebih baik daripada shalat 1000 kali di masjid lain, sementara shalat di Masjidil Haram 100.000 kali lebih baik dari shalat di masjid lain – telah menjadi motivasi utama umat Islam untuk ihtimam (merasa penting) dengan amalan sunat tersebut. 

Saya yakin tentu saja semua paham bahwa shalat tarawih itu adalah amalan sunat, bukan wajib. Namun ketika untuk pertama kalinya dalam hidup saya melihat shalat sunat tarawih di Masjidil Haram dilakukan sebanyak 20 rakaat, saya mencoba menerka, shalat sunat tarawih dilakukan sebanyak 20 rakaat di dua tanah suci ini adalah karena adanya kecintaan penduduknya terhadap amalan yang masuk dalam kategori sunat. 

Artinya mereka bukan lagi hanya fokus menunaikan amalan yang wajib saja, akan tapi juga sudah mampu berlomba-lomba dalam memperbanyak amalan sunat sebanyak-banyaknya yang akan dilipat gandakan di bulan suci dan juga di tempat yang juga suci. 

Meskipun shalat sunat tarawih dilakukan 20 rakaat, namun umat Islam dari seluruh penjuru dunia saya perhatikan tetap tidak beranjak dari shafnya hingga witir selesai dilaksanakan. Tidak ada yang buru-buru keluar setelah delapan rakaat meskipun Imam shalat membaca ayat yang lumayan panjang pada rakaat-rakaat yang telah dilakukan. 

Padahal, cuaca yang sangat panas di siang hari adalah jaminan datangnya rasa capek dan lelah di malam hari. Nampaknya, harapan meraih pahala dari amalan  sunat ini betul-betul telah memberikan dorongan ruhiyah bagi jamaah untuk tetap kuat hingga shalat tarawih selesai dilakasanakan sekitar dua jam.

Sebagaimana dipahami dalam ilmu fiqh, bahwa ‘sunat’ itu adalah “mā yutsabu ‘ala fi’lihi, wala yu’aqibu a’la tarkihi”, yaitu “amalan yang jika dikerjakan mendapat pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak mendapat dosa”. 

Jadi, yang disimpulkan dari suatu amalan sunat adalah bahwa jika dikerjakan mendapat pahala. Maka pahala sunat itu ingin diraih sebanyak-banyaknya, apalagi di bulan Ramadhan dimana setiap amalan baik akan dilipat gandakan. 

Dan itu artinya, cara pandang penduduk dua tanah suci khususnya dan umat Islam sedunia umumnya terhadap amalan sunat telah berada pada pemahaman yang ideal, dimana yang dlihat adalah sisi urgensitas dan keagungan dari amalan tersebut, bahwa jika dikerjakan mendapat pahala dari Allah, bukan sekedar ‘jika tidak dikerjakan tidak mendapat dosa’. 

Yang mereka kejar bukan lagi sekedar ‘tidak berdosa’, tetapi juga bagaimana meraih pahala sebanyak-banyaknya.

Dalam konteks ini saya menyimpulkan bahwa terdapat sisi kesamaan antara suasana keagamaan di Tanah Suci dengan di Aceh dimana mayoritas Masjid di Aceh sepertinya mengikuti “mazhab Mekkah dan Madinah” dalam hal pelaksanaan ibadah shalat sunat tarawih ini. 

Maka disini saya semakin mencintai Aceh dan semakin yakin bahwa julukan Aceh sebagai Serambi Mekkah adalah sesuatu yang memang telah sesuai pada tempatnya. 
Penulis dengan latar belakang Ka'bah di Masjidil Haram
Di balik itu, perihal amalan sunat ini, tidak kita pungkiri juga bahwa di Aceh dewasa ini juga muncul semacam gejala “phobia” amalan sunat. Kata-kata “ah, itu kan cuma amalan sunat” menjadi semakin sering kedengaran dan menjadi alasan utama amalan sunat itu untuk ditinggalkan, atau kurang mendapat perhatian kita secara adil. 

Maka kemudian banyak amalan sunat ditinggalkan. Padahal, bukankah amalan sunat itu bisa menutupi kekurangan pada amalan wajib kita? 

Atau barangkali, karena cara pandang yang “salah” terhadap amalan sunat membuat juga begitu banyak masyarakat kita di Aceh yang lebih suka nongkrong di warung kopi ketimbang shalat tarawih di masjid?

Di Masjidil Haram Mekkah, selain tarawih 20 rakaan, amalan sunat lain juga mendapat perhatian utama dari penduduknya. Maka di bulan Ramadhan pada sepanjang jalan kita akan menemukan banyak pedagang berbagi makanan berbuka seperti kurma, susu dan lain-lain kepada jamaah di jalanan. 

Bahkan pedagang kain pun ikut membagikan-bagikan sajadah kepada pejalan kaki yang melewati depan toko mereka. 

Menurut cerita mahasiswa yang kuliah disini, ini sebenarnya amalan lumrah penduduk Tanah Suci, sesuatu yang memang sering dilakukan di bulan Ramadhan khusunya. Pemahaman mereka terhadap amalan sunat telah berada pada posisi ideal. Seperti amal memberikan makanan berbuka kepada orang yang berbuasa yang disebut Rasulullah Saw sebagai amalan yang membuat pelakunya dirindukan oleh syurga.


Sungguh, waktu 10 hari di Haramain (dua tanah haram) terasa sangat singkat. Ada getaran jiwa berada di tempat ini. 

Bukan saja karena faktor historis tempat ini yang penuh dengan kisah agung tentang betapa beratnya medan perjuangan Rasulullah Saw dan salafussalih dalam memperjuangkan Islam yang membuat air mata kita menetes mengenangnya, tetapi juga karena faktor keutamaan beribadah di dalamnya serta nuansa relegius yang sangat mendamaikan kalbu dan menjernihkan pikiran. Walalhu a’lam bishshawab.


---------------------------------------------------------------
Tulisan ini Sudah dimuat di Rubrik Tadabbur Koran Harian Rakyat Aceh pada Bulan Ramadhan yang lalu dengan Judul 'Semangat Penduduk Mekkah Mengejar Pahala Sunat".

Related

Syari'at Islam di Aceh 4638937828362228757

Posting Komentar Default Comments

emo-but-icon

Terbaru

Pesan Buku Klik Gambar

AMP code

Gerakan Santri Aceh

Karya Tulis

Karya Tulis
Buku

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban

Buku Syariat Islam Membangun Peradaban
Buku

Facebook 2

Populer Setiap Saat

Popular Minggu Ini

My Facebook

Comments

item