Posisi UTU di Tengah Wacana Islamisasi Ilmu
Oleh Teuku Zulkhairi Tabloid UTUNews, Desember 2016 Di usianya yang kedua tahun setelah di negerikan, Universitas Teuku Uma...
https://jalanpertengahan.blogspot.com/2016/12/posisi-utu-di-tengah-wacana-islamisasi.html
Oleh Teuku Zulkhairi
Tabloid UTUNews, Desember 2016
Di usianya yang kedua tahun setelah di negerikan,
Universitas Teuku Umar (UTU) diyakini akan mampu menggairahkan dunia pendidikan
tinggi di Aceh. Bagi generasi muda Aceh, kehadiran UTU membuat pilihan tempat
studi mereka menjadi semakin beragam. Jika dahulu generasi muda Aceh
berbondong-bondong menuju Darussalam tempat dua kampus Jantong Hatee rakyat
Aceh berdiri, yaitu IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN) dan Unsyiah, maka tidak
diragukan lagi, ke depan, kita akan melihat generasi muda Aceh juga akan
berbondong-bondong menuju “Bumoe Teuku Umar.
Alhasil, secara bertahap, UTU akan menjadi jantong hatee
baru masyarakat Aceh, sehingga UTU semakin menjanjikan kebangkitan bagi
masyarakat Aceh umumnya, dan bagi masyarakat Pantai Barat Selatan khususnya. Di
tengah prospek masa depan cerah tersebut, lalu dimana posisi UTU dalam wacana
Islamisasi ilmu di Aceh yang hari ini kian menjadi kebutuhan umat?
Wacana Islamisasi ilmu tidak hanya bergeliat dalam konteks
Aceh, namun juga telah semakin “bergelora” dan bergairah di dunia Islam. Syed M.
Naquib Al-Attas (1931) misalnya, seorang pemikir dan intelektual Islam abad
ini, ia secara konsisten menggagas “proyek” islamisasi pengetahuan.
Gagasan-gagasannya kini semakin mendapatkan tempat dalam diskursus konsepsi
pendidikan umat Islam di tengah arus globalisasi yang semakin massif merenggut
nilai-nilai peradaban mulia umat Islam. Padahal, beberapa abad sebelumnya
pernah memimpin peradaban dunia, jauh sebelum Barat tercerahkan oleh
karya-karya intelektual Muslim di Andalusia, Spanyol.
Sebelum Al-Attas, terdapat nama-nama
besar lainnya seperti Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986) yang juga melakukan
kerja serupa, yaitu gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya-upaya seperti
ini, sesungguhnya merupakan sebuah tuntutan zaman bagi umat Islam, atas dasar
keyakinan bahwa umat Islam hanya akan bangkit dengan tetap menjadikan Islam
sebagai ruh kebangkitan.
Para intelektual muslim semacam al-Attas dan al-Faruqi
sebagaimana disebut di atas, telah menyadari betul faktor apa yang
melatarbelangi kemunduran umat Islam sejak satu abad silam, sekaligus mereka
telah menemukan “penawar yang mustajab” untuk keluar dari kemunduran tersebut
menuju kebangkitan dan kejayaan. Penawar tersebut adalah “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan”. Ya, karena Islam adalah
ruh yang menginspirasi dan terintegrasi dalam setiap karya para intelektual
Islam di zaman kejayaan, semacam Qanun fi Ath-Thibbi (Undang-Undang
Kedokteran) karya Ibnu Sina yang pada selanjutnya menjadi rujukan pada berbagai
universitas di Barat.
Kemunduran umat Islam hari ini terjadi karena mereka telah
meninggalkan metode yang dipakai umat Islam sebelumnya menuju era kejayaannya. Problem
paling akut yang menjadi penyebab kemunduran umat Islam adalah adanya dikotomi
ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan umum di satu sisi dan pengetahuan agama di
sisi lainnnya dihadap-hadapkan pada posisi yang saling berlawanan. Padahal,
dikotomis semacam ini sama sekali tidak dikenal dalam sejarah kejayaan umat Islam
di masanya.
Timbul pertanyaan, peran semacam apa yang bisa dilakukan UTU
untuk merespon kebutuhan islamisasi ilmu? Jawabannya, tidak lain adalah dengan
‘mengalirkan’ spirit Islam dalam setiap proses pembelajaran di UTU, tidak
terkecuali, baik Fakultas Pertanian, Kesehatan, Fisipol, Ekonomi, Perikanan, maupun
Teknik. Ya, karena ilmu pengetahuan umum sendiri sesungguhnya memiliki
kebutuhan terhadap upaya integrasi islam di dalamnya.
Upaya semacam ini sekaligus juga menyelerasakan posisi UTU
di tengah pergulatan wacana pendidikan Islami yang sedang berproses di Aceh. Agenda
implementasi pendidikan Islami di Aceh sendiri merupakan bagian dari peta jalan
menuju penerapan syari’at Islam secara kaffah di Aceh. Terhadap hal ini, Prof.
Rusydi Ali Muhammad (2011: v) mengatakan, “penerapan syari’at Islam harus
terintegrasi dalam semua aspek. Kita tidak mungkin mengedepankan aspek hukum
saja dengan mengabaikan sistem pendidikan yang mendukung syari’at”.
Tentu, UTU sangat layak dan mampu berperan untuk menjawab tuntutan
pendidikan bersyari’at seperti ini. Para akademisi UTU bisa bergerak selangkah
lebih maju dengan menyusun format pendidikan dan agenda perkuliahan yang
terintegrasi nilai-nilai Islam di dalamnya, sehingga kelak kita berharap UTU
akan mampu melahirkan alumnus yang bukan hanya menguasai skill pengetahuan
umum, namun juga memiliki karakteristik Islam yang mana sosok seperti itulah
yang ditunggu bangsa kita saat ini dan di masa depan.
Dengan upaya seperti ini, niscaya akan membuat UTU berdiri
pada posisi yang sama dengan seluruh komponen rakyat Aceh lainnya dalam upaya
menuju bangkitnya (kembali) peradaban Islam di Aceh. Seperti dengan lembaga pendidikan
menengah misalnya, pasca disahkannya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, pendidikan menenangah di Aceh semakin dituntut
untuk mampu menerapkan kurikulum pendidikan secara Islami, bukan hanya pada
mata pelajaran agama tentu saja, namun juga mata pelajaran umum (Lihat Bab XI,
Pasal 44, ayat 2). Tuntutan qanun semacam ini sesungguhnya membutuhkan
sumbangan pemikiran para akademisi dari perguruan tinggi. Tentu, para akademisi
akan lebih mudah memberikan sumbangsih gagasannya sekiranya di perguruan tinggi
sendiri gagasan tersebut telah mampu diiaplikasikan.
Terdapat beberapa aspek atau upaya yang bisa dilakukan dalam
mengintegrasikan islam dalam ilmu pengetahuan di perguruan tinggi umum. Pertama
yaitu dengan membangun budaya dan lingkungan yang Islami dan mendukung
agenda-agenda syi’ar Islam. Upaya semacam ini bisa diupayakan dengan
menciptakan lingkungan kampus yang semarak dengan syi’ar Islam, sekaligus
penataan kampus yang steril dari apa saja yang dinilai tidak sesuai nilai-nilai
Islam, sesuatu yang insya Allah akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt. Kedua,
menyelipkan Islam dalam kurikulum dan silabus dengan tidak memisahkannya dari
Islam dimana Islam tidak diragukan lagi merupakan inspirasi ilmu pengetahuan.
Ketiga, mencetak
atau melatih tenaga pengajar yang mampu mendidik sesuai dengan manhaj
Islam. Para pengajar yang mengajari mahasiswa di perguruan tinggi, sesungguhnya
bukan hanya bertugas untuk transfer of knowledge (ilmu pengetahuan),
namun juga transfer of personality (kepribadian). Dalam Islam, seorang
guru ideal (al-muallim al-misali) akan berupaya juga mendekatkan
didikannya untuk dekat dengan Allah Swt, sehingga kelak para didikannya bukan
hanya akan mewarisi ilmu darinya, namun juga tetap menjadi muslim yang memiliki
karakter Islam. Dengan para mahasiswa yang menguasai ilmu pengetahuan umum dan
juga senantiasa menjadikan Islam sebagai ruh dan inspirasi kehidupan, kita
tidak ragu kelak mereka akan mewarisi tongkat estafet agenda membangun Aceh
dalam bingkai peradaban Islam. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah Mahasiswa
Program Doktor UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sekjend PW Badan Koordinasi Mubaligh se-Indonesia (Bakomubin) Prov. Aceh.
Email: abu.erbakan@gmail.com.
sumber foto: net